Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) mempertanyakan perizinan tambang yang dikantongi korporasi. Pasalnya, dalam proses perolehan izin tambang, korporasi tidak melibatkan warga yang terdampak langsung oleh penambangan tersebut. Rangkaian upaya pun dilakukan untuk melawan korporasi yang datang tanpa permisi dan menambang tanpa legitimasi.
Massa mengular di bantaran Sungai Progo sambil membentangkan spanduk bertuliskan “Progo Ra Didol” (baca: Progo Tidak Dijual). Aksi yang dilakukan pada Oktober 2020 ini merupakan ungkapan kekesalan warga akibat kehadiran korporasi tambang pasir yang dianggap melangkahi mereka dalam pembuatan dokumen perizinan. Merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, warga yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) melakukan berbagai upaya penolakan terkait masuknya korporasi tersebut ke Sungai Progo, Dusun Jomboran XV, Sendangagung, Minggir, Sleman.Â
Salah satu anggota PMKP, Septandi Alfianto atau yang akrab disapa Tandi, menjelaskan bahwa segalanya bermula di tahun 2017. Saat itu, PT Citra Mataram Konstruksi (PT CMK) tiba-tiba beroperasi di Padukuhan Pundak Wetan, Kulon Progo, tetapi ditolak warga dan akhirnya korporasi pergi. Kemudian pada bulan November 2019, secara tiba-tiba PT Aneka Dharma Persada yang merupakan induk dari PT CMK menambang di Jomboran. Hal tersebut mendorong warga melakukan aksi penolakan yang berbuah keberhasilan: korporasi pun pergi.
Tandi melanjutkan, perginya korporasi tak lantas menyelesaikan persoalan tambang. Pada tahun 2020, beberapa warga Jomboran mendapat undangan pemberitahuan dari Tim PT CMK. Pada pertemuan tersebut, korporasi ternyata sudah mengantongi izin tanpa melibatkan warga. Tandi menambahkan, bahkan dalam pertemuan tersebut hanya melibatkan segelintir pihak saja, seperti Ketua RT, RW, Karang Taruna, KKLPMD (Kelompok Kerja Lembaga Pengembangan Masyarakat Dusun), serta warga yang rumahnya begitu dekat dengan Sungai Progo. “Pertemuan tersebut bertujuan untuk mengonsolidasikan warga agar menyetujui tambang,” ujar Tandi.
Pengambilan keputusan yang eksklusif dan tertutup mendorong warga kontra menyangsikan legalitas izin korporasi. Menurut mereka, korporasi tidak pernah melakukan sosialisasi mengenai pengambilan keputusan izin penambangan. Iswanto selaku Ketua PMKP, mengungkapkan bahwa mulanya warga tidak diperbolehkan mengakses dokumen bukti perizinan dengan dalih privasi korporasi. Namun setelah melalui beberapa proses, warga berhasil mengakses dokumen tersebut dan menemukan bahwa korporasi menyertakan dokumen sosialisasi yang sebenarnya tidak pernah diadakan. Iswanto juga menuturkan, dokumen tersebut telah ditandatangani oleh Lurah Sendangagung dan Dukuh Jomboran XV. “Korporasi tiba-tiba menunjukkan surat izin pertambangan di wilayah Sendangagung, kami merasa heran karena tidak ada sosialisasi sebelumnya,” ujar Iswanto.
Hal menarik lainnya adalah ditemukannya pemalsuan tanda tangan warga pada dokumen sosialisasi tersebut. Sukardi, menjadi salah satu warga yang mengalami pemalsuan tanda tangan dirinya. Ditemui pihak Balairung, Sukardi menceritakan bahwa tidak ada satupun, baik dari pihak korporasi maupun pejabat desa, yang mendatanginya untuk keperluan dokumen perizinan. ”Saya tidak pernah tanda tangan kok tiba-tiba ada nama Sukardi Tegalsari di dokumen tersebut. Saya merasa ini bentuk pencemaran nama baik saya,” tuturnya.Â
Terkait pemalsuan dokumen dari PMKP, pihak Balairung telah mencoba menghubungi baik dukuh maupun lurah sebanyak tiga kali. Namun hasilnya nihil: dukuh menolak dengan alasan sibuk, sementara lurah tidak pernah merespons permohonan wawancara. Selain itu, Sekretaris Dusun Jomboran juga tidak menanggapi pesan konfirmasi yang dikirimkan via WhatsApp.
