Pada mulanya adalah Surat Edaran Wakil Rektor Administrasi, Keuangan, dan Sumber Daya Manusia Nomor 5890/PII/Dir-PPA/2009 tentang Uji Coba Pengoperasian Portal Jalan Pancasila tertanggal 12 Agustus 2009. Berdasar surat ini, Portal Gate kemudian dipasang di gerbang Bunderan UGM. Sementara mereka yang lewat di jalan Sosio-Humaniora kemudian diwajibkan untuk menerima karcis parkir. Dalam surat itu sendiri dijelaskan mengenai penutupan beberapa ruas jalan di UGM yang akan ditutup untuk “mewujudkan lingkungan kampus yang tenang dan nyaman”. Selain itu, surat ini juga menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, identitas kendaraan akan diberlakukan setelah ujicoba berhasil dan berbagai permasalahan yang timbul dapat teratasi. Setelah muncul Surat Edaran ini, media massa kemudian ramai-ramai memberitakan mengenai pemberlakukan parkir berbayar di UGM. Salah satunya adalah Kompas (http://regional.kompas.com/read/2009/08/19/21591533/wah….lewat.ugm.harus.bayar.parkir).
Setelah itu, kontroversi muncul dan isu ini berkembang liar di kalangan sivitas akademika sendiri maupun masyarakat Yogyakarta. Dalam wawancara dengan media massa seperti dikutip dari Harian Jogja, Kedaulatan Rakyat, Koran Tempo, Seputar Indonesia, Humas UGM Suryo Baskoro mengatakan bahwa “Pengelolaan akan diserahkan kepada pihak swasta dengan alasan agar kebijakan pemungutan tarif parkir bisa diterapkan secara profesional. Besarnya tarif masih dalam pembahasan”. Sementara itu Wakil Rektor Administrasi, Keuangan, dan Sumber Daya Manusia, Ainun Na’im mengatakan bahwa “Berdasarkan diskusi kita, mobil akan dikenakan tarif, walaupun kita masih belum tahu berapa”. Dalam perkembangannya, meskipun bulan puasa, ratusan mahasiswa UGM kemudian melakukan aksi demonstrasi menolak kebijakan ini. Tidak hanya mahasiswa, beberapa dosen pun dengan terang-terangan menolak kebijakan yang minim sosialisasi ini.
Rektor UGM panik, ini bisa dilihat dari Surat Edaran Rektor UGM No 6087b/P/Set.R/2009 tertanggal 25 Agustus 2010 yang langsung dikeluarkan untuk menanggapi isu yang beredar. Surat Edaran yang langsung ditujukan kepada Kepala Daerah Kabupaten Sleman ini terdiri dari 4 poin. Ada dua poin yang sangat menarik. Pertama, poin 1 yang menjelaskan bahwa “beberapa media menulis berita yang keliru, berdasar info yang tidak sesuai. Sementara poin ketiga menjelaskan dengan tegas bahwa “Surat Edaran tentang Uji Coba Pengoperasian Portal telah diterbitkan dan tidak ada istilah menarik biaya atau tarif.”
Sampai di sini, anda bisa melihat keanehan dari perkataan yang disampaikan Humas, Wakil Rektor, dan Rektor UGM? Kalau jeli, pasti anda bisa melihat kontradiksi yang muncul. Humas dan Wakil Rektor mengatakan bahwa parkir berbayar akan dilakukan di UGM, pengelolaannya –mengutip Humas UGM – bahkan akan diberikan kepada pihak swasta. Ini dipertegas dengan pernyataan Wakil Rektor AKSM yang menyebutkan bahwa mobil akan dikenakan tarif meskipun belum ditentukan tarifnya. Sementara itu, melalui surat edarannya, Rektor justru menyalahkan media massa yang dianggapnya menulis berita yang berdasar informasi tidak berdasar dan keliru. Ini titik pentingnya, mengapa pernyataan pimpinan dan anak buahnya tidak sama? Ini artinya rektor UGM tidak paham bahwa wacana parkir berbayar ini muncul dari anak buahnya sendiri. Alih-alih menegur anak buahnya, rektor justru menyalahkan media massa. Ini terjadi Agustus tahun 2009. Isu kemudian meredup dan pelan-pelan hampir menghilang.
