Setelah era keterbukaan yang ditandai dengan runtuhnya Orde Baru, pers mahasiswa (persma) justru terpojok.Ā Apa yang pernah diperjuangkan dulu, kini justru menyerang balik. Sebagai contoh tentang kebebasan pers. Dulu, persma menjadi salah satu elemen yang cukup gencar memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia.
Namun, ketika kebebasan pers kini sudah didapatkan, persma kemudian menjadi kalah bersaing dengan pers umum. Tidak hanya dari segi oplah, melainkan juga dari keberanian mengungkap sebuah permasalahan. Kondisi ini bahkan memaksa persma untukĀ back to campus.Ā Di titik inilah, laku reflektif harus digelar oleh para pegiat persma sebagai upaya untuk menempatkan peran dan fungsi persma yang kontekstual dengan perkembangan zaman.
Beberapa saat yang lalu, penulis mengikuti Pekan Nasional Pers Mahasiswa (Pena Emas) di Makassar. Kegiatan ini dihadiri oleh puluhan aktivis persma dari berbagai daerah di Indonesia. Ketika forum diskusi bersama diadakan, rata-rata pegiat persma mengeluh karena kekurangan SDM. Mau tidak mau, pegiat yang ada harus pontang-panting mengurus berbagai agenda kegiatan yang ada. Yang menarik, meskipun rata-rata mengeluh namun itu tidak dijadikan alasan bagi para pegiatnya untuk menyerah.
Bahkan lebih dari itu, hal tersebut justru dianggap sebagai tantangan untuk terus menjaga nafas intelektual mahasiswa. Bagaimana cara menjaganya? Konsep jurnalisme struktural yang diajukan Didik Supriyanto dalamĀ Perlawanan Pers Mahasiswa : Protes Sepanjang NKK/BKK(1998) menjadi salah satu jawaban patut dicermati. Dalam jurnalisme struktural, persma merupakan lembaga yang mencerminkan idealisme mahasiswa.
Idealisme ini kemudian diimplementasikan dalam agenda lembaga yang tidak hanya berupa penerbitan melainkan agenda non-penerbitan juga. Diantaranya adalah diskusi dan proses advokasi masyarakat. Diskusi menjadi salah satu agenda yang cukup penting karena proses dialektika yang ada di dalamnya menjadi salah satu tradisi dalam masyarakat ilmiah kampus. Dengan diskusi yang masif, membaca berbagai tema dengan komprehensif, diharapkan persma bisa menjadi garda terdepan untuk terus menjaga semangat intelektualitas mahasiswa. Catatannya, diskusi harus dilakukan dengan intens supaya nalar kritis mahasiswa tetap terjaga. Hasil diskusi pun paling tidak juga dituliskan sebagai upaya penyadaran dan pemahaman kepada mahasiswa yang lain.
Sementara itu, proses advokasi menjadi penting untuk menjaga agar mahasiswa tidak terpisah dari masyarakatnya. Tentu selama ini kita mafhum dengan pendapat bahwa perguruan tinggi menjadi menara gading yang tidak mampu memberikan manfaat bagi masyarakatnya. Di titik ini, dengan tidak melepaskan diri dari realitas sosial, teori-teori yang dipelajari di bangku kuliah dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat yang minim akses.
Meskipun demikian, agenda penerbitan toh tidak dapat dilupakan begitu saja. Sebagai pers yang di dalamnya melekat fungsi sebagai kontrol sosial, persma memiliki kewajiban untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas. Seperti diungkapkan Daniel Dhakidae, persma memiliki etos untuk menentang kekuasaan yang sewenang-wenang. Meskipun kini mahasiswa dan pemerintah tidak berhadapan secaraĀ vis a visĀ seperti ketika Orde Baru, persma setidaknya harus terus melakukan kontrol terhadap kekuasaan pemimpin universitas.Bagaimanapun juga, kampus kini telah menjelma menjadi ānegara-negaraā kecil yang di dalamnya banyak terjadi kebobrokan perilaku penguasanya. Persma, memiliki tugas untuk menyampaikan itu semua.
Terakhir, ukuran keberhasilan persma sebaiknya tidak dilihat dari sedikit banyaknya oplah penerbitan, apalagi ingin bersaing dengan pers umum.Ā Hampir tidak dapat diharapkan bahwa persma saat ini akan menerbitkan berita aktual dan āmenggigitā seperti yang dilakukan pers umum.Ā Persma cukup mengarahkan penerbitannya pada ciri khas mahasiswa yang kritis, obyektif, analitis dan kaya ide. Itu saja.
Oleh : Wisnu Prasetya UtomoāPemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM.