Setelah berkuasa selama 32 tahun, Soeharto akhirnya turun dari jabatannya sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Dalam mengakhiri rezim Orde Baru, mahasiswa menjadi salah satu elemen yang berperan penting. Mereka merasa kehadirannya selalu diharapkan untuk berperan dalam perubahan politik. Selain itu, mereka juga didorong oleh berbagai elemen civitas academica. Mereka pun dibantu oleh masyarakat sekitar ketika berdemonstrasi. Saat itu, masyarakat memberikan nasi bungkus, pasta gigi, dan perlengkapan lainnya. Hal ini menandakan bahwa seluruh golongan masyarakat merasakan adanya keharusan untuk reformasi.
Itulah yang dikatakan oleh Peter Kasenda, sejarawan yang telah menulis dua buku terkait Orde Baru. Kini, ia kembali merenungkan reformasi yang sudah berjalan selama dua puluh tahun. Oleh karenanya, Peter didapuk sebagai pembicara dalam Diskusi “Mengenang 1998”, salah satu rangkaian acara 20 Tahun Reformasi yang diadakan oleh Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa UGM. Ditemui pada Minggu (20-05) siang di Lobby University Club UGM, sehari setelah ia mengisi diskusi, BALAIRUNG berkesempatan untuk berbincang dengan Dosen Sejarah Universitas 17 Agustus 1945 ini. Ia membagi perspektifnya terkait gerakan mahasiswa pada tahun 1998. Selain itu, ia juga memberikan pandangannya tentang enam tuntutan reformasi belum sepenuhnya terealisasikan.
Anda menulis dua buku terkait Orde Baru ketika biasanya lebih banyak menulis perihal Soekarno. Apa yang membuat Anda tertarik untuk ikut menulis tentang Orde Baru?
Saya menulis Hari-Hari Terakhir Orde Baru (2015) berdasarkan obrolan saya dengan dua orang teman. Satu saat saya hadir dalam suatu pertemuan lalu kami kongko di tempat lain sambil ngopi, walaupun saya enggak suka kopi. Tiba-tiba teman saya nyeletuk tentang bagaimana peristiwa 1998 terjadi. Lalu dia bilang ke saya, “Peristiwa ini harus ditulis. Kamu punya keberanian enggak untuk menulis peristiwa seperti ini?” Lalu saya bilang, “Kenapa enggak?” Sebelumnya, saya juga menulis buku terkait Orde Baru yang berjudul Bagaimana Soeharto Mempertahankan Kekuasaannya Selama 32 Tahun (2013).
Boleh dikatakan buku tentang peristiwa reformasi itu banyak. Misalnya ada yang mengaitkannya dengan kelahiran Komnas HAM. Ada juga novel-novel, misalnya karya Marga T. Novel karya Leila Chudori, Pulang (2012), juga berbicara tentang kaitan peristiwa ‘65 dengan ‘98. Laut Bercerita (2017) juga bicara tentang peristiwa ‘98. Menurut saya itu menarik. Namun, saya memang secara spesifik membahasnya dari segi kekerasan. Mungkin saya terpengaruh situasi-situasi terakhir, karena di Maluku, Poso, Kalimantan, kekerasan horizontal terjadi. Kalau dulu kekerasan dilakukan oleh negara, sekarang kekerasan dilakukan oleh masyarakat.
Apa yang Anda lakukan di tahun 1998?
Sebelum 1998, saya aktif di pertemuan Reboan. Itu adalah semacam acara berkumpul setiap hari Rabu membahas situasi yang ada pada saat itu, secara informal. Lalu, awalnya saya mengikuti krisis ekonomi yang terjadi dari koran. Dari kejadian-kejadian itu, karena saya termasuk kategori angkatan 1977-1978, saya merasa harus ikut serta dalam gerakan mahasiswa waktu itu. Saya mendorong agar aksi-aksi mereka bisa berjalan dengan baik.
Sebenarnya, saya lebih intens ketika Mei 1998. Waktu itu Soeharto dilengserkan dari kursi kepresidenan, lalu menyatakan mengundurkan diri. Nah, saya merasa bahwa melengserkan Pak Harto itu hanya salah satu tugas. Selain itu, bagi saya, tugas lainnya adalah melengserkan Habibie yang juga merupakan bagian dari Orde Baru.
Bagaimana Anda memandang peristiwa 1998?
Buat saya peristiwa itu mengakhiri otoritarianisme Soeharto. Jadi, kekuasaan Soeharto selama 32 tahun ditopang oleh dukungan militer. Nah, militer yang ikut berkuasa merasa mahasiswa ini “lawan” yang berbahaya karena suatu saat bisa menyulitkan posisi Soeharto.
Nah, dulu Pak Harto punya tiga instrumen yang menopang kekuasaannya: ABRI, birokrat, dan Golkar. Sampai akhir rezimnya, birokrat masih kuat menopang kekuasaan Soeharto. Golkar pun begitu karena sampai lengser, dia masih menjabat sebagai Ketua Dewan Golkar.
Namun, mulai ada kesenjangan dalam hubungan Pak Harto dengan militer karena ia dianggap mengganggu kepentingan militer. Bisnis anak-anaknya yang semakin menggurita mengganggu bisnis militer. Pasalnya, militer juga punya bisnis berupa yayasan-yayasan untuk menopang kelangsungan hidup sehari-hari karena negara tidak mampu menopang kehidupan mereka. Jika bisnis militer tidak berjalan, saat elit-elit militer pensiun, mereka akan kesulitan dan rata-rata akan duduk di komisaris. Maka dari itu, di kemudian hari ada ketentuan sebaiknya militer tidak melakukan bisnis. Meskipun itu hanya salah satu dari enam tuntutan reformasi.
Apa saja enam tuntutan reformasi itu?
Pertama, supremasi hukum. Kedua, pemberantasan KKN. Ketiga, mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. Keempat, amandemen konstitusi yang membatasi waktu jabatan presiden. Kelima adalah pencabutan dwifungsi ABRI dan yang terakhir adalah pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Menurut Anda, apa hambatan-hambatan yang ada dalam usaha untuk menumbangkan Orde Baru?
Hambatan internalnya, mahasiswa sebenarnya cukup dikagetkan dengan situasi-situasi terakhir sebelum peristiwa ‘98. Kalau dilihat dari tahun ‘80-an, para mahasiswa masih tertidur. Mereka mulai sedikit muncul di tahun ‘90-an. Namun, ketika mereka muncul, ada peristiwa 27 Juli 1996 dan mereka tiarap lagi karena pemerintah habis-habisan menghajar semuanya. Lalu dituduhlah mereka sebagai orang-orang “komunis”. Mereka di-PKI-kan karena kebetulan yang banyak terlibat adalah di peristiwa 27 Juli itu.
Akan tetapi, tiarap terjadi tidak begitu lama karena mereka juga terkena dampak krisis ekonomi. Kepentingan mereka juga terganggu, apalagi bacaan-bacaan mereka membuat mereka lebih tersentuh dengan situasi seperti ini. Jadi buat saya, hambatan yang paling besar adalah mereka mendadak harus mengambil peran yang sedemikian besar.
Selain itu, gerakan mahasiswa terpecah karena mereka belum sempat mengonsolidasikan kekuatan. Mereka hanya punya waktu satu tahun untuk berkumpul. Akibatnya, mereka tidak siap dengan apa yang harus mereka lakukan. Itulah sebabnya mereka tidak pernah membentuk satu aksi yang solid seperti yang dilakukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
KAMI itu kan jelas. Peristiwanya September ‘65, pada 25 Oktober-nya mereka sudah mulai membentuk diri walaupun disponsori militer. Waktu itu, mahasiswa juga terbelah tapi mahasiswa yang anti-komunis akhirnya masuk di dalam KAMI. Mahasiswa yang mendukung kepemimpinan presiden ada di luar KAMI. Walaupun awalnya KAMI masih menginginkan Soekarno menjabat presiden tapi mereka lama-lama menginginkannya lengser.
Sementara itu, hambatan eksternalnya adalah Soeharto punya cara tersendiri dalam mempertahankan kekuasaannya. Pertama dia memberangus orasi-orasi ilmiah. Kedua adalah penculikan-penculikan. Sampai sekarang kita tidak pernah tahu Wiji Thukul masih hidup atau sudah meninggal. Kita juga enggak tahu berapa jumlah orang yang diculik. Akibatnya, Prabowo dianggap bertanggungjawab lewat Tim Mawar-nya. Dia dipecat dari jabatannya sebagai jenderal. Walaupun menurut saya yang melakukan penculikan itu bukan hanya Prabowo saja karena ada kelompok-kelompok lain yang juga bermain dalam penculikan.
