Jun dikenal sebagai lelaki keras kepala di kampungnya, lebih tepatnya di Prenduan. Dia memang luar biasa keras kepala, toh dia tidak pernah mau patuh pada perintah saya sebagai penulis cerita! Jun benar-benar lelaki yang keras kepala. Nama panggilan kesukaannya Jun. Nama lengkapnya tetap Jun.
Sekarang hidupnya hanya mengabdi pada pemberhentian bus kota di Prenduan, tapi bukan terminal hanya lintasan perempatan jalan itu dianggap terminal mini oleh orang-orang yang suka pada sebuah keberangkatan dan kepulangan. Siang dan malam dia setia duduk berjam-jam sendirian. Tidak peduli sepi atau ramai yang mengisi tempat itu, dia tetap menikmati kesendirian. Tersenyum sendiri, berbicara sendiri, atau kadang-kadang meneriakkan nama perempuan yang panjang sekali.
Dulu semasih menjadi pemuda dewasa, dia mengajar di salah satu Sekolah Madrasah Aliyah di kampungnya. Tiap tahun dia selalu dibaiat menjadi guru terfavorit juga guru paling akrab dengan semua siswa-siswinya. Sampai usia 23 tahun dia belum juga menikah, dalam hati dan pikirannya hanya dipenuhi rumus-rumus nahu dan saraf, dua mata pelajaran yang dia pegang. Dua ilmu alat sebagai jembatan menguasai Kalam Allah. Keduanya memang menjadi pelajaran yang dia gemari sejak kecil.
Dalam agama Islam yang dia anut, tentu usia 23 tahun sudah sangat matang untuk mengubah status lajang. Jantungnya hanya berdetak wajar setiap bertatap muka dengan perempuan. Hatinya kosong-melompong. Bukan tidak ada perempuan yang pernah menawarkan diri menjadi istri. Jun sendiri yang selalu menolak setiap ada perempuan yang mengatakan jatuh hati padanya.
Dalam usia matang, tentu selalu ada bahasa-bahasa sindiran padanya apalagi setiap berkumpul dengan keluarga. Tapi Jun tetap tenang-tenang saja. Kesendirian itu sudah mampu membawa Jun pada titik kesempurnaan hidup. Semua itu berjalan hingga sampai pada usia 24 tahun. Dalam perkumpulan makan malam, tiba-tiba Ibu Jun berbicara dengan nada keras dan sedikit kasar, “Nak, kalau tahun ini kau tidak bisa menentukan siapa perempuan yang kau pilih untuk menjadi istri, terpaksa Bapak dan Ibu yang menentukan siapa kira-kira perempuan yang harus nak Jun kawini. Nak Jun mau menerima keputusan kami kan?”
Jun hanya mengangguk tanpa merespon dengan kata-kata. Dia hanya diam sampai semua bubar. Jun tetap menjalani aktivitas seperti biasa. Di wajahnya tidak pernah ada pancaran masalah yang dia tampakkan pada semua orang terutama pada anak didiknya.
Sampai pada akhirnya dia jatuh cinta pada perempuan yang menjadi anak didiknya sendiri: Aisyatul Mukarramah Sri Andayani Hastuti. Setiap memanggil namanya sewaktu mengabsen dia benar-benar merasakan ada kehidupan lain dalam tubuhnya. Dia rasakan dari detak jantungnya yang berdetak kencang seolah-olah ada kaki-kaki kecil yang menendang.
Hal itu dia alami ketika mengajar Aisya semester dua kelas tiga. Setelah Aisya tamat Madrasah Aliyah Jun berniat melamarnya. Jun semakin tidak sabar menanti hari yang sudah menjadi rencana besar dalam hidupnya. Dia tidak lupa memberi kabar kepada semua pihak keluarga. Dan semua merespon dengan baik.
“Manusia selalu punya rencana untuk menyambut hidup tapi hidup selalu dipenuhi rahsia-rahasia besar. Ribuan jalan bisa ditentukan tapi satu jalan saja menyimpan lebih dari seribu kemungkinan-kemungkinan. Kesemuanya hanya menuju dua hal; bahagia dan terluka.”
Hari yang sudah ditentukan Jun tidak lebih dari hitungan jari tangan. Seminggu sebelum hari itu tiba, dia mendengar kabar kalau Aisya kawin dengan laki-laki pilihannya. Dan tepat pada hari yang Jun tentukan untuk melamar, hari itu menjadi hari terkhir baginya melihat wajah Aisya. Aisya hendak mangkat ke Jakarta bersama suaminya kemudian hidup di sana. Meneruskan pekerjaan mertuanya, menjaga toko. Jun menunggu di Prenduan, melihat Aisya dari kejauhan, sebelum bus meluncur Aisya sempat melihat kepada mantan gurunya tersebut. Dalam hati Aisya sebenarnya ingin menghampirinya tapi bus sudah terburu meluncur. Aisya hanya melambaikan tangan pada Jun. Jun tidak mengerti lambaian tangan Aisya itu sebuah simbol kemenangan atau kekalahan bagi dirinya. Dari sinilah awal cerita Jun dimulai.
Akhirnya Jun menerima keputusan keluarga. Dia mau menikah dengan perempuan pilihan ibunya. Tapi Jun yang sekarang bukan Jun yang dulu. Bukan Jun yang wibawa. Bukan Jun yang dipuja-puja oleh murid-muridnya.
