Aparat kepolisian kembali disorot perihal tindakan represif kepada mahasiswa Oktober silam. Mereka diketahui membanting mahasiswa ala pertandingan Smackdown. Dilansir dari CNN Indonesia, Asfinawati selaku Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan tindakan itu menambah daftar catatan panjang tindak represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Selama 2019, YLBHI mencatat 68 tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian saat mengamankan demonstrasi. Sementara itu, 3.539 korban ditangkap sewenang-wenang, 326 korban ditangkap, dan 474 korban disiksa. Pada 2021 saja, YLBHI telah mencatat sebelas tindakan represif polisi. Terbaru ialah pemukulan warga di Deli Serdang.
Menurut Hussein, peneliti Imparsial, masyarakat sipil pantas kecewa dengan perkembangan yang terjadi setelah reformasi yang nyatanya tidak mampu mengentaskan masalah kekerasan di tubuh kepolisian. Hussein menambahkan, selama polisi masih di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), selama itu pula polisi berada dalam kultur kekerasan. Oleh karena itu, semangat reformasi ingin memisahkan kepolisian dari kultur kekerasan tersebut dengan harapan kita tidak lagi mendapat tindak kekerasan oleh aparat kepolisian. Namun, menurutnya, seiring berjalannya waktu harapan itu tidak terpenuhi dengan adanya kekerasan-kekerasan yang dialami oleh masyarakat. “Tampaknya memang ada masalah di internal kepolisian terkait pengentasan kultur kekerasan,” imbuh Hussein.
Hal serupa juga disoroti oleh Sustira Dirga, peneliti Institute of Criminal Justice Reform. Menurutnya, banyak akademi kedinasan yang tugasnya tidak seberat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pun lekat dengan kekerasan yang berujung pada kematian. Dirga menegaskan bahwa akuntabilitas masih menjadi pekerjaan rumah kepolisian. “Sejak masa pendidikan, budaya kekerasan sudah ditanamkan kepada polisi,” tegasnya.
Akibatnya, menurut Hussein, tindakan represif polisi saat ini tidak bisa lepas dari sistem pendidikan polisi. “Pendidikan polisi terlalu singkat, dan tidak mengakomodasi pendidikan vokasional,” paparnya. Hussein menjelaskan bahwa mereka justru lebih menitikberatkan pada pendidikan fisik. Pendidikan vokasional bagi Hussein adalah pendidikan yang berfokus pada keahlian, contohnya adalah menangkap orang tanpa melukai, tanpa mencederai harkat orang, misalnya. Selain pendidikan vokasional, Hussein menjelaskan bahwa anggota Polri juga perlu diberikan pemahaman terkait prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.
Dijelaskan Inspektur Polisi Satu Hadi Sumaryono, Humas Polres Sukoharjo, pendidikan kepolisian sekarang berbeda dengan dulu ketika masih tergabung dengan ABRI. Dahulu, pendidikan ditempuh selama sebelas bulan. Saat ini, pendidikan ditempuh dalam waktu lebih singkat, yakni selama lima dan tujuh bulan untuk jalur penerimaan tamtama dan bintara. “Seleksi juga memakan waktu lebih dari dua bulan,” ungkapnya. Hadi juga menjabarkan proses seleksi tersebut hanya meliputi pemeriksaan kesehatan, administrasi, tes psikologi, dan kesamaptaan jasmani.
Pendidikan kepolisian dikemukakan oleh Hadi seperti sekolah pada umumnya terjadwal dan menekankan nilai kedisiplinan, kebugaran jasmani, dan padat materi. “Kegiatan pendidikan dimulai pukul empat pagi dan berakhir pukul sepuluh malam,” tuturnya. Dalam satu hari tersebut berisikan kegiatan seperti lari dan penguatan fisik; materi kelas terdiri dari materi Binamitra, Samapta, Lalu lintas, Intel, dan Reserse Kriminal; kelas lapangan terdiri dari pelajaran menembak, bela diri, patroli, dan lalu lintas; dan beberapa kali pelaksanaan apel.
