Tinggar Jaya, salah satu desa yang terletak di kabupaten Banyumas terpatri kuat dalam ingatan Ahmad Tohari, seorang sastrawan Indonesia angkatan ’66. Selama 15 tahun ia berusaha menuangkan ingatan masa remajanya. Ingatan kelam seputar ‘pembersihan’ anggota maupun yang diduga terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) selepas peristiwa G30S terjadi, di desa tempat kelahiran pria berusia 68 tahun itu. Kejadian di desanya kemudian menginspirasi novel trilogi yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk.
Setelah ketiga jilid karya Toha -sapaan akrab Ahmad Tohari- tersebut terbit pada 1985, tak lama kemudian ia dijebloskan ke dalam bui. Pemerintah menganggap karyanya berisi isu sensitif bagi rezim yang berkuasa kala itu. Namun, karya tersebut justru menarik perhatian masyarakat dunia.
Ditemui di kediamannya, desa Tinggar Jaya, Jatilawang, Banyumas, Sabtu (3/9), BALAIRUNG berkesempatan untuk berbincang dengan ayah lima putri ini. Ia bercerita tentang peristiwa ’65, juga perkembangan sastra saat ini yang berlatar ‘65 dari sudut pandang sebagai sastrawan. Selain itu, turut mengalir pula cerita tentang ingatan kolektifnya sebagai bagian dari masyarakat. Dengan usia yang tidak lagi muda, ia fasih menceritakan kenangan dan mengemukakan pendapat, meskipun kadang terdapat jeda untuk mengatur napas.
Darimana datangnya ide untuk menuliskan kisah ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk?
Ide tersebut merupakan pengalaman pribadi ketika saya masih remaja. Berawal dari kumpul dengan anak kecil, bujang tanggung di sawah kering yang dijadikan sebagai ladang gembala. Kebetulan masyarakat di sini sekitar 70% adalah orang abangan dengan seni ronggeng dan wayang kulit yang berkembang pesat. Termasuk model ronggeng, meskipun namanya bukan Srintil, namun itu adalah ilustrasi peristiwa pada masa tersebut. Kisah ronggeng persis seperti apa yang saya tuliskan, ditahan dan dijadikan bulan-bulanan penguasa tahanan.
Berapa lama proses untuk menuangkan ide tersebut?
Butuh sekitar 15 tahun untuk menuangan akumulasi ingatan. Pada saat peristiwa ’65 usia saya masih 17 tahun, masih belum kepikiran untuk menuliskannya. Tak kunjung ada tulisan sastra tentang peristiwa ‘65 dari penulis yang lebih berpengalaman. Saya bertanya-tanya mengapa pada periode ’66, sastrawan yang tinggal di Ibukota seperti : Goenawan Mohamad, Rosihan Anwar atau Mochtar Lubis tidak ikut menulis. Mungkin data mereka kurang lengkap dan valid. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya saya memutuskan untuk menuliskannya, if not me, then who? Sepertinya tidak ada orang yang menuliskannya jika tidak ada yang memulainya.
Ketika menulis naskah trilogi tersebut harus benar-benar fokus. Pekerjaan di surat kabar Harian Merdeka yang berpusat di Jakarta saya hentikan, dan kembali pulang ke Banyumas. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ditulis dan diterbitkan secara berkala, novel pertama berjudul Catatan Buat Mak (1981), kemudian disusul Lintang Kemukus Dinihari (1984) dan Jentera Bianglala (1985). Resiko berhadapan dengan tentara, sebagian cerita tidak diterbitkan memang harus diambil. Sebab, menjadi salah satu saksi mata peristiwa besar seperti itu menjadi beban jika tidak ditulis. Sungguh tidak pantas jika peristiwa ’65 tidak terekam dalam jejak karya sastra Indonesia.
Meskipun sebelumnya peristiwa ini sudah saya ceritakan dalam novel Kubah (1980), namun novel tersebut belum mewakili perasaan saya. Masih ada kegelisahan yang tersisa, apalagi sempat dibuat gagap karena Kubah dinyatakan sebagai novel terbaik pada 1980 oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef. Ketika bagian pertama trilogi terbit, perasaan lega perlahan menelisip di benak saya. Ibarat perasaan ibu yang baru saja melahirkan anak. Terasa lega, kosong, kehabisan tenaga, namun bahagia.