Pro dan Kontra di Masyarakat
Sulis selaku warga pro, menyangsikan keterangan warga kontra. Sulis menyatakan bahwa korporasi yang bersangkutan telah mengantongi izin resmi. Sulis menambahkan, korporasi sudah melakukan pendekatan dengan warga melalui sosialisasi, baik lewat forum maupun mengunjungi rumah-rumah penduduk. Dalam paparannya, Sulis mengatakan bahkan pada saat pengadaan forum, warga kontra turut menghadiri. Akan tetapi, mereka menolak untuk menandatangani daftar kehadiran sosialisasi.Â
Terkait upaya menyelesaikan konflik antara warga pro dan kontra, Sulis mengatakan bahwa sudah pernah dilaksanakan voting suara yang diinisiasi warga yang dilaksanakan di luar sosialisasi konvensional. Hasil akhir dari voting tersebut menunjukkan bahwa warga kontra mengalami kekalahan. “Namun, warga kontra menolak keputusan tersebut,” terang Sulis.
Pernyataan Sulis tersebut diklarifikasi oleh Tandi. Tandi sepakat mengenai penolakan tanda tangan dari warga kontra, tetapi hal itu mereka lakukan sebagai antisipasi agar tanda tangan itu tidak disalahgunakan. Sebab, yang tertulis di atas kertas adalah daftar hadir sosialisasi. “Kami pertanyakan, mengapa itu daftar hadir sosialisasi? Kalau sosialisasi, kami pulang,” tegasnya.
Menurutnya, sosialisasi seharusnya dilakukan jauh sebelum korporasi beroperasi. Tandi juga menambahkan, apabila terdapat penolakan masif seperti ini yang mestinya dilakukan adalah audiensi alih-alih sosialisasi. Pada akhirnya, judul pada daftar hadir diubah menjadi daftar hadir audiensi. Tidak hanya soal judul kegiatan, Tandi juga mengklarifikasi keterangan Sulis terkait penolakan hasil voting. “Kami tidak merasa ada voting. Jika ada, dimana dan kapan? Kalau ada bukti autentik, silakan tunjukkan,” tandasnya.
Serangkaian upaya telah dilakukan warga kontra untuk menolak tambang, seperti membuat surat penolakan, audiensi, dan aksi. Audiensi diselenggarakan untuk mendengarkan pendapat dari berbagai pihak mulai dari warga kontra, warga pro, perangkat Dusun, bahkan pihak korporasi. Berdasarkan penjelasan Tandi, audiensi telah dilakukan sebanyak empat kali dan tidak pernah berujung mufakat.
Windiartono, salah satu warga pro, memberikan sangkalan terhadap penolakan tambang dari warga kontra. Dia menjabarkan bahwa keberadaan penambangan ini justru mampu memajukan Dusun. Setidaknya, terdapat dua alasan yang dipaparkan oleh Windyartono tentang keuntungan yang akan diperoleh dari adanya kegiatan penambangan di Jomboran.
Pertama, menciptakan perbaikan aktivitas pertambangan di Dusun Jomboran agar lebih terkelola dan mengurangi kerusakan lingkungan di sekitar Sungai Progo. Keberadaan alat berat milik korporasi oleh Windiartono diklaim dapat memperkecil terjadinya erosi di lokasi tambang. Kedua, para warga pro meyakini eksistensi korporasi tambang meningkatkan taraf hidup Warga Jomboran menjadi lebih baik. Adapun manfaat yang dimaksud di antaranya membantu warga untuk menggali potensi dusun hingga penciptaan lapangan kerja bagi warga. “Maka, salah bila warga kontra menolak dengan mengatasnamakan warga Jomboran,” pungkas Windiartono.
