
©Enggar/Bal
Sabtu (12-3), Lembaga Pers Mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan (LPM Poros UAD) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Menakar Demokrasi di Era Kiwari: Demokrasi untuk Siapa?” di Hall Kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan. Diskusi ini diselenggarakan dalam rangka peluncuran majalah LPM Poros UAD berjudul “Banyak Jalan Menuju Tuhan” Edisi XIII/Tahun 2022 yang masih merupakan rangkaian Poros Festival 2022. Shinta Maharani, Ketua Aji Yogyakarta; David Effendi, anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pengurus Pusat Muhammadiyah; dan Aris Eko Nugroho, Kepala Dinas Kebudayaan DIY turut hadir sebagai narasumber pada acara tersebut. Seiring berjalannya diskusi, bahasan mengerucut upaya perlindungan hak minoritas dalam demokrasi serta peran pers mahasiswa sebagai pers warga di dalamnya.
Shinta mengkritisi liputan pers tentang kelompok minoritas yang sering kali justru kian meminggirkan mereka. Salah satunya adalah kelompok transpuan yang sering terdiskriminasi dari tulisan-tulisan jurnalistik, termasuk di Yogyakarta. Shinta juga mengusulkan pers mahasiswa untuk juga mengangkat isu kelompok marginal yang sering luput pada liputan pers arus utama. “Isu seperti transpuan dan penghayat kepercayaan perlu untuk ditelusuri di samping isu kelompok aliran seperti Ahmadiyah yang sudah diliput di majalah ini,” pungkas Shinta.
Berangkat dari masukan tersebut, Shinta menegaskan peran pers warga dalam menjaga demokrasi. Pers mahasiswa, tambahnya, adalah satu contoh dari pers warga. Menurutnya, menjamurnya pers warga pada era kiwari ini perlu dijaga momentumnya agar terus mampu mengawal demokrasi. ”Ini tidak lepas dari peran pers secara umum sebagai kontrol sosial, termasuk mengawasi pemerintah agar tetap loyal pada prinsip demokrasi,” tambah Shinta.
Adil Al Hasan, Pemimpin Redaksi LPM Poros UAD menyampaikan urgensi diselenggarakannya diskusi tersebut. Ia bersepakat dengan Shinta terkait persoalan inklusivitas dalam demokrasi Indonesia yang tidak kunjung rampung. “Sebagai bagian dari pers warga, kami beritikad untuk membawa wacana hak minoritas kepada warga lewat majalah dan diskusi ini,” tandasnya.
Gejala menjamurnya pers warga selaras dengan kenaikan indeks demokrasi Indonesia versi Economist Intelligence Unit 2021, bahwa Indonesia berada pada angka 6,71 yang relatif meningkat dari angka 6,30 di tahun sebelumnya. Namun, Shinta menampik keakuratan indeks ini dalam mencerminkan realitas demokrasi Indonesia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kebebasan sipil, hak berpendapat, tingkat partisipasi hingga kebebasan pers yang kini mulai tergerus. Lebih lanjut, ia membandingkan survei LP3ES tahun 2021 bahwa 50% responden takut menyampaikan pendapat di muka umum. Musababnya adalah kehadiran UU ITE yang cenderung mengkriminalisasi suara dari oposan pemerintah.
Persoalan kebebasan berpendapat ini juga menggerus fungsi pers sebagai kontrol sosial. Sebab, kian hari kian banyak jurnalis yang mendapat serangan dan kriminalisasi atas liputannya. Bahkan, bukan hanya jurnalis, represi atas hak berpendapat juga dialami masyarakat sipil lainnya, terkhusus aktivis demokrasi. “Pembatasan hak berpendapat ini menunjukkan partisipasi publik yang minim dan bermuara pada anjloknya kualitas demokrasi Indonesia,” ujar Shinta.
Salah satu wujud pemberangusan hak bersuara adalah konflik agraria di Desa Wadas akibat proyek strategis nasional yang menindas masyarakat. “Proyek Strategis Nasional yang dijalankan secara tidak partisipatif bukan wujud demokrasi, malah menunjukkan otoritarianisme,” ujar Shinta. Baginya, pemaksaan kehendak kepada warga dan pemberangusan partisipasi rakyat merupakan wujud otoritarianisme.
Menimpali Shinta, David berpendapat bahwa rezim Jokowi tidak jauh berbeda dengan kediktatoran Orde Baru-nya Soeharto. Konflik lahan di Desa Wadas, sepakat dengan Shinta, adalah contoh otoritarianisme yang mudah diamati pada rezim Jokowi. “Sebagaimana Orde Baru, rezim ini menggadaikan Hak Asasi Manusia dan kehendak warga demi ilusi kemajuan dan takhayul pembangunan,” pungkasnya.
Reporter: Fahri Reza Muhammad, Yuda Pramudya
Penulis: Isroq Adi Subakti
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Fotografer: Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati