Kamis (9-7), terik matahari dan hiruk pikuk kendaraan bermotor tidak melunturkan niat massa aksi yang terdiri dari puluhan mahasiswa dan sejumlah masyarakat sipil dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB). Mereka berkumpul untuk melancarkan aksi Geruduk Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LL Dikti). Mereka menuntut kebijakan pendidikan gratis selama masa pandemi COVID-19 dan menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law.
Aksi dimulai dengan melakukan longmars dari Tugu Pal Putih hingga kantor LL Dikti Wilayah V Yogyakarta. Menurut humas aksi, Jery, aksi ini merupakan puncak dari aksi-aksi geruduk kampus yang dilancarkan selama dua minggu belakangan oleh mahasiswa di berbagai perguruan tinggi swasta (PTS) maupun perguruan tinggi negeri (PTN) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). “Khusus hari ini, fokus kami adalah penggratisan biaya pendidikan selama pandemi,” kata Jery. Menurutnya, jika permintaan tersebut tidak bisa dipenuhi, setidaknya ada kebijakan pemotongan biaya pendidikan sebesar 50 persen selama masa pandemi. Sebab, selama pandemi, mahasiswa melakukan kuliah daring yang membutuhkan subsidi kuota atau penggratisan biaya internet.
Setelah berjalan sejauh sekitar satu kilometer, massa aksi tiba di depan gedung LL Dikti Wilayah V Yogyakarta. Kepala LL Dikti Wilayah V, Didi Achjari, mengizinkan massa aksi memasuki gedung untuk menyampaikan aspirasi, setelah sebelumnya pihak LL Dikti meminta jaminan keamanan kepada humas aksi. Sambil duduk bersila di hadapan massa aksi, Didi mengatakan bahwa lembaga yang ia pimpin itu memiliki kewenangan terbatas. “Perlu kami sampaikan bahwa intervensi ke PTS itu tidak dimungkinkan secara kewenangan, tapi kami bisa mengimbau dan membantu kalau ada laporannya,” kata Didi.
“Kalau adik-adik bisa memperjuangkan 20 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk dialokasikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pendidikan gratis bisa diwujudkan,” jawab Didi ketika ditanya soal pendidikan gratis menggunakan APBN. Menurutnya, saat ini 20 persen dari total APBN, yang jumlahnya mencapai 500 triliun, dialokasikan untuk fungsi pendidikan. Anggaran fungsi pendidikan itu tidak hanya digunakan untuk perguruan tinggi, tetapi juga sekolah-sekolah kedinasan, contohnya Akademi Angkatan Udara, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional di DIY, dan sebagainya. Kemendikbud, khususnya Dikti, hanya mendapatkan kurang dari sepuluh persen dari total anggaran fungsi pendidikan tersebut, yakni sebesar 40-an triliun.
Setelah berdialog selama hampir satu jam, terjadi perselisihan antara pihak LL Dikti dengan peserta aksi. Hal ini terjadi karena perbedaan pemahaman mengenai waktu penyampaian aspirasi. Pihak LL Dikti menganggap peserta aksi tidak menepati janji bahwa aksi akan berakhir pukul 14.30 WIB. “Kami akan bubar di waktu tersebut kalau tuntutan kami dipenuhi,” teriak salah satu peserta aksi. Negosiasi antara massa aksi dan LL Dikti pun berakhir buntu. Hingga akhirnya sekitar 30 massa aksi memutuskan untuk bermalam di LL Dikti Wilayah V.
Menjelang malam, satu per satu pegawai dan pejabat LL Dikti meninggalkan gedung tanpa mengatakan apapun kepada peserta aksi. Pihak LL Dikti kemudian menyatakan akan melakukan audiensi dengan rektor-rektor di sejumlah PTN maupun PTS pada hari Jumat (10-7) pukul tujuh pagi. Namun, setelah ditunggu-tunggu, ternyata LL Dikti Wilayah V menerapkan pelayanan daring pada hari tersebut. Maka dari itu, tidak ada satu pun pejabat maupun pegawai LL Dikti yang datang ke kantor, kecuali pihak keamanan. “Massa aksi membacakan pernyataan sikap dan meninggalkan surat berisi tuntutan kepada Kepala LL Dikti Wilayah V untuk mengadakan pertemuan dengan para rektor pagi ini,” tulis Jery ketika dihubungi melalui pesan teks pada hari itu.
Komarudin, salah satu peserta aksi dari Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, menyebut bahwa kebijakan kampus selama pandemi COVID-19 masih dinilai kurang memihak mahasiswa. Ia juga berharap agar LL Dikti Wilayah V dapat melakukan audiensi dengan para rektor agar dapat meringankan biaya pendidikan selama pandemi. Pendapat lain juga disampaikan oleh Abidah Naqiya, peserta aksi dari UGM. Menurutnya, aksi memang tidak bisa hanya dilakukan sekali. Naqiya juga menganggap pihak LL Dikti Wilayah V tidak memberikan solusi dan hanya melempar tangan atas masalah struktural yang dihadapi perguruan tinggi. “Kalau sampai pemerintah pusat juga masih buntu, berarti memang sistem pendidikannya yang busuk,” pungkas Naqiya.
Penulis: Nadia Intan Fajarlie
Penyunting: Harits Naufal Arrazie