Hadi juga sudah merasa puas dengan pendidikan polisi sekarang. Ia juga menuturkan kepuasan tersebut diperkuat dengan data hasil survei dari Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia. Dalam survei tersebut menyebut tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi mencapai 66,3%. “Polisi juga akan terus melakukan perbaikan untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat yang lebih tinggi,” imbuhnya.
Selain itu, Hadi juga menegaskan tentang usaha seperti transparansi rekrutmen anggota, kegiatan, dan pelaporan penanganan perkara di kepolisian menjadi terobosan baru untuk mendapat tempat di masyarakat. Mengenai hubungan polisi dan masyarakat, ia menyayangkan terkadang ditemui kendala dalam penyampaian informasi ke masyarakat. “Sosialisasi kepada masyarakat melalui kelurahan kadang tidak benar-benar disampaikan, hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat,” tutur Hadi.
Namun berkaca pada sisi lain, pendidikan polisi seakan gagal dalam menciptakan polisi yang hangat dalam melakukan pendekatan dengan masyarakat. “Anggota Polri memang dilengkapi dengan senjata karena tugasnya adalah melindungi masyarakat,” tegas Edi Saputra Hasibuan, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia. Namun, Edi memaparkan bahwa dalam realitasnya, penggunaan kekuatan seperti senjata api menjadi momok bagi masyarakat. Hussein menjabarkan prosedur tetap (protap) penggunaan senjata api di kepolisian kurang diimplementasikan.Â
Terkait penggunaan senjata api, Edi Hasibuan menjelaskan bahwa semua sudah ada aturannya. Ia mengatakan, dalam konteks pengamanan demonstran, polisi tidak diperkenankan membawa senjata api. Menurutnya, polisi hanya hadir untuk memberikan keamanan karena polisi tidak boleh mendekati massa. Anggota Polri yang menyalahi prosedur tentang senjata api, menurut Edi, akan dihukum dengan lebih berat dari masyarakat. “Selain diproses hukum, ia juga dikeluarkan dari kepolisian,” tandas Edi.
Namun, Hussein memaparkan sebaliknya. Ia mengatakan bahwa polisi meneruskan kultur impunitas. “Coba dicek proses pengadilan terhadap mahasiswa Halu Oleo yang sedang demo kemudian ditembak dengan peluru tajam, sampai mana pengadilannya?” tegasnya. Hussein juga mengharapkan hukuman yang tidak hanya berhenti pada demosi atau hanya dihukum penundaan pendidikannya. Ia berpendapat, tindakan sewenang-wenang anggota Polri harus ada penghukuman yang tidak hanya pada pelaku, tetapi juga pada komandan.
Hal serupa dipertegas Ajun Komisaris Besar Polisi Bowo Gede Imantio selaku Bagian Pengendalian Personel Polda DIY. Ia menyebutkan bahwa untuk menertibkan masyarakat, polisi menggunakan pendekatan yang paling baik. “Pendekatan kami dengan konteks mengajak komunikasi, tidak dengan jalan kekerasan,” imbuhnya. Senada dengan pernyataan Bowo, Hadi juga menuturkan jika setiap tugasnya polisi diawasi secara ketat dan tidak berjalan sendiri. Ia menegaskan dengan aturan di kepolisian setiap anggota polisi yang bertugas selalu diberi surat perintah, prosedur tetap, dan memiliki pengawas pada setiap divisi.  Â
Sementara itu, Ajun Komisaris Polisi Arif Darmawan selaku Subbagian Penyediaan Personel Polda DIY mengatakan rekrutmen polisi sangatlah ketat. Di dalamnya memuat beberapa tahapan seleksi seperti administrasi, kognitif, fisik, hingga kejiwaan. Arif juga menambahkan jika salah satu tahapan seleksi gagal, maka calon siswa langsung gugur walaupun nilai tahapan lainnya melampaui batas minimal nilai yang telah ditentukan. “Sebaliknya, jika nilai masing-masing tahapan rata-rata, maka bisa masuk,” ucapnya.
