Tak hanya DPR yang ngotot mengusulkan gedungnya direnovasi dengan biaya triliunan rupiah. Seketika, parelemen lain, DPD juga memperjuangkan “haknya” untuk dibangunkan kantor perwakilan. Bebarengan dengan itu, para wakil rakyat juga rajin berkunjung ke manca negara. Program-program ini pun sontak dikritik banyak kalangan.
Namun, wacana ini seolah terbenam dalam hiruk-pikuk informasi bencana alam dilanjutkan kasus Gayus. Setelah bencana letusan Merapi mereda, Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi FH UGM bekerja sama dengan Dewan Perwakilah Daerah Republik Indonesia (DPD RI) merelealisasikan rencana yang sempat tertunda, yaitu Diskusi Publik bertajuk “Menguatkan DPD: Efektivitas Kantor Perwakilan”, pada Rabu (1/12). “Kalau DPD mau membuat kantor perwakilan, bagaimana membuatnya dengan baik. Kalau DPD melakukan studi banding, bagaimana melakukannya dengan baik. Ini yang mendasari pemikiran kita sekarang,” ujar Zainal Arifin Mochtar, S.H.,LL.M, Direktur PuKAT Korupsi dalam sambutannya pada pembukaan diskusi.
Diskusi publik yang diselenggarakan di Ruang Multimedia, FH UGM ini menghadirkan Anggota DPD RI H. Dani Anwar, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, S.H., LL.M, Peneliti PuKAT Danang Kurniadi, S.H., serta Dosen Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Hestu C. Handoyo, S.H. M.Hum sebagai pembicara. Semua pembicara mengawali presentasinya dengan mengkritisi Undang-Undang No.27/2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terutama Pasal 227 yang menyatakan “Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibu kota provinsi daerah pemilihannya” dan Pasal 402 yang menyatakan “Penyediaan kantor DPD di setiap ibu kota provinsi untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (4) dilakukan secara bertahap oleh Pemerintah paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Berangkat dari dua pasal tersebut, baik Dani, Refly maupun Hestu mengungkapkan bahwa kantor perwakilah atau rumah aspirasi DPD merupakan fasilitas yang given, amanat dari UU. “Kalau dinilai memakan banyak anggaran, undang-undangnya yang harus direvisi,” ujar Refly yang juga Ketua Tim Investigasi Dugaan Makelar Kasus di Mahkamah Konstitusi (MK).
Senada dengan Refly, Dani pun menantang diskusi untuk merekomendasikan perubahan UU tersebut. “DPD sendiri tidak ngotot mendirikan kantor perwakilan. Kami hanya melaksanakan amanat undang-undang yang harus direalisasikan 2011,” tambahnya.
Di sisi lain, Danang menilai, pengadaan kantor perwakilan DPD yang diusulkan mendapat jatah anggaran sebesar Rp 165 miliar dan pagu sementara untuk tahun 2010 tercatat Rp 512 miliar, atau total Rp 677 miliar ini berpotensi menjadi ladang korupsi baru. “Masalah di DPD secara substantif bukan tidak adanya kantor perwakilan, tetapi minimnya kerja rill dan fungsinya,” tambahnya. Danang pun menekankan kalaupun kantor perwakilan DPD direalisasikan, DPD harus genjot kinerjanya.
Dalam konteks demokrasi, Hestu mengungkapkan bahwa permasalahan substantif demokrasitisasi di Indonesia, khususnya di ranah representasi kerap dikalahkan oleh hal-hal administratif. “Ini karena reformasi tidak dimenangkan oleh kelas menengah seperti revolusi Industri di Eropa. Akibatnya, politik transaksional yang menggejala,” paparnya. Hasrul Halili, Peniliti PuKAT yang menjadi pemandu diskusi siang itu mempertanyakan, apakah pembangunan kantor perwakilan DPD itu bisa menjadi ruang publik yang menjadi syarat demokrasi sebagaimana diidamkan oleh Jurgen Habermas? Yang jelas, tanpa anggaran dari negara pun, Hasrul menambahkan, Budiman Sudjatmiko, salah satu wakil rakyat di DPR sudah punya rumah aspirasi. Anggota DPD juga sudah ada yang menginisiasi ruang publik melalui forum-forum aspirasi seperti dilakukan Chalid Mahmud, salah satu Anggota DPD DIY, sebagaimana diungkapkan pendampingnya Rahman yang hadir dalam diskusi publik ini.
Refly menekankan, pengadaan kantor perwakilan DPD diharapkan tidak memakan banyak anggaran. “Jangan mewah-mewah. Sederhana saja. Apalagi sekarang zaman teknologi, bung,” pungkasnya. Diskusi ini akan dilanjutkan Kamis (2/12) besok dengan waktu dan tempat yang sama dengan tema “Studi Banding DPD: Belajar atau Plesir?”
[Udin]