
©Alika/Bal
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta menggelar diskusi daring dengan mengangkat tema “Meretas Petaka Wadas” yang bertujuan untuk memahami logika pembangunan kontemporer dalam lensa konflik dan perdamaian pada Senin (14-02). Diskusi ini dihadiri oleh Herlambang P. Wiratraman, Dosen Fakultas Hukum (FH) UGM; Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM); Alissa Wahid, perwakilan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU); dan Julian Dwi, perwakilan LBH Yogyakarta. Luqman Nul Hakim dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM turut hadir sebagai moderator.
Luqman membuka diskusi dengan menyatakan bahwa isu wadas sejatinya merupakan salah satu dari ragam manifestasi kecenderungan pola pembangunan yang ada selama ini. “Pola pembangunan yang dimaksud berkaitan dengan mekanisme birokrasi yang mengabaikan pendapat dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan,” tambahnya.
Melanjutkan pendapat Luqman, menurut Beka, perwujudan birokrasi tersebut tertuang dalam Surat Keputusan yang menjadi dasar legalisasi pembangunan. Beka menuturkan bahwa pembangunan di Desa Wadas didasari oleh SK Gubernur Jawa Tengah No. 590/41 Tahun 2018 diperpanjang dengan SK No. 539/29 Tahun 2020 dan diperbarui melalui SK No. 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah. “Pembangunan di Desa Wadas dilakukan guna menjalankan proyek strategis pembangunan nasional yang digadang akan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar,” tambah Beka dalam rangka menjelaskan tujuan dikeluarkannya Surat Keputusan.
Adapun, Beka menyatakan bahwa pembangunan Bendungan Bener tidak membawa dampak positif seperti yang digembar-gemborkan BBWS Serayu Opak. Pemenuhan irigasi seluas 15.510 ha, air baku 1500 liter/detik, energi listrik 10 megawatt, reduksi banjir di kawasan hilir Sungai Bogowonto, dan konservasi alam merupakan tawaran-tawaran yang sering dilontarkan. Namun,kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
Menurut Beka, tanpa proyek pembangunan bendungan, warga Desa Wadas mampu mencukupi kebutuhan pasokan airnya. Di samping itu, hal tersebut didukung oleh bukti kultural yang menjelaskan bahwa mayoritas warga Desa Wadas sudah mewarisi ilmu bertani sejak dahulu sehingga permasalahan tersebut dapat diatasi secara mandiri. “Jika lahan mereka diambil dan mereka tidak bisa menggunakan ilmu yang selama ini diwariskan maka sumber pendapatan mereka akan hilang,” jelasnya.
Menanggapi keprihatinan yang diungkapkan warga Desa Wadas, Julian menambahkan bahwa ia menyayangkan tindakan aparat yang represif dalam menanggapi protes dari masyarakat penolak tambang. Julian mengkritisi pernyataan pemerintah yang menarasikan bahwa tindakan represif aparat kepolisian yang berupa penangkapan bertujuan untuk pengamanan. Hal itu dibantah oleh Julian, pasalnya dari 67 orang yang ditangkap 64 orang diantaranya merupakan warga binaan LBH Yogyakarta yang sama sekali tidak melakukan tindakan memukul, menendang, bahkan meneror seperti yang dituduhkan oleh aparat terkait.
Selain konflik antara warga Desa Wadas dengan aparat kepolisian, Alissa menuturkan bahwa proyek pembangunan Bendungan Bener ini juga berimbas kepada terpecahnya warga Desa Wadas menjadi dua kubu, yakni warga yang pro dan yang kontra terhadap penambangan. “Isu ini menimbulkan isu sosial baru soal kerukunan antar warga, beberapa warga yang pro dengan pembangunan mengaku mendapat social pressure secara verbal dari warga yang kontra terhadap pertambangan,