Jika dibandingkan dengan Kubah yang lebih tipis, apakah lebih banyak yang ingin disampaikan dalam novel trilogi ini?
Iya, benar. Sebenarnya yang ingin saya sampaikan ada di dalam Jentera Bianglala. Sebagai kejutan kepada pembaca. Detil tentang ronggeng saya sertakan agar pembaca asik mengikuti alurnya, atau usaha untuk mengulur-ulur karena sebenarnya saya masih merasakan ketakutan dengan rezim yang berkuasa kala itu.
Apa makna peristiwa ’65 bagi Anda?
Menurut saya, peristiwa ’65 merupakan bagian dari dinamika internasional. Konteks historisnya adalah puncak dari perang dingin yang terjadi antara blok barat yang direpresentasikan oleh Eropa dengan blok timur yang direpresentasikan oleh Uni Soviet. Namun mau tak mau, dampak tersebut juga ikut dirasakan sampai pelosok desa. Latar belakang agama menjadi masalah. Keluarga saya adalah keluarga Nahdatul Ulama (NU) yang memiliki sawah untuk dikerjaan. Saya masih ingat bapak saya disebut sebagai salah satu “setan desa”, ada kekesalan. Namun, timbul rasa kasihan ketika orang-orang kampung yang dituduh komunis turut dibunuh apalagi beberapa kejadiannya tepat di depan mata saya. Orang-orang kampung saya rasa hanya ikut-ikutan, mereka tergiur karena dijanjikan akan mendapatkan tanah garapan, namun tidak terlalu paham dengan Partai Komunis. Bagi saya, tak ada gunanya untuk mengelus-elus kenangan pahit yang terjadi pada sekitar 65-66. Kita tak dapat menggugat Hamengkubuwono X, karena kesalahan yang dibuat oleh Amangkurat I yang membunuh sekitar 5000 santri di Pleret.
Bagaimana dengan sastrawan lain yang mereka kejadian tersebut?
Saya kira, periode ini adalah periode yang kelam bagi sastrawan. Taufik Ismail, Romo Mangun (Y.B. Mangun Wijaya) merekam peristiwa ini dalam karyanya. Sayangnya tidak semua sastrawan yang menyaksikan peristiwa tersebut menuangkan kegelisahannya dalam bentuk tulisan. Pada masa itu, hanya saya dan Romo Mangun dengan novel Burung-burung Manyar (1981) yang mengambil keputusan untuk menulis naskah berlatar ‘65. Kami menulis sebagai kritik terhadap rezim yang kala itu sedang berjaya. Itu tahun yang membuat trauma, pembunuhan dan pembakaran dimana-mana dari desa hingga ibu kota terkena dampaknya.
Jika tak banyak sastrawan sezaman yang menulis kondisi masa tersebut, lantas bagaimana kecenderungan sastra Indonesia pada tahun ’65-80 an?
Semua media massa di Indonesia berada dibawah kendali tentara. Tidak ada penerbit yang menerbitan sastra aliran realis, sebab akan dicap kiri (anggota PKI). Trauma anti komunis masih terasa hingga tahun 1990, novel Bekisar Merah masih mendapat teguran karena menggunakan kata Merah. Bagian cerita rumah tahanan di Jentera Bianglala tidak diterbitkan karena terlalu beresiko. Disisi lain, sastra populer dari barat masuk ke Indonesia. Banyak cerpen yang menggambarkan tentang kenikmatan dunia sengaja digelontorkan oleh pemerintah untuk meredakan gejolak dalam negeri.
Beberapa penulis muda mencoba untuk menulis dengan latar peristiwa ’65, apa komentar Anda?
Untuk penulis muda yang ingin menulis berkaitan 65, saya tak akan mengurangi hak para sastrawan muda untuk menulis. Ya silakan. Tapi persoalannya apakah mereka cukup data untuk menuliskan itu? Apakah mereka memiliki ingatan peristiwa pada masa itu, jangan-jangan mereka belum lahir. Jika penulis muda menulis dengan informasi yang kurang lengkap, sebenarnya saya merasa kasihan karena mereka memberikan gambaran peristiwa yang tidak utuh.
Saya merasa juga kasihan, sebab mereka tidak mendapatkan pengalaman nyata yang dapat digunakan sebagai data, informasi yang diperoleh juga kurang lengkap. Kalaupun mereka kekeuh untuk menulis, mereka mau menuntut siapa? Mengapa harus diungkit-ungkit lagi, kalau sudah ditulis lantas mau diapakan lagi? Toh penguasa rezim Orde Baru sudah meninggal.
Bisa dikatakan pemahaman yang dimiliki oleh penulis muda saat ini masih separuh-separuh tentang peristiwa ’65?
Tidak hanya separuh, mungkin hanya seperempatnya saja. Saya rasa mereka (penulis muda) kurang melakukan observasi terhadap saksi hidup peristiwa tersebut. Apakah mereka pernah mengamati corak naskah yang ditulis oleh penulis terdahulu? Saya misalkan saja Pramodya Ananta Toer. Saya mengakui bahwa ia adalah sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Ketika anak muda memandang Pram dari sisi penderitaannya selepas ia dibui, kami (sastrawan ’66) juga merasa tidak tega. Tapi, saya juga membaca corak naskah yang ia tulis seputar ’65 disamping saya pernah berbincang dengannya. Kalau membaca karya Pram yang diterbitkan sebelum ’65, mungkin pikiran anak muda sekarang akan berubah.
Penulis muda saat ini tidak menyaksikan secara langsung peristiwa ’65. Pengetahuan tentang apa yang dilakukan garong pada masa itu tidak mereka miliki. Kemudian penulis muda membuat karya berlatar ’65 dengan dalih tentang Hak Asasi Manusia (HAM), memposisikan PKI sebagai pihak yang paling tertindas dengan adanya pembersihan tersebut. Anggota PKI memang kejam, namun mereka juga masih memiliki sisi baik. Ini bukan pembelaan saya terhadap komunisme yang ada di Indonesia. Berani untuk menyuarakan suara kelas bawah yang terbungkam itu baik, sebab setelah peristiwa ’65 pecah, petani NU, petani nasionalis, maupun Barisan Tani Indonesia (BTI) bungkam. Sekali lagi ini bukan pembelaan saya terhadap mereka.
Apa pandangan Anda tentang kecenderungan sastra yang berkembang saat ini?
Ada pergeseran corak sastra selalu mengikuti zaman. Penulis tidak dapat mengelak dari trend kehidupan nyata yang berkembang di lingkungan sekelilingnya. Saat ini, saya rasa masih ada penulis muda yang membuat karya sastra yang memiliki ruh kegelisahan zaman.
Siapa saja penulis muda tersebut?
Mungkin penulis seperti Seno Gumira Ajidarma, ruh tulisan tersirat dalam pemilihan nama tokoh dan masalah sosial yang melingkupi tokoh tersebut. Atau sebut saja Eka Kurniawan dengan karyanya yang tidak sepenuhnya berkiblat pada pasar. Tidak mengikuti arus novel yang marak pada saat ini.
Adakah saran yang ingin disampaikan kepada penulis muda saat ini?
Rekaman ingatan penulis muda akan lebih kuat dengan masalah yang ada saat ini, misalnya saja korupsi, penguasa yang berpihak kepada kapitalis, dan masalah kemiskinan. Penulis muda akan mendapatkan ruh dari masalah tersebut. Dari karya-karya yang diterbitkan tersebut dapat menjadi penanda zaman, sekaligus kritik kepada penguasa, pengingat bahwa masalah yang kita hadapi harusnya segera diselesaikan.
Jika penulis muda mengungkit kembali tentang ’65 lantas untuk apa? Penguasa yang harusnya menerima kritikan sudah tidak ada. Mengapa peristiwa kelam harus terus diingat. Keluarga orang-orang di desa yang memiliki kenangan pahit tersebut akan menderita, traumatik betul. Jadi, sudahlah. Saya pikir, sastra yang menyangkut G30S cukup sampai di sini saja, tak perlu dituliskan lagi. Sebab saya rasa, kita harusnya bergerak kedepan. Jangan sampai kehabisan energi untuk menghadapi masa depan karena terbuai dengan masa lalu. Saya juga merasakan sakit ketika mengingat hal itu, tapi mari kita mencoba untuk berdamai saja. [Khumairoh]