Sejumlah buku salinan ditemukan di beberapa perpustakaan fakultas di UGM. Buku-buku salinan tersebut ditemui di perpustakaan milik fakultas Filsafat, Psikologi, Ilmu Budaya, dan Teknik Pertanian. Penggandaan buku secara reprografi ini dianggap menjadi solusi di tengah tuntutan peran perpustakaan sebagai gudang ilmu. Para pustakawan menjelaskan bahwa keberadaan buku-buku salinan itu terkait dengan sanksi yang diberikan kepada peminjam buku. “Beberapa buku salinan ini berasal dari denda mahasiswa atau peminjam yang menghilangkan buku,” jelas Mardi selaku pengurus Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya.
Selain terkait sanksi, penyebab keberadaan buku salinan juga karena masalah dana. Sri Widayati, selaku pengurus perpustakaan Fakultas Teknologi Pertanian, mengatakan bahwa dana yang diterima perpustakaan tiap tahun relatif terbatas. Widayati menjelaskan bahwa buku yang difotokopi mayoritas merupakan buku yang berasal dari luar negeri dan memiliki harga yang relatif mahal. Arif Surachman, sebagai Kepala Bidang Basis Data dan Jaringan Perpustakaan Pusat UGM, ikut mendukung pernyataan Widayati. Bagi Arif selain mahal, untuk membeli buku yang asli juga memerlukan waktu pengiriman yang lama. “Padahal buku itu dibutuhkan dalam jangka waktu dekat, inilah yang menyebabkan mereka (perpustakaan fakultas) terpaksa memfotokopinya,” tuturnya.
Selain Arif, penggandaan buku yang dilakukan perpustakaan fakultas juga ditanggapi oleh Nawang Purwanti, selaku Kepala Tim Manajemen Perpustakaan Pusat UGM. Nawang mengaku dirinya sering mendengar berita dari perpustakaan fakultas mengenai penggandaan buku itu. Menurutnya, penggandaan buku terjadi karena perpustakaan fakultas harus menyediakan buku teks yang seringkali digunakan sebagai referensi utama mata kuliah tertentu. “Mahasiswa yang membutuhkan buku teks itu banyak, hal inilah yang juga membuat perpustakaan fakultas hingga harus memfotokopinya,” jelas Nawang.
Bila ditinjau dari segi hukum, penggandaan yang dilakukan perpustakaan telah diatur dalam pasal 47 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dosen Fakultas Hukum, Laurensia Andrini, mengatakan bahwa perpustakaan sebagai institusi pendidikan diperbolehkan melakukan penggandaan tanpa meminta izin dari pencipta. Hal tersebut didasari oleh tujuan dari perpustakaan yakni untuk menunjang pendidikan dan penelitian. “Sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penulis, maka perpustakaan tidak melanggar hak cipta,” jelasnya.
Sependapat dengan Laurensia, Prof. Tomi Suryo Utomo, selaku dosen International Undergraduate Programme (IUP) Fakultas Hukum, mengungkapkan hal yang sama. “Sesuai dengan pasal 47, perpustakaan dan lembaga arsip dapat membuat salinan tanpa harus izin selama memenuhi beberapa syarat,” paparnya. Seraya memperlihatkan undang-undang, Prof. Tomi menjelaskan beberapa persyaratan yang mengatur hal tersebut. Persyaratan itu di antaranya adalah ditujukan untuk kepentingan pendidikan, dilakukan tidak dalam kejadian yang berulang, dan tidak adanya lisensi yang mengikat perpustakaan. Di akhir penjelasannya, beliau menyebutkan bahwa perpustakaan fakultas, sebagai institusi pendidikan, memenuhi ketentuan undang-undang sehingga dianggap tidak melanggar.
Meski bukan termasuk perbuatan yang melanggar aturan, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Yogyakarta memilih tetap mengadakan buku yang asli daripada menyalinnya. Budi Wibowo, selaku Kepala BPAD, berpendapat bahwa kerja sama perpustakaan dengan badan penerbitan dapat terganggu bila terjadi penggandaan buku. “Selama masih bisa diusahakan, maka lebih baik menyediakan buku yang asli ke pembaca,” tegas Budi.