Selain itu, mahasiswa merasa kecut juga karena bergerak berarti mempertaruhkan nyawanya. Misalnya Moses Gatutkaca, sebenarnya dia bukan aktivis. Dia terbunuh karena kebetulan datang di tempat dan waktu yang salah, lalu dia tertembak. Kalau di Trisakti kan jelas, mereka ditembak di jalan ketika sedang berunding ke Gedung DPR saat demonstrasi. Nah, yang jadi masalah adalah siapa yang menembak sampai sekarang kita enggak pernah tahu.
Anda sempat mengatakan bahwa setelah 1998, mahasiswa yang menuntut ini bingung harus melakukan apa. Mengapa? Apakah gerakannya kurang siap, kurang visioner, atau bagaimana?
Ya, menurut saya begitu. Mereka enggak menyiapkan rancangan Indonesia ke depan karena yang penting Soeharto turun. Itu saja. Begitu Soeharto turun, gerakan terpecah seperti yang saya jelaskan tadi. Jadi mereka enggak kepikiran kalau Soeharto turun, setelah itu mesti ngapain? Paling mereka hanya memperbaiki konstitusi agar masa jabatan dibatasi oleh dua periode berturut-turut. Namun, mereka enggak memikirkan visi-visi yang lain.
Lalu mereka enggak mau mencontoh angkatan ‘66. Ketika Angkatan ‘66 berhasil menggulingkan kekuasaan Soekarno, kurang lebih dua belas orang perwakilannya duduk di DPR. Sedangkan Angkatan ‘98 justru tidak duduk di kursi parlemen karena mereka memiliki kekuatan moral, tanpa pamrih. Lalu kursi parlemen diserahkan ke orang lain, elite-elite partai. Ternyata ketika mulai berjalan, mereka mulai menyesal, partai enggak kompak juga. Makanya sekarang teman-teman ‘98 mulai kembali terlibat sebagai anggota parlemen, dalam MPR dan DPR.
Kemudian apa yang membedakan gerakan ‘66 dengan ‘98? Kalau ‘66 itu punya tokoh yang dikenal karena KAMI memiliki ketua. Sedangkan, tahun ‘98 itu enggak ada tokoh. Konon kabarnya, mereka berpikir kalau ada tokoh dan dia ditangkap, tentu bawahannya jatuh. Nah, makanya mereka merasa ada baiknya enggak punya tokoh, jadi mereka bergilir saja. Mereka rata-rata ketua atau staf mahasiswa universitas A, B, C, gitu saja. Jadi enggak pernah ada tokoh yang mewakili suara mahasiswa secara menyeluruh. Makanya tahun ‘98 itu kita enggak tahu, tokoh gerakan mahasiswa yang sebenarnya itu siapa.
Karena gerakan ‘66 punya tokoh, apakah itu berarti gerakan tersebut lebih baik daripada gerakan ‘98?
Tidak juga. Kalau saya melihat itu salah satu strategi saja, berkaitan dengan situasi. Karena menurut saya, periode sebelum munculnya gerakan ‘66 itu memang otoritarian, tapi tidak seperti ‘98. Era ‘98 otoritarianismenya didominasi kalangan militer yang selalu berseberangan dengan mahasiswa. Sedangkan tahun ‘66 itu militer arus utama, terutama yang dipimpin Soeharto, mem-backup gerakan mahasiswa.
Nah sebenarnya gerakan mahasiswa tahun ‘98 itu menentang militer, beda dengan gerakan mahasiswa ‘66 yang menentang komunisme, PKI. Makanya Tritura itu isinya turunkan harga, rombak kabinet, dan bubarkan PKI. Namun, enam tuntutan mahasiswa tahun ‘98 itu salah satu isinya hapuskan dwifungsi ABRI. Jadi, lawannya beda. Pasalnya, mahasiswa yang berunjuk rasa seringkali bentrok dengan militer. Mahasiswa juga sering bentrok dengan Resimen Mahasiswa yang direpresentasikan sebagai keamanan kampus.
Gerakan mahasiswa terlihat sangat masif pada tahun 1998. Sesungguhnya adakah gerakan lain yang juga turut mencoba menumbangkan Orde Baru?
Iya, ada sebenarnya. Misalnya kelompok Suara Ibu Peduli. Itu kan munculnya dari susu, sebuah persoalan sensitif bagi ibu-ibu karena menyangkut gizi. Susu waktu itu susah dicari dan mahal. Kemudian mereka turun berdemo, salah satu tokohnya adalah Karlina Supelli.