Menurut Arif, kekerasan yang dilakukan oleh polisi di era sekarang harus dikaitkan dengan era pendidikan mereka. Sebab, menurut Arif, pendidikan polisi di era sekarang jauh lebih baik dan efektif. Jadi, harus dipertanyakan pula era pendidikan polisi yang melakukan represi. “Proses rekrutmen yang baik akan menentukan kualitas polisi itu sendiri,” tegasnya.
Berseberangan dengan Bowo dan Arif, Dirga melihat bahwa kewenangan polisi tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat. Ia memberi contoh dengan fakta bahwa penggunaan kekuatan sering berlebihan atau excessive use of force. Contohnya, dalam penanganan aksi penyampaian pendapat sering dilakukan tindak kekerasan secara terbuka. “Reformasi kepolisian perlu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam pemberian wewenang sebagai upaya pencegahan tindak sewenang-wenang,” tegasnya.
Hussein menyatakan dalam konteks posisi ketatanegaraan, unsur pengawas di kepolisian minim. “Kepolisian menganggar, melaksanakan, dan melakukan evaluasi sendiri, berbeda dengan tentara yang berada di bawah Kementerian Pertahanan,” ungkap Hussein. Pada dasarnya institusi kepolisian diawasi oleh badan pengawas yang disebut Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Namun, Hussein menyayangkan fakta bahwa Kompolnas tidak mempunyai daya paksa untuk menghukum polisi yang terbukti melakukan pelanggaran. Ia juga menambahkan, produk dari badan pengawas ini hanya bersifat rekomendasi.
Hal ini turut dipertegas oleh Edi. Ia menuturkan bahwa kehadiran Kompolnas dan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) belum cukup untuk mengawasi polisi. Menurutnya, saat ini, hal yang paling penting adalah peran media sosial dalam mengawasi kinerja polisi. Ia juga menambahkan peran DPR juga turut menjadi pengawas polisi. “Ya, Kompolnas ada bukan berarti memberikan jaminan kalau polisi akan baik, semakin banyak pengawasan akan Polri, maka akan semakin bagus,” terangnya. Selain itu, Edi juga mengamini bahwa aturan-aturan itu belum bagus semuanya, tapi lagi-lagi Edi menyampaikan tidak mudah mengurus beberapa ratus polisi.Â
Lebih lanjut, Hussein juga menyayangkan keterlibatan DPR Komisi III sebagai pengawas eksternal yang ternyata tidak memahami substansi dari tugas kepolisian. Propam sebagai pengawas internal pun hanya bertugas mengawasi etika kepolisian tanpa ada pertanggungjawaban pidana. Menurutnya, dalam konteks pengawasan harus ada penguatan kewenangan dari lembaga terkait, khususnya Kompolnas. “Jika Kompolnas diberi wewenang dari penyidikan, penyelidikan, hingga penyerahan berkas kepada jaksa terkait pidana kepolisian, saya rasa itu akan jadi lembaga pengawasan yang penting,” ujarnya.Â
Dirga juga menyinggung perkara pendidikan kepolisian yang seharusnya menekankan keberadaan aspek kultural seperti pembelajaran tentang HAM. “Pembelajaran HAM harus menjadi kultur dasar tidak hanya untuk perwira saja,” imbuhnya. Lebih lanjut, ia berharap setiap polisi harus paham hukum dan implementasinya terutama terkait HAM. Selain itu, ketegasan anggota kepolisian dalam mempraktikan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Menurut Dirga, HAM harus menjadi instrumen pengambilan setiap kebijakan kepolisian. “Bahkan harus ditanam dalam aspek pendidikan untuk membenahi institusi kepolisian dari hulu sampai hilir,” tambahnya.
Penulis: Ananda Ridho Sulistya, Ilham Maulana, Putri Kusuma Dewi (Magang)
Penyunting: Renova Zidane Aurelio
Fotografer: Aditya Muhammad Bintang (Magang)