“Negara harus menyelesaikan konflik sosial sampai ke akar-akarnya” ujar Dr. Muhammad Najib Azca, MA, dosen Sosiologi Fisipol UGM. Kalimat ini disampaikannya dalam diskusi publik bertajuk, “Mengurai Akar Konflik Sosial Sebagai Kegagalan Negara”. Diskusi yang berlangsung Rabu (12/12), di Ruang Seminar Timur Pascasarjana Fisipol ini juga menghadirkan Staf Peneliti Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, Tri Guntur Narwaya, M.Si. Mohammad Zaki Arrobi, Ketua Keluarga Mahasiswa Sosiologi (KMS) menjadi moderator diskusi yang dimulai pukul 13.30 ini.
Diskusi publik yang diselenggarakan oleh Kementerian Kajian Strategis BEM KM dan KMS ini dilatarbelakangi maraknya konflik-konflik sosial, seperti yang terjadi di Lampung, November lalu. Guntur memandang konflik sosial adalah unsur yang hakiki dalam perkembangan masyarakat. Menurutnya, konflik dapat berdampak positif apabila masyarakat mampu mengelolanya menjadi kekuatan yang membangun. Namun, dalam esainya yang berjudul, “Utopia Demokrasi dan Konflik Sosial Pasca Reformasi”, hal yang patut diwaspadai, ketika konflik sudah di luar batas dan mengancam harkat maupun martabat manusia.
Guntur menganggap konflik sosial rawan terjadi pada negara yang menganut sistem demokrasi. “Karena demokrasi membuka ruang kebebasan untuk berekspresi, beraspirasi dan mengaktualisasikan dirinya secara maksimal,” jelasnya.
Penyebab konflik sosial di Indonesia, negara penganut sistem demokrasi, menurut Najib ada tiga. Pertama, faktor pendorong yang berupa perubahan sosial-ekonomi, migrasi penduduk, kebijakan dan desentralisasi. Kedua, faktor pemicu konflik sosial, seperti pesta minuman keras. Ketiga, faktor akar, seperti kesenjangan sosial-ekonomi dan kemiskinan struktural. Dari ketiga faktor tersebut, menurutnya, faktor akar lah yang menjadi faktor penting yang harus diselesaikan negara. “Karena akar konflik biasanya tidak tampak, bersifat struktural, dan menjadi sumber utama konflik sosial,” jelasnya.
Serangkaian pemaparan dalam diskusi tersebut mengajak peserta untuk melihat konflik sosial dengan perspektif yang berbeda. “Tidak hanya melihat ramainya konflik sosial yang terjadi atau siapa lawan siapa, tetapi untuk mengantarkan pemahaman peserta bahwa ada yang salah pada peran negara dan masyarakat,” papar Menteri Kajian Strategi BEM KM, Hafidz Arfandi.
Meski demikian, banyak bangku peserta yang kosong. Dari target peserta 50 orang, hanya terpenuhi 23. “Banyak peserta yang tidak mengikuti sampai selesai sehingga diskusi ini terlalu sepi untuk dinamakan diskusi publik,” ujar Utami salah seorang peserta yang hadir. Hafidz mengaku, diskusi ini sepi karena publikasi kegiatan terlambat. “Kita tidak melihat kuantitas peserta yang hadir, tetapi kontribusi dari peserta setelah mengikuti diskusi ini,” tambahnya.[Anggun Intan Permatasari, Amrina Rustiyati, Faizal Akbar]