Oktober 2009, dalam wawancara dengan BALAIRUNG, rektor mengelak ketika pemasangan portal gate ini menjadi bentuk UGM yang kian mengeksklusif. Menurutnya, “kita tidak memagari. Kita hanya melindungi wilayah kampus UGM dari pencurian, tindakan asusila, kecelakaan dan polusi. Justru karena mengijinkan sembarang orang masuk, akibatnya kampus kita menjadi tidak aman.” Simak juga isi surat rektor UGM yang dikirimkan ke milis dosen dan Majelis Guru Besar (MGB). Dalam surat tersebut, rektor mengatakan bahwa pemasangan portal gate dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa parameter.
Diantaranya, Pertama, sudah tercatat sejumlah kematian korban lalu lintas kampus UGM. Kedua, sejumlah pelajar memilih janjian tawuran di kampus UGM. Ketiga, transaksi jual beli barang terlarang terjadi di kampus UGM. Keempat, transaksi Pekerja Seks Komersial dilakukan di UGM. Kelima, sejumlah mahasiswa datang dan pergi ke kampus tiap hari dua tiga kali pakai motor dan mobil, menebar polusi di kampus, seharusnya lebih efisien datang pagi, kuliah, ke perpustakaan, pulang sore atau malam, belajar dan beribadah di kampus sepanjang hari, tidak datang dan pergi menebar polusi. Sampai di sini, terlihat argumentasi pemasangan portal gate serta rencana pemberlakuan Kartu Identitas Kendaraan oleh rektorat.
Parameter-parameter yang digunakan ini mendapat tentangan pula dari beberapa dosen. Salah satunya Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Guru Besar Antropologi UGM. Dia mengatakan bahwa “sungguh disayangkan Rektor tidak memberikan data kriminalitas di kawasan kampus. Logikanya, jika angka kejahatan menunjukkan kenaikan signifikan, maka penataan perlu dilakukan. Bila tidak, penataan telah kehilangan salah satu landasan utama”. Ucapan Prof Heddy ini menemui kenyataan ketika pasca pemasangan portal gate, jumlah kejadian asusila, lakalantas, dan kriminal justru semakin meningkat. Simak data yang didapatkan BALAIRUNG. Sebelum diberlakukan portal gate, pada periode April sampai Agustus 2009, tindak asusila di dalam kampus hanya 2 kejadian, tindak kriminal 24 kejadian, dan kecelakaan lalu lintas 17 kejadian. Bandingkan dengan pasca pemasangan portal (Agustus sampai Desember 2009) di mana tindak asusila menjadi 18 kejadian, tindak kriminal menjadi 28 kejadian, dan kecelakaan lalu lintas menjadi 28 kali!
Desember 2009. Sementara ujicoba portal gate masih dilakukan di gerbang Bunderan UGM yang diwarnai dengan patahnya portal, pemakaian karcis parkir semakin menggila di jalan Sosio Humaniora. Setiap kendaraan yang masuk diberi karcis, lantas akan ditarik di depan GSP. Dari wawancara dengan Musthofa, Kepala Seksi Gedung, Jalan, dan Pertamanan Dewan Pemeliharaan dan Pengelolaan Aset (DPPA), setiap hari UGM memproduksi 4000 sampah karcis. Dan dalam sepuluh hari, UGM mengeluarkan uang sebesar 5 juta untuk produksi karcis tersebut. Ditambah lagi dengan uang sebesar Rp 375.000 yang diberikan kepada pengelola sampah. Ini belum dilihat dari antrean panjang kendaraan yang melintasi jalan tersebut karena harus mengambil karcis terlebih dahulu. Oiya, petugas Satuan Keamanan dan Ketertiban Kampus pun beralih peran untuk menempel karcis di sepeda motor, lantas mencabutnya.
Sampai pergantian tahun, kebijakan ini berjalan terus tanpa ada perkembangan berarti. Tidak ada perlawanan dari mahasiswa karena parkir berbayar memang belum dilaksanakan. Tiba-tiba saja sosialisasi dari tim KIK muncul. Salah satunya di Fisipol pada 17 Maret 2010. Presentasi yang berlangsung di ruang seminar Fisipol ini menjelaskan mengenai parkir berbayar dan pemberlakuan KIK. Simak saja apa yang ada dalam presentasi. Di antaranya adalah mengenai tujuan diberlakukannya KIK, yaitu “Mengurangi penggunaan kertas (karcis) dalam pengawasan keamanan kendaraan warga kampus dan pencegahan dari tindak pencurian kendaraan bermotor. Selain itu juga untuk Mengendalikan jumlah kendaraan bermotor yang parkir di kawasan Kampus UGM melalui pola disinsentif yang bersifat progresif yang diberlakukan secara selektif dan bertahap”.Dalam sosialisasi ini sudah disampaikan mengenai tujuan penarikan tarif parkir Rp 1000 untuk motor dan Rp 2000 untuk mobil. Di antaranya adalah sebagai “tambahan insentif bagi petugas penjaga portal dan parker”.
Dalam sosialisasi ini bahkan sudah disebutkan jenis dan sanksi pelanggaran.
Tentu saja sosialisasi ini sangat mengherankan. Terakhir rektor mengatakan bahwa tidak ada parkir berbayar, sementara tiba-tiba saja sekarang ada sosialisasi bahwa parkir berbayar akan segera diberlakukan bagi masyarakat maupun mahasiswa yang tidak memiliki KIK. Bahkan sudah lengkap dengan sanksi apabila melanggar. Catat, sampai saat tulisan ini dibuat (5 Juli 2010), Surat Keputusan Rektor terkait kebijakan ini belum ada! Pada sosialisasi di Fisipol ini disebutkan bahwa pemberlakuan KIK akan dilaksanakan pada 22 Maret 2010. Namun entah kenapa, tiba-tiba diundur lagi waktunya sampai waktu yang belum ditentukan. Penolakan pelan-pelan memudar, tiba-tiba muncul pengumuman dalam sosialisasi resmi yang dilakukan oleh tim KIK dan Direktur Pemeliharaan dan Pengelolaan Aset (PPA). Jelas diungkapkan, masyarakat umum dan sivitas akademika yang tidak mampu menunjukkan KIK dikenai disinsentif Rp 1000 untuk motor dan Rp 2000 untuk mobil. Untuk mahasiswa baru tahun 2010, pemakai mobil akan dikenai biaya pembuatan KIK Rp 200.000 /Tahun. Pemberlakuannya pun akan dimulai pada tanggal 5 Juli 2010. Nah, lebih aneh lagi, tulisan ini dibuat tanggal 5 Juli dan ternyata yang diberlakukan baru Uji Coba Pengecekan Kartu Identitas Kendaraan.
Simak kata ujicoba, ini berbeda dengan sosialisasi yang jelas menyebutkan pada tanggal 5 juli akan langsung dilaksanakan kebijakan ini. Rencana pengurangan karcis parkir pun menjadi omong kosong sebab mulai saat ini, sejak dari Bunderan UGM, anda akan mendapatkan karcis. Hari ini saya sudah dua kali mendapatkan karcis. Sungguh pemborosan dan mengeksploitasi petugas SKKK. Jika anda tidak dipercaya, sekarang saya sarankan melewati Bunderan UGM dan anda akan melihat betapa sia-sianya penggunaan karcis tersebut.
Terakhir, tulisan ini dibuat sebagai bentuk tanggung jawab moral dan intelektual saya sebagai mahasiswa UGM yang menolak kebijakan yang tidak jelas dan membingungkan ini. berbagai kontradiksi yang muncul menjadi bukti nyata betapa kebijakan ini memang bermasalah. Ini menjadi upaya untuk melawan lupa. Karena itu, saya mengutarakan sedikit kronologi tentang kebijakan portal gate dan KIK selama setahun belakangan ini. Data-data yang dipaparkan di sini merupakan data Badan Penerbitan Pers Mahasiswa BALAIRUNG UGM yang berasal dari wawancara, data tertulis, kliping media serta sosialisasi dari pihak-pihak yang memiliki otoritas dalam pembuatan kebijakan. Rektorat seharusnya mendengarkan aspirasi serta masukan dari semua elemen di kampus dan tidak serta merta mengeluarkan kebijakan sepihak. Jika tidak, jangan salahkan mahasiswa jika terjadi pembangkangan.
Tolak KIK! Hidup Mahasiswa Gadjah Mada!
Wisnu Prasetya Utomo—Pemimpin Redaksi BPPM Balairung.