
©Yesika Sinaga
Lembaga Ekskutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (LEM FIB) UGM kembali menggelar acara Etnika Fest pada Sabtu (16/3). Acara ini diselenggarakan setiap 2 tahun sekali dengan mengangkat tema seputar seni dan kebudayaan. Tahun ini, Etnika Fest mengusung tema tari dengan slogan ‘Bhineka Tunggal Ika: Menari untuk Indonesia’. Terpilihnya tema tersebut karena di Indonesia terdapat beragam tarian dengan keunikannya masing-masing. “Tarian daerah itu banyak sekali macamnya. Namun bagaimanapun ragamnya, identitas mereka tetaplah bagian dari Indonesia,” ujar Jaka Aris Eko Wibawa, Presiden LEM FIB. Etnika Fest 2013 diisi dengan berbagai rangkaian kegiatan, seperti talkshow budaya, bazar komunitas, pameran fotografi, dan berbagai seni pertunjukan tari.
Bertempat di Auditorium FIB UGM, talkshow budaya yang bertemakan ‘Art Preneurship’ dibuka dengan suguhan tari. Hadir sebagai pembicara sesi pertama, Nobertus Nuranto, pemilik Rumah Tembi Budaya dan Kuskasriati, perwakilan Kepala Dinas Pariwisata DIY. Dalam pemaparannya Nobertus Nuranto mengatakan, untuk sukses di dunia seni butuh waktu yang tidak sebentar, pengaturan keuangan, dan menajemen yang baik. “Materi bukan suatu hal utama dalam berkesenian, passion is the first one,” tuturnya.
Selanjutnya, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A., M.Phil, dosen Antropologi FIB UGM dan Didik Ninik Thowok, penari asal Yogyakarta mengisi sesi kedua. Didik Ninik Thowok mengatakan, seniman harus bergaul dengan berbagai orang agar dapat memiliki wawasan tentang manajemen, birokrasi dan strategi. Dengan wawasan yang luas, seniman bisa bergerak bukan hanya sebagai pelaku tapi juga sebagai penggerak, pengabdi, dan pelestari seni. “Kalau penari ya jangan hanya jadi tukang tari, ndomblong nunggu panggilan pentas,” kata Didi terkekeh.
Setelah talkshow, rangkaian acara Etnika Fest dilanjutkan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) mulai pukul 12:00 WIB. Di halaman Gedung Societet digelar bazar dari berbagai komunitas yang menawarkan produk, mulai dari pakaian, aksesori, hingga bermacam makanan. Sementara itu di lobi gedung dilangsungkan pameran fotografi bertemakan ‘Potret Tari Indonesia’. Tidak ketinggalan, berbagai tarian seperti fire dance, tari ular, dan tari nusantara lainnya dipentaskan di Amphiteathre TBY.
Puncak acara pun digelar pada malam harinya di Gedung Societet TBY. Tarian seperti rapa’i geleng, tari golek, tari condong, tarian dari Deaf Art Community, dan tari balet pun ditampilkan. Pentas Bandung Bondowoso Lara Ati disuguhkan sebagai penutup rangkaian acara. Pentas yang ditampilkan di atas adalah hasil kolaborasi mahasiswa FIB UGM dan ISI Yogyakarta. Salah seorang penonton, Nofan Yulianto, mahasiswa D3 Ekonomi ’12, mengatakan bahwa pertunjukan ini cukup menarik. “Agak telat sih mulainya, tapi acaranya sendiri memuaskan lah,” ungkapnya.
Selain itu, antusiasme penonton tampak cukup tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya pengunjung yang tidak bisa masuk karena kapasitasnya telah penuh. “Perasaan saya sihkecewa enggak bisa masuk, mungkin harusnya dari awal bisa dibatasi kuotanya dengan pendaftaran terlebih dulu,” ujar Sammy Arkoun Serageldin, mahasiswa Geografi UGM ’08. Panitia menyatakan bahwa jumlah pengunjung yang hadir di luar dugaan. “Kami tidak menyangka yang hadir akan sebanyak ini, saya harap Etnika Fest selanjutnya bisa lebih tertata supaya tidak lagi mengecewakan penonton,” tutur Ihwan Arya Negara selaku ketua panitia.[Krisnia Rahmadany, Suci Wulandari]