Budi juga menambahkan bahwa perpustakaan perlu mempertimbangkan keberadaan buku di pasaran sebelum memutuskan untuk menggandakannya. Pernyataan Budi ini diamini oleh Syamsul Maarif, selaku Koordinator Bagian Penerbitan UGM Press. “Bila yang dicari memang isinya, perpustakaan bisa mencari buku yang setema” ungkap Syamsul. Bagi badan penerbitan seperti UGM Press, penggandaan buku yang dilakukan perpustakaan cukup merugikan dari segi ekonomi. Syamsul mengaku banyak penulisnya yang mengeluh soal bukunya yang difotokopi tidak hanya oleh perpustakaan namun juga oleh individu.
Menanggapi hal tersebut, menurut Arif, solusi mengadakan buku yang setema kurang bisa diterapkan di perpustakaan fakultas. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan buku mahasiswa yang terkadang sudah spesifik. Judul dan penulis buku yang dirujuk mahasiswa biasanya sudah ditentukan oleh dosen. “Saya rasa di perpustakaan fakultas juga ada buku setema, tetapi terkadang mahasiswa langsung merujuk pada judul dan penulis yang spesifik,” ujar Nawang ikut menanggapi.
Sebagai alternatif lain, Nanang Fitrianto, selaku karyawan bagian pemrograman BPAD, ikut mengusulkan untuk mendigitalisasi buku-buku yang dirasa diminati banyak pembaca. Nanang berpendapat bahwa dengan mendigitalkan buku, perpustakaan bisa tetap menyediakan bahan bacaan tanpa perlu menggandakannya. Untuk keamanan buku digital, BPAD menyekuritaskan buku yang didigitalkan. “Dengan menyiapkan jaminan keamanan sedemikian rupa, maka perpustakaan bisa ikut menghargai hak cipta itu sendiri,” tambahnya.
Namun digitalisasi buku ini tidak sepenuhnya bisa menjawab kebutuhan pemustaka karena beberapa alasan. Arif mengaku dirinya sering mengalami kesulitan dalam pembelian buku digital. Ia menjelaskan bahwa penyedia layanan seringkali menerapkan sistem paket untuk pembelian. Konsekuensi dari sistem paket ini adalah perpustakaan harus membeli buku sejumlah minimal yang ditentukan, termasuk yang belum menjadi prioritas. Oleh sebab itu, bagi Arif digitalisasi buku yang awalnya digadang-gadang dapat menjadi jalan keluar untuk meminimalisasi penggandaan buku, namun rupanya kurang berjalan maksimal. “Sebab masih ada beberapa buku teks yang belum menyediakan versi digital, sehingga sama saja perpustakaan harus memfotokopinya,” tambahnya.
Menurut Arif, sudah seharusnya isu penggandaan buku di berbagai perpustakaan fakultas mulai mendapat perhatian lebih utamanya dari pihak dekanat. Menurut Atun, selaku coordinator perpustakaan Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB), adanya buku-buku yang difotokopi ditakutkan dapat memengaruhi akreditas sebuah fakultas di mata internasional. FEB dapat dijadikan salah satu contoh mengenai keseriusan mereka menanggapi hal ini. Atun, menyebutkan bahwa hanya tersisa sekitar 50 buku fotokopi yang terdapat di rak-rak perpustakaan FEB. “Di FEB, ada kebijakan untuk tidak diperbolehkan lagi untuk mengoleksi buku-buku fotokopi karena alasan akreditasi” ungkap Atun. Hal ini dapat dijadikan bukti nyata bahwa dengan komitmen dan keseriusan, perpustakaan fakultas bisa tetap ‘hidup’ tanpa buku fotokopi. [Citra Maudy Mahanani, Dina Nur Aina, Sandy Maulana Yusuf, Yesi Luthfi Ronta]