Lebih dari lima ribu massa yang tergabung dalam aksi bertajuk #GejayanMemanggil berbondong-bondong melakukan longmars menuju Pertigaan Gejayan di Jalan Affandi pada Senin (23-9). Massa aksi tersebut berasal dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Selain dari Yogyakarta, terdapat sekitar 600 massa aksi dari Universitas Tidar Magelang dan Universitas Muhammadiyah Magelang. Aksi digelar sejak pukul 11.00 sampai dengan pukul 17.00 WIB.
Sepanjang perjalanan, massa aksi terus menggaungkan yel-yel yang berisi tuntutan hingga tiba di Pertigaan Gejayan seperti teriakan, “Tolak, tolak, tolak RUU, tolak RUU sekarang juga. Berantas, berantas, berantas korupsi, berantas korupsi sekarang juga.”
Sesampainya di Pertigaan Gejayan, massa aksi dari perwakilan ketiga poros secara bergantian menyampaikan orasinya. Setelah itu, Koordinator Lapangan (Korlap) memimpin massa aksi untuk mengheningkan cipta dalam rangka mengingat korban yang gugur karena penembakan di Gejayan saat Tragedi Yogyakarta. Sesaat setelah mengheningkan cipta, massa dipimpin oleh Korlap melakukan aksi teatrikal dengan menidurkan diri di jalan ketika sirene berbunyi sebagai wujud aksi mati surinya demokrasi Indonesia.
Dari persiapan kepolisian sendiri, Rizki Ferdinasyah selaku Kepala Polres Sleman mengatakan bahwa tidak ada tim khusus yang dikerahkan untuk menertibkan aksi. “Polres sudah melakukan rekayasa lalu lintas yaitu dengan menutup beberapa jalan menuju Gejayan,” ujarnya. Ia menambahkan jalan dari Gejayan menuju arah selatan akan ditutup ketika massa sudah berkumpul di Pertigaan Gejayan. Rizki mengaku hal ini dilakukan untuk tetap menjaga kenyamanan massa aksi dan juga kenyamanan warga sekitar.
Benfa, Korlap Universitas Sanata Dharma, menyatakan bahwa aksi ini merupakan respon atas sejumlah permasalahan nasional yang terjadi. “Rakyat harus bangkit merespon persoalan-persoalan terkini,” serunya dalam mengawali orasi. Sementara itu, Debora, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, menyatakan bahwa aksi ini dilakukan untuk menuntut hak rakyat kepada negara. “Sejak kecil kita diajarkan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,” sahutnya. Orasi tersebut kemudian disambut dengan sorak-sorai massa aksi. Senada dengan Debora, Erlyan Septianto, Koordinator Umum UNY, menyatakan tugas rakyat ialah menggugat pemerintah. “Pemerintah harus dibenahi. Kita lawan!” serunya.
Menanggapi persoalan lingkungan, Korlap UIN, menyebutkan bahwa telah terjadi perampasan ruang dan lingkungan hidup hari ini. Menurutnya, RUU Pertanahan tidak memberikan hak yang sama terhadap rakyat sebab konflik agraria masih marak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. “Respon pemerintah atas kebakaran hutan dan perampasan lahan cenderung menyalahkan masyarakat adat sebagai pelakunya, bukan pada elit-elitnya,” tutur Benfa.
Ia melanjutkan himbauan agar massa aksi tetap waspada dan menjaga keamanan selama jalannya aksi. “Laporkan jika melihat peserta aksi yang membawa atribut mencurigakan atau berbahaya,” seru Benfa. Ia menegaskan bahwa aksi ini harus tetap kondusif sampai aksi berakhir. Tak lama setelah orasi usai, aksi dilanjutkan dengan pagelaran teatrikal penindasan kaum marjinal yang diperankan oleh sosok bercat hitam di sekujur tubuhnya.
Menjelang selesainya aksi sore itu, masing-masing Korlap dari tiga poros massa membacakan pernyataan sikap. Pembacaan sikap yang diiringi oleh lagu “Darah Juang” tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dengan RKUHP; Kedua, mendesak pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia; Ketiga, menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah Indonesia; Keempat, menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja; Kelima, menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reforma agraria; Keenam, mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; Ketujuh, mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.
Obed Kresna, Ketua BEM-KM UGM 2018, menilai unjuk rasa berjalan dengan damai dan terkendali. Ia juga menuturkan bahwa suasana kondusif yang tercipta selama unjuk rasa berlangsung sudah sesuai harapan. Ia juga menyanggah tuduhan beberapa pihak bahwa aksi Gejayan Memanggil ini telah ditunggangi oleh kelompok politik tertentu. “Aksi ini murni berasal dari keresahan mahasiswa yang berujung pada kesepakatan untuk turun ke jalan,” pungkasnya.
Menjelang pukul 17.00 WIB, massa aksi meninggalkan Pertigaan Gejayan secara perlahan. Unjuk rasa kali ini pun tidak menimbulkan permasalahan kebersihan apapun yang dapat merugikan pengguna jalan lain. Beberapa pengunjuk rasa mengorganisasi diri untuk memungut sampah dan mengumpulkannya. Pukul 17.30, lalu lintas Jalan Affandi dari selatan ke utara dan sebaliknya dibuka kembali. Massa aksi dipastikan telah mengosongkan lokasi unjuk rasa dengan tertib sebelum hari menjelang petang.
Reporter: Afal Ranggajati, Anis Nurul, Muhammad Fadhilah, Muhammad Rizqi Akbar, Nadia Intan Fajarlie, Deatry Kharisma, Zarah Lyntang
Penulis: Fahmi Sirma dan Andara Rose
Penyunting: Cintya Faliana