Berkebalikan dengan Windiartono, Eri Gunawan selaku warga kontra, menandaskan bahwa pertambangan justru menimbulkan kerusakan lingkungan Sungai Progo yang merupakan sumber air Warga Jomboran. Eri juga menjelaskan tentang lokasi Sungai Progo yang dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi dan berhubungan langsung dengan pemukiman warga di atasnya. Eri menambahkan, jika penambangan pasir tetap dilakukan, justru makin memperparah longsor dan membahayakan warga. “Maka apabila tujuan korporasi untuk menyelamatkan lingkungan, harusnya diperbaiki bukan ditambang,” tuturnya
Merespons pernyataan pihak pro yang menyatakan pertambangan dapat membuka lapangan pekerjaan, Tandi berpendapat bahwa klaim tersebut adalah iming-iming belaka. Tandi mengambil contoh di kawasan atas dan bawah Sungai Progo. Kawasan itu sudah mengalami penambangan oleh alat berat. Hal tersebut justru menimbulkan kerusakan bagi sumber mata air di Sungai Progo. “Keberadaan korporasi tambang bukan membuka lapangan kerja, tetapi justru menciptakan permasalahan baru di Dusun Jomboran,” tegasnya.Â
Tidak Ada Legitimasi tanpa Partisipasi
Agung Wardhana, Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum UGM, menjabarkan mengenai urgensi partisipasi warga dalam sebuah proses perizinan penambangan. Hal ini penting, sebab warga menjadi aktor utama yang akan terkena dampak langsung dari adanya korporasi tambang. Warga memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya, termasuk dalam proses pemberian izin usaha tambang. Lebih lanjut, Agung menjelaskan terdapat tiga pilar utama dalam partisipasi ini.Â
Pertama, akses informasi yang mudah, akurat, dan tepat waktu. Kedua, aspek pemberian kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan izin tambang. Ketiga, aspek keadilan. Aspek keadilan dimaksudkan bahwa setiap warga berhak menguji keputusan akhir dari izin tambang, bahkan membawanya ke pengadilan apabila dinilai masih belum sesuai dengan aspirasi warga. “Ketiga pilar tersebut merupakan bentuk implementasi atas hak setiap warga negara untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat,” paparnya.
Menanggapi permasalahan yang terjadi di Dusun Jomboran, menurut Agung, klaim korporasi atas izin resmi usaha tambang di Dusun Jomboran perlu ditilik kembali. Salah satunya mengenai pihak-pihak yang dilibatkan ketika proses perizinan usaha tambang. Hal ini berkaca dari adanya ketidakselarasan antara warga pro dan kontra mengenai keputusan akhir perizinan usaha tambang.Â
Agung menambahkan, karakteristik partisipasi yang baik yakni mengikutsertakan seluruh elemen tanpa ada upaya mengucilkan pihak-pihak tertentu. Sebab, semakin tinggi partisipasi maka semakin tinggi pula legitimasi yang melekat pada hasil akhir keputusan tersebut. “Hendaknya partisipasi tidak dianggap formalitas belaka,” tuturnya.Â
Penjelasan Agung terkait upaya eksklusi terhadap pihak-pihak tertentu sejalan dengan pernyataan Iswanto bahwa korporasi cenderung mengesampingkan suara warga kontra. Padahal, keputusan perizinan pertambangan ini menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga seharusnya partisipasi dilakukan secara menyeluruh tanpa mendiskriminasi pihak tertentu. Tandi menjelaskan bahwa dampak destruktif dari pertambangan ini bukan hanya dirasakan warga Jomboran, tetapi juga warga Kulon Progo yang tinggal di sekitar Sungai Progo. “Segelintir orang tidak bisa mewakili persetujuan,” tandasnya.
Penulis: Naomy A. Nugraheni dan Viola Nada Hafilda
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Illustrator: Leo Reynaldo
2 komentar
Dengan adanya pertambangan dengan alat berat,yang diuntungkan cuman segelirtir orang saja!!
Katanya menyejahterakan masyarakat yang mna???paling yg untung tu yang koar”..Tu penambangan didusun Nanggulan yang untung siapa??Bisa melenggang bikin rumah megah ..tambang berhenti ya bangun rumah juga berherti.. wkwkwkk
terimakasih sangat bermanfaat