Jun yang sekarang semakin keras kepala. Menjelang hari pernikahannya Jun sering melakukan sesuatu yang dianggap nyeleneh oleh semua orang termasuk Ibu dan Bapaknya sendiri bahkan di depan mertuanya sekalipun. Semisal ketika Jun ngopi bersama teman-temannya di warung Ibu Salami tiba-tiba Jun penuh tenang mengutarakan perasaan cinta seolah dia berbicara dengan Aisya. Mulutnya tak pernah diam. Dia terus menerus meracau, ngalor ngidul sekaligus membingungkan. Jun juga sering kencing di tengah jalan, berak di masjid, sampai berjalan-jalan keliling Desa tanpa memakai pakaian. Itulah alasan kenapa Jun dicap tidak waras oleh semua penduduk Desa Prenduan termasuk oleh calon istrinya.
Pernikahan yang di depan mata kini raib. Jun benar-benar mengalami kesendirian yang sempurna, penuh makna. Pikiran orang lain tentu tidak sampai ke dunia Jun, buktinya tidak ada satu orang pun yang berani mengatakan ingin merasakan hidup seperti yang Jun jalani sekarang.
***
Perempatan Prenduan itu sudah sangat mengenal Jun luar dalam tapi dari sekian lalu-lalang puluhan orang, tidak satu pun yang tahu pada lelaki yang hanya duduk sepanjang siang dan malam. Semua menyangka Jun dilahirkan tanpa sebuah nama, mereka semua mengenal Jun dengan sebutan sama “orang gila” tidak ada yang tertarik untuk menanyakan Jun yang sebenarnya. Tidak ada orang yang mau bicara ataupun diajak bicara olehnya. Orang-orang yang sudah akrab dengan kepulangan dan kepergian itu hanya menyodorkan makanan, terkadang uang, terkadang rokok, kopi, juga minuman kaleng. Sementara Jun tidak menerima atau menolak, dia hanya diam.
Kalau musim hujan di perempatan itu Jun sering berdoa dalam dada walau sebenarnya Jun tidak tahu berdoa kepada siapa. Jun tidak butuh kebesaran Tuhan, juga tidak butuh pada kehadiranNya. Dia hanya berdoa tanpa tujuan, tanpa tuntutan keinginan. Bagaimana pun Jun, mau ganteng, mau laki-laki atau bukan, tetap saja daging Jun yang menyimpan nyawa, raga, tidak lain dan tidak lebih berharga dari seonggok daging ayam yang dipotong-potong dijejer di kedai Pasar Senin yang sudah siap untuk dijual.
Jika tengah malam, jika Ibu Sakinah penjual kopi di sebelah sisi barat tempat Jun biasa duduk sudah tidur, sudah dijamin tidak bakal ada lagi pengunjung yang datang. Jika kesepian mengajak bertengkar, Jun sering bernyanyi pada semut, satu-satunya hewan yang tertarik mendekat. Sebelum mereka berteman dekat Jun sering mengusir semut yang berjalan di tubuhnya atau menindihnya dengan jari jempolnya hingga mampus. Anehnya semut-semut yang lain bukan takut pada tindakan Jun. Semakin hari semakin banyak gerombolan semut datang, menjalari tubuhnya, sampai-sampai Jun kewalahan mengusir atau mengibas semut itu dari tubuhnya. Dia menyerah dan menjadikan semut sebagai teman akrab, saling berkenalan satu sama lain tanpa menyebut identitas. Sampai-sampai Jun rela rambutnya dijadikan sebagai sarang bagi teman dekatnya.
Jun tidak pernah mengatakan dirinya gila. Juga tidak pernah punya keinginan menjadi gila tapi siapapun pasti menganggap gila pada Jun. Ibu dan Bapaknya ketika sudah lama Jun tidak pulang-pulang ke rumah mereka menghampiri Jun di tempat biasa. Mereka sengaja tidak memanggil “Nak Jun” lagi ketika mengajak pulang di hadapan banyak orang. Mereka langsung menyeret tubuh Jun yang seolah tidak menyimpan tenaga. Tapi sebelum sampai ke rumahnya Jun pasti akan kembali. Jun memang keras kepala dia tidak akan mengenal kepulangan atau keberangkatan. Dia memilih hidup di tengah-tengah keduanya yang tidak ada satu orangpun yang tahu, baik Ibu atau Bapaknya apalagi perempuan yang berdiam dalam dirinya: Aisya perempuan Jakarta yang mengalir darah Madura di tubuhnya.
Jun yang keras kepala itu sekarang menertawai saya. Mungkin dia tahu kalau saya sedang menulis kehidupannya. Menulis sesuai kemauan saya tentunya. Jun semakin menertawai saya sampai membuat saya lupa kalau sedang berniat menghentikan cerita yang sedang anda baca.
Jogjakarta, 2018
Sengat Ibrahim
Penulis puisi dan cerita pendek, tinggal di Yogyakarta. Buku puisinya yang telah terbit: Bertuhan pada Bahasa, (Penerbit Basabasi 2018). Buku puisi terbarunya: Asmaragama, (Penerbit LiterISI, 2018). Sekarang sedang menyiapkan buku berikutnya bertajuk: Agamaku Adalah Rindu (yang diam-diam menciptamu dalam diriku). Karya-karyanya pernah dimuat di koran; Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Suara NTB, Minggu Pagi, Merapi, Solo Pos, Radar Surabaya, Banjarmasin Post, Harian Rakyat Sultra, Lombok Post, Medan Ekspres, Harian Sumbar, Majalah Simalaba, dan Malangvoice, Litera.Co, LiniFiksi.Com, PoCer.co, Basabasi.Co.