“Kita harus bekerja
Membahagiakan diri sendiri
Karena pada siapa lagi kita bergantung?
Kita bukan kaum latah
Dalam segala kesulitan
Kita harus bangkit
Kita harus bekerja
Karena bekerja adalah melawan”
Bait-bait dari puisi berjudul “Puisi untuk Ibu dan Adik” menjadi puisi pertama yang dibacakan di Jogja Village Inn, Jumat (08-06). Puisi itu langsung dibacakan oleh sang penulis, Fitri Nganthi Wani, pada acara peluncuran antologi berjudul “Kau Berhasil jadi Peluru”. Beberapa sastrawan dan penyair pun diundang, seperti Annisa Hertami, Fajar Merah, Gunawan Maryanto, Nindi Raras, Sekar Sari, dan Sisir Tanah. Penulis yang akrab dipanggil Wani ini kembali melahirkan antologi keduanya setelah buku pertama dengan judul “Selepas Bapakku Hilang” terbit 2009 lalu.
Antologi kedua ini merupakan kelanjutan kolaborasi dari Wani dengan Yulia Evica Bhara atau biasa dipanggil Eb. Kolaborasi tahun 2016 lalu terjadi saat Eb mempersiapkan film berjudul “Istirahatlah Kata-Kata”. “Tiga tahun lalu, Wani adalah narasumber kami, kini ia menjadi teman kolaborasi kami,” tutur sang produser film. Hasil dari kelanjutan kolaborasi itu berupa penerbitan buku kumpulan puisi Wani yang dibuat dari tahun tahun 2010 sampai tahun 2018.
Namun, pembukuan puisi ini bukanlah prioritas sang penulis. Kesibukan sehari-hari membuat wanita kelahiran Sola ini sempat melupakan mimpi untuk kembali menerbitkan sebuah buku.“Setelah penerbitan buku pertama pada tahun 2009, saya menjadi tidak fokus mungkin karena saya terlalu sibuk dengan realita,” ungkapnya.
Memiliki latar belakang sebagai anak dari Wiji Thukul, ia pun tahu dirinya akan tetap dikenal sebagai anaknya. Saling membagi profesi sastrawan, nama Wiji Thukul, seorang aktivis pro-demokrasi, akan terus membayanginya hingga penerbitan antologi kedua ini. Tanggapan positif diberikannya saat karyanya disebut-sebut sebagai jawaban dari kumpulan puisi sang ayah berjudul “Aku Ingin jadi Peluru”. “Memang ini jawaban darinya, kita semua tahu tentang itu jadi tidak perlu diungkit lagi,” jawab sang anak.
Ia mengungkapkan bahwa menulis menjadi terapi paling ampuh untuk pulih dari rasa rindu atas kehadiran sang ayah. Walaupun rindu itu tetap ada, kegiatan menulis tetap dijalaninya dan membawanya ke acara peluncuran buku ini. Bahkan, ia berani mengajak teman-teman penulis untuk tidak takut dalam menulis. “Dengan menulis, kita bisa tetap bangkit. Dengan menulis, kita bisa tetap pulih. Dengan menulis, kita bisa terus melawan,” deklarasi wanita berumur 29 tahun ini dengan tegas.
Menjawab kata-kata Wani, sejumlah sastrawan bergiliran membacakan beberapa puisi dalam antologinya. Salah satunya Annisa Hertami yang mengungkapkan bahwa kata-kata ayahanda Wani akan selalu abadi. “Kata-kata tidak pernah mati, begitu pula kata-kata dari ayahanda Wani yang akan selalu abadi menginsipirasi banyak orang,” tuturnya dilanjutkan dengan pembacaan puisi berjudul “Aku ingin Pencitraan, tapi Puisiku Tidak”.
Fajar Merah, adik laki-laki Wani, tidak ketinggalan dalam pembacaan puisi. Ia membacakan puisi yang menjadi judul besar antologi dari sang kakak diiringi petikan gitar. Sebelumnya, ia mengucapkan selamat dan rasa senang atas kembalinya sang kakak ke dunia tulis-menulis. “Selamat atas lahirnya anakmu, mbak, anak-anak rohanimu,” tutur sang adik.
Penulis : Amirah Syukraini
Penyunting : Pungky Erfika Suci