Kemudian, bagi saya, aksi ‘98 itu jadi menarik karena kerjasamanya lintas wilayah dan lintas profesi. Jadi mahasiswa Jakarta bergabung dengan mahasiswa daerah lain, bikin suatu kelompok. Gerakan mahasiswa tahun ‘98 itu meliputi seluruh wilayah, tidak seperti tahun ‘66 yang hanya di beberapa daerah saja seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar. Tahun ‘98 itu pertama kalinya gerakan mahasiswa meluas ke seluruh Indonesia.
Dulu mahasiswa bergerak di tiga bidang. Pertama, di bidang demonstrasi. Kedua, di bidang diskusi. Ketiga, di bidang advokasi. Nah, biasanya yang bergerak di advokasi ini melibatkan petani dan buruh. Ini yang saya sebut sebagai lintas profesi.
Kelas menengah ekonomi juga memberikan dukungan. Mereka menyebutnya kalangan profesional. Namun, dukungan mereka tidak seperti yang terjadi di luar negeri. Kalau di Filipina dan Thailand, kepedulian kelas menengah terhadap perubahan itu lebih hebat dibanding di Indonesia.
Lantas, sesungguhnya apa saja faktor-faktor yang mampu menumbangkan Orde Baru? Apakah hanya karena mahasiswa saja?
Faktor-faktor yang menumbangkan Pak Harto, pertama, menurut saya, yaitu peran mahasiswa. Kedua, krisis ekonomi. Ketiga, konflik di kalangan elit militer. Keempat, Pak Harto benar-benar sudah tua, kalau enggak salah usianya 72 tahun. Kelima, Pak Harto hidup dalam kesunyian. Jabatannya terlalu tinggi sehingga dia tidak lagi berkomunikasi dengan bawahannya, enggak akrab lagi. Generasi-generasinya dia kan sudah enggak menjabat lagi. Itulah yang membuat Pak Harto makin lama makin merasa sunyi karena dia sudah terlalu “di atas”.
Namun, bagi saya krisis ekonomilah yang paling berpengaruh karena waktu itu ekonomi Indonesia tahun 1997 itu turun menjadi 4%, lalu penganggurannya 30%. Jadi banyak orang yang nganggur, baik terselubung maupun tidak. Itu adalah krisis ekonomi yang paling parah walaupun tidak separah krisis ekonomi yang terjadi di zaman ‘66. Waktu ‘66, inflasi mencapai 600%.
Bagaimana dengan campur tangan asing dalam menumbangkan Orde Baru?
Oh iya, ada periode campur tangan yang sifatnya baik, ada yang jelek. Misalnya waktu Indonesia merdeka, Amerika Serikat (AS) turut campur tangan dengan baik lewat Konferensi Meja Bundar. AS juga membantu Indonesia dalam Perebutan Irian Barat. Namun, pada era Soekarno, AS justru ikut campur tangan dalam melengserkannya karena dianggap komunis dan mendukung partai komunis. Begitu juga yang terjadi dengan Pak Harto. Kenapa sih Pak Harto menjadi good boy-nya AS? Karena Pak Harto itu sangat menentang komunisme. Nah, AS itu punya kepentingan untuk menentang komunisme karena berkaca dengan perang dingin Uni Soviet dan AS. Akan tetapi, dengan jatuhnya tembok Berlin pada 19 November 1989, komunisme dianggap telah berakhir.
Nah, dengan berakhirnya Perang Dingin, musuh AS bukan komunisme lagi. Jadi Soeharto tidak lagi dianggap mewakili representasi orang yang melawan komunisme karena isunya sudah selesai. Nah, setelah itu isunya jadi demokrasi dan HAM. Kebetulan yang memenangkan pemilihan umum di AS saat itu Partai Demokrat yang sangat sensitif dengan isu HAM, demokrasi, dan gender.
Lantas, apakah tuntutan reformasi sudah tercapai? Selain itu, bagaimana Anda memaknai 20 tahun reformasi ini?
Tuntutan itu tidak tercapai. Pertama, supremasi hukum. Apa benar? Hukum masih berpihak pada orang-orang yang punya uang. Orang bilang hukum itu enggak bisa netral, ya. Namun, yang jadi masalah itu hukum lebih berpihak pada orang yang berkuasa, pada orang yang “punya”.
Kedua, berkaitan dengan pemberantasan KKN. Sekarang KKN justru makin banyak. Kalau Megawati mengatakan, KKN di Pusat sekarang berpindah ke daerah. Makanya sekarang banyak orang yang mau mencalonkan diri di Pilkada, terlibat KKN. Jadi KKN sekarang itu pemainnya saja yang berubah.
Lalu kalau adili Soeharto dan kroninya, itu sudah dilakukan. Namun, menurut saya itu hanya separuh jalan. Bob Hasan, Menteri Perdagangan waktu itu, diadili dan dipenjara di Nusa Kambangan. Kemudian Tommy Soeharto, itu lebih bersifat ke pembunuhan, ya. Ia membunuh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang memvonis dirinya bersalah, setelah ia kabur dari tahanan. Namun, kita tidak pernah melihat Pak Harto duduk di bangku terdakwa.
Kemudian amandemen konstitusi. Amandemen ini sudah berhasil tapi sekarang orang-orang malah berdebat lagi. Ada orang yang menginginkan kita kembali ke konstitusi yang awal, yang asli. Namun, ada yang mengatakan agar diperbaiki lagi saja. Dulu kan orang berpikir, yang perlu diubah adalah yang berkaitan dengan jabatan presiden saja.
Pencabutan dwifungsi ABRI, menurut saya sudah. Hal yang jadi masalah buat saya sekarang adalah ABRI masih melakukan bisnis. Namun, saya lihat negara belum punya kemampuan untuk memberikan kesejahteraan pada militer. Lalu, kita juga melihat ada usaha-usaha tertentu di kalangan militer untuk kembali membangkitkan dwifungsi, misalnya dengan organisasi teritorial. Dulu organisasi teritorial itu sebenarnya program Amerika, namanya Secret Mission, sebuah strategi melawan komunisme lewat masyarakat. Namun, lama-lama Orde Baru tidak hanya menggunakannya untuk melawan komunisme, tapi untuk mengawasi masyarakatnya sendiri. Ini yang saya takutkan kalau itu terjadi lagi.
Pemberian otonomi daerah, sekarang Indonesia punya 34 provinsi dan lebih dari 440 kabupaten. Padahal, pemberian otonomi daerah itu semata-mata hanya memperluas kekuasaan saja. Makanya sekarang orang bilang kalau dulu rajanya di Pusat, sekarang di daerah-daerah. Bupati-bupati itu seringkali menganggap keputusan di Pusat itu tidak berlaku di mereka karena mereka merasa dipilih rakyat. Akan tetapi, otonomi itu memang memberi kebebasan.
Jadi saya lihat ada hal-hal tertentu yang dilaksanakan dengan baik, ada yang tidak. Hal yang jadi keprihatinan saya sampai sekarang adalah, kalau dulu represi dilakukan negara, sekarang malah dilakukan oleh masyarakat. Saya sebagai orang yang senang ngobrol-ngobrol, agak resah dengan adanya penggrebekan dan lain sebagainya itu. Jadi yang penting seperti yang dikatakan Ika Dewi Ana (salah satu pembicara Diskusi 20 Tahun Reformasi) kemarin, ada inklusivisme, penghargaan terhadap pandangan orang. Soalnya kita belum bisa menghargai pendapat orang yang berbeda.
Lantas, bagaimana kita menghargai era reformasi?
Ya kalau kita mau menghargai, kita harus mendengarkan suara masyarakat. Kita harus peka terhadap masyarakat dan kritis terhadap kekuasaan. Kalau kita pikir kekuasaan yang ada itu melenceng, harus dikritisi, entah siapapun yang berkuasa. Karena sekarang orang yang berkuasa seringkali melakukan kesalahan. Lord Acton kan bilang “power tends to corrupt”.
Selain itu, saya rasa kita juga tidak bisa menyamakan gerakan mahasiswa dulu dengan sekarang. Jadi saya enggak mau berpikir seolah-olah respons penyelesaian masalah yang kita lakukan itu sama. Setiap generasi itu punya tantangan yang berbeda dan jawaban yang berbeda. Ya kita cuma bisa mempelajari hal tersebut saja. Jadi, menurut saya lebih baik generasi yang sebelumnya jangan bertendensi seolah-olah yang dulu itu menjadi obat mujarab buat sekarang. Kalau generasi saya, generasi zaman Revolusi, musuhnya jelas, Belanda. Namun, kalau sekarang kan musuhnya orang kita sendiri.
Penulis: Oktaria Asmarani
Penyunting: Luthfian Haekal