“Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku, Tetapi hidup yang tidak hidup, Karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya.”
Sepenggal puisi karya W.S. Rendra berjudul “Hai, Ma!” yang dibawakan oleh Grup Sasana Hinggil membius pengunjung pada Senin malam (24/10). Di sela kepulan asap rokok dan cahaya lampu yang temaram, kasak kusuk pengunjung pameran perlahan reda. Mereka mengikuti setiap lirik dan petikan dawai gitar hingga tuntas pada pembukaan pameran seni yang diselenggarakan Unit Seni Rupa (USER) UGM.
Pameran bertajuk TUNAMAYA yang belangsung selama lima hari tersebut merangkum tema besar Maya. Menurut Nabila Aulia Ruray, TUNAMAYA dimaknai memiliki sesuatu yang nyata. Sedangkan maya dapat dimaknai sebagai cita-cita, khayalan, bahkan sampai bunga tidur. “Kami berdiskusi terlebih dahulu dengan panitia dan kurator untuk mengusung tema ini,” tambah Ruray, panggilan akrab ketua panitia pameran ini.
Irham Nur Ansari, S.Sos, M.A, selaku kurator mengatakan bahwa maya dapat diartikan sebagai banyak hal. Pengartian tersebut menyebabkan banyak karya yang dikumpulkan dalam sistem open submission. Oleh karena itu, panitia menyeleksi berbagai karya yang masuk dengan kriteria spektakuler menurut mereka. Salah satu parameter spektakuler bagi mereka adalah tidak menggunakan kertas. “Sebaiknya bisa lebih dari sekadar menggambar di atas kertas, pakai berbagai medium,” terang Dosen Ilmu Komunikasi itu. Puluhan karya yang dipajang di ruang pamer bukan karena dibatasi, melainkan karena kelayakannya untuk ditampilkan di mata panitia dan kurator.
Di tengah-tengah puluhan karya lukis, kreasi yang berhasil melewati seleksi adalah karya instalasi berjudul “Dunia Ceria”. Karya yang sekilas terlihat sebagai tumpukan balok kaca tersebut dibuat oleh Satria Matrasakti, mahasiswa jurusan Psikologi ‘15. Baginya, masalah-masalah lingkungan yang terjadi di bumi menjadi inspriasi dalam mengerjakan karya ini. “Seperti yang kita tahu, sekarang banyak kerusakan bumi di sana sini,” jelasnya. Polusi yang mencemari air, darat, dan udara telah mengubah iklim bumi sehingga kurang kondusif bagi kehidupan di dalamnya.
Pencahayaan pada lorong cukup untuk menerangi karya ini sehingga detailnya terlihat. Potongan plastik di antara gundukan pasir terdapat pada tingkat pertama. Tingkat kedua diisi ranting layu dan pasir. Kertas-kertas bekas yang dicat warna-warni dan bentuk menjadi bangunan yang terlihat indah adalah objek yang ada di tingkatan ketiga. Tingkat tertinggi dijejali remasan kertas-kertas putih yang kotor. Masing-masing tingkat terbingkai dalam kokohnya balok kaca yang disangga dengan balok kayu yang berwarna cokelat muda dipadu biru tua. Penggunaan barang bekas pada karya ini memperkuat penggambaran kerusakan alam saat ini.
Menurut Satria, karya yang dapat disebut sebagai akuarium bertingkat itu menceritakan kotornya lautan, rusaknya hutan, gemerlapnya perkotaan, dan ternodainya langit dalam satu kesatuan. Deskripsi karya ini mengatakan bahwa seluruh keempat tingkatan sedang bergembira tanpa manusia yang mengusiknya. Karya yang berisikan sindiran halus ini memiliki sebuah mimpi di dalamnya. “Yang saya mimpikan adalah dunia yang ceria, yaitu yang seimbang antara ekosistem dan manusianya,” jelas mahasiswa sekaligus Ketua USER ini.
Selain itu, karya tiga dimensi yang dipajang di pameran ialah “Lupa Rupa”. Terdapat cermin di antara dua cetakan wajah tanpa mata pada karya ini yang masing-masing objeknya berlatarkan papan oval berwarna abu-abu. Clay, adonan yang dapat mengeras, berwarna putih tulang dipilih Ruray menjadi bahan dasar cetakan tersebut. Tekstur cetakan wajah yang tidak merata terlihat bila kita mengamati karya ini lebih lama.
Melalui karyanya, Ruray mengajak kita untuk becermin sejenak lalu berdialog dengan diri kita guna menyadari diri dan kemauan kita. Karya yang terinspirasi dari konsep diri itu seakan menyindir kehidupan kebanyakan manusia. Kecenderungan bertindak mengikuti arus tanpa berinteraksi dengan diri sendirilah yang disinggung dalam karya ini.
Tidak sekadar karya tiga dimensi, karya dua dimensi yang berbentuk lukisan maupun gambar juga ramai dikunjungi. Lukisan berjudul “Raga Budak Jiwa” yang menggunakan enam kanvas termasuk di antaranya. Karya yang menggunakan media cat minyak ini dibuat oleh Komunitas Seni Kehutanan (KSK). Sekilas, karya yang tidak biasa itu menggambarkan kepala dan leher manusia yang berisi orok di bagian otaknya. Bagian kepala, leher, dan rambut didominasi warna hitam dengan gradasi warna merah pada beberapa bagian. Perupa memainkan gradasi warna biru dan hitam untuk menggambarkan langit malam yang pekat dengan bercak putih serupa kilauan bintang yang melambangkan keinginan manusia.
Keunikan dari lukisan itu menyebabkan seorang pengunjung terhenti sejenak untuk mengamatinya. Ia berkata bahwa karya itu lebih menarik dibandingkan karya-karya lainnya. “Sering-sering saja acara ini diadakan, lumayan bisa untuk menambah referensi,” ujar Firdaus Rusli, mahasiswa jurusan Teknik Fisika ‘16.
Kata maya memiliki makna yang luas. Ekspresi dari kata tersebut oleh satu insan dapat menciptakan kreasi, termasuk dalam ranah seni rupa. Ketua panitia yang merupakan mahasiswi Hubungan Internasional ‘14 ini memaparkan pendapatnya mengenai luasnya ekspresi kata maya dalam karya. “Setiap karya itu unik, tidak bisa dibandingkan dengan karya lain. Kembali lagi sama orangnya, sesuai interpretasi masing masing,” jelas Ruray. Sesuai narasi yang dibuat panitia, dapat ditarik kesimpulan bahwa maya dapat dinikmati, divisualisasikan dalam berbagai media, serta dimaknai secara bebas oleh setiap orang. [Imaduddin Priambudi]