Lapangan Desa Wisata Kubu Gadang, Kelurahan Ekor Lubuk, Padang Panjang Timur menampilkan berbagai pertunjukan yang kental akan budaya. Satu sama lain saling beriringan membentuk irama yang khas. Mereka sedang mengenalkan diri kembali kepada khalayak. Meskipun dalam suasana tatanan baru, mereka tetap muncul dengan performa terbaik. Ya, mereka adalah barisan budaya MinangkabauâBarzanji, Dabuih, Mangerak, Tari Piriang Suluah, Sikerei, Lukah Gilo, dan Luambekâyang sudah ada sejak zaman dahulu. Pertunjukan tersebut merupakan salah satu rangkaian acara festival yang diadakan oleh Komunitas Nan Di Anjuang dengan tema âRitual dalam Aktualisasi Budaya Tradisiâ. Festival yang bertajuk âFestival Ritual Nagariâ ini berlangsung pada 23â24 Oktober 2020 dan dapat dinikmati oleh masyarakat umum. Lebih detail, festival ini bertujuan untuk melestarikan adat dan budaya masyarakat Minangkabau khususnya di Kota Padang Panjang pada zaman dahulu. Â
Hadirnya festival ini dilatarbelakangi oleh minimnya pengetahuan generasi muda pada budaya Minangkabau. âMelalui festival ini kita berharap generasi muda dapat menjaga dan mengetahui setidaknya bentuk kebudayaan-kebudayaan yang Sumatra Barat miliki khususnya di bidang ritual ini,â ujar Oscar Ahmad Ridho, pimpinan program Festival Ritual Nagari. Menurutnya, meskipun ritual yang diadakan tidak sepenuhnya sama dengan dulu, tetapi setidaknya generasi muda mengetahui bahwa budaya-budaya tersebut masih ada di Minangkabau. Lebih lanjut, setelah mengenal berbagai budaya tersebut, ia berharap generasi muda pun akan berpartisipasi aktif dalam pelestarian budaya-budaya Minangkabau ini.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan turut mendukung adanya festival kebudayaan ini mengingat pentingnya pengenalan budaya kepada generasi muda. Dalam sambutannya, Fadly Amran, Walikota Padang Panjang juga menyatakan bahwa budaya harus dikenal oleh generasi muda dan tidak bisa lepas dari manusia itu sendiri. Menurutnya, setiap daerah di Indonesia harus mampu mempertahankan budaya dan kearifan lokal. Banyak ritual budaya pendahulu memiliki makna yang beragam sehingga perlu dilestarikan. “Satu ritual itu merupakan refleksi dari peradaban nenek moyang kita selama beratus-ratus tahun. Tentu banyak arti dari pertunjukan-pertunjukan atau ritual-ritual itu sendiri,” tambahnya.Â
Festival yang diadakan sehari semalam ini menampilkan wajah lama Minangkabau dalam bentuk ritual-ritual yang khas dan mengandung kesenian tradisional yang sangat dominan. Sedikitnya, ada delapan ritual yang menjadi perwakilan dari sekian banyak ritual yang ada di Minang. Pertama, Barzanji, yaitu bacaan syair dan sholawat pada malam maulid nabi. Bagi masyarakat Minangkabau, membaca Barzanji dapat menjadi suatu jembatan rohani dalam mendekatkan diri kepada sang Pencipta dan Nabi Muhammad SAW.Â
Kedua, Dabuih atau lebih sering dikenal dengan istilah Debus, merupakan atraksi kekebalan tubuh dari senjata tajam. Masyarakat Minangkabau menganggap permainan debus bersumber dari pengajian tarekat melalui sistem pendidikan. Dalam hal ini, Dabuih dipandang sebagai suatu ilmu. Ilmu yang dimaksud ini bukan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman empiris, melainkan ilmu tarekat. Sebagai sebuah ilmu, Dabuih ini sangat unik karena tidak semua orang bisa melakukan atraksi senjata tajam. Oleh karena itu, masyarakat luas sering kali memandang hal ini tidak lazim dan selalu dikaitkan dengan hal-hal mistik.
Ketiga, Sirompak, yaitu alat tiup dari Minangkabau yang terbuat dari bambu. Alunan nada Sirompak ini membuat para penonton yang sebelumnya riuh menjadi diam seketika. Saat mendengarnya, sesekali suara lengkingan dari alat musik tersebut membuat setiap mata tertuju pada dua orang pemusik yang jemarinya menari lihai pada lima lubang di bagian bawah saluang. Suasana malam dengan alunan dendang serta Sirompak sukses membuat para penonton bergidik. Pasalnya, bagi masyarakat Minangkabau, Sirompak dikenal sebagai ritual yang dilakukan untuk mengirimkan jampi-jampi atau guna-guna pada seseorang.Â
Keempat, Mangerak, yaitu ritual atau proses perkawinan yang masih dilaksanakan di Minangkabau. Mangerak memiliki makna yang dalam bagi pengantin di Minangkabau dari setiap prosesi yang ada. Prosesi Mangerak ini cukup panjang, antara lain marasek, babimbang tando, mahanta siri, babako-babaki, malam bainai, manjaipuik marapulai, penyambutan di rumah anak daro, akad nikah, basanding di palaminan, mamulangkan tando, malewakan gala marapulai, balantuang kaniang, mangaruak nasi kuniang, bamain cok, tari payung, dan manikam jejak.Â
Kelima, Tari Piriang Suluah, yang merupakan bentuk transformasi ritual yang diubah menjadi pertunjukan tarian. Namun, dalam tarian ini tidak hanya menampilkan tarian saja tetapi juga ritual. Ritual yang dimaksud adalah ritual para petani Minangkabau yang berharap hasil panennya akan melimpah. Ritual ini identik dengan suluah (alat penerangan tradisional) yang digunakan para petani di saat petang hari.
Keenam, Sikerei, upacara pengobatan yang dilakukan di daerah Mentawai. Sikerei ini juga merupakan sebutan bagi seorang dukun di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat yang dianggap memiliki kekuatan supranatural. Dukun ini dinobatkan melalui upacara khusus yang disebut taddek.
Ketujuh, Lukah Gilo, ritual ini menggunakan lukah yang berarti alat tangkap ikan yang terbuat dari anyaman rotan dan gilo berarti gila. Secara lebih detail, Lukah Gilo merupakan ekspresi dari hubungan atau komunikasi antara bomo (manusia) dan kawan-kawannya dengan makhluk gaib untuk masuk ke dalam lukah, dengan berbagai tujuan keperluan budaya. Pada zaman dahulu, lukah digunakan untuk memanggil dan mengumpulkan orang-orang saat ada pengumuman dari kepala nagari.
Kedelapan, Luambek, secara adat dimiliki oleh kelompok ninik mamak (penghulu) dan hiasan permainan oleh kemenakan atau anak muda-muda. Luambek menampilkan keterampilan pertarungan dengan gerakan-gerakan menyerang dan menangkis tanpa kontak fisik. Gerakan-gerakan dilakukan mengikuti irama musik vokal dampeang yang dilantunkan oleh dua orang tukang dampeang. Pertarungan tersebut dipimpin oleh dua orang janang yang bertindak sebagai wasit dan diawasi oleh para penghulu nagari-nagari yang terlibat. Tempat pertunjukan Luambek adalah laga-laga yang berarti tempat berlaga, tempat bertarung, tempat menentukan kalah menang, tempat menyaksikan siapa pemenang dan siapa pecundang.Â
Melalui kedelapan ritual tersebut, Oscar menyampaikan harapannya terhadap pelestarian budaya Minangkabau. âSaya berharap, panitia dan peserta festival ini tetap melakukan aktivitas sebagai seniman tradisi, tetap melestarikan kebudayaan yang sudah dilakukan cukup lama. Saya juga berharap para penonton dan apresiator yang sudah hadir lebih memahami budaya yang ada di sekitar kita,â ungkapnya. Ia pun menambahkan, sudah seharusnya budaya ditempatkan sebagai warisan berharga untuk generasi selanjutnya. Budaya dan ritual Minangkabau ini tidak boleh mati di suatu generasi hanya karena generasi mudanya minim pengetahuan. Oleh karena itu, ia mengimbau agar generasi muda senantiasa melestarikan budaya-budaya daerah, khususnya Minangkabau.
Terlepas dari betapa menariknya berbagai ritual Minangkabau yang sudah ditampilkan, salah satu partisipan menyampaikan kesannya tentang Festival Ritual Nagari. âMenurut saya, acara ini sangat sarat ilmu, memberikan banyak informasi mengenai budaya-budaya Minangkabau, dan menjadi sebuah pengingat bagi kami, generasi muda, untuk senantiasa menjaga dan melestarikan budaya yang ada di Indonesia,â ungkap seorang mahasiswi bernama Salsa tersebut. Baginya, konsep penampilan ritual-ritual di Festival Ritual Nagari ini memiliki daya tarik tersendiri.Â
Senada dengan Salsa, salah satu penonton yang pada awalnya belum pernah menyaksikan festival budaya mengungkapkan rasa antusiasnya dalam menyaksikan Festival Ritual Nagari. âWalau ada kendala hujan deras di hari pertama, pertunjukan seni ini tetap berjalan dengan baik. Namun sayang menurut saya waktu pertunjukannya masih kurang,â pungkas Melfa yang berprofesi sebagai penjual. Meskipun dengan waktu yang cukup singkat, Melfa memaparkan bahwa dari festival inilah ia dapat mengetahui budaya-budaya Minangkabau. Hal ini dikarenakan ia dapat melihat dan berdiskusi secara langsung dengan panitia festival yang bersangkutan. Bahkan, ia berharap pertunjukan Festival Ritual Nagari dapat digelar lagi di tahun-tahun berikutnya.Â
Menilik berbagai respons positif dari para penonton, upaya pengenalan budaya Minangkabau yang digagas Komunitas Nan Di Anjuang telah berhasil menjembatani pelestarian budaya Minangkabau. Selanjutnya, kegiatan Festival Ritual Nagari ini dapat dijadikan contoh bagi komunitas-komunitas pecinta budaya lain dalam menyelenggarakan acara yang serupa.Â
Penulis : Farah Ramadanti, Siti Nurjanah, Zahra Salsabila (Magang)
Penyunting: Aufa Fathya
Fotografer: Muhammad Zia Ulil Albab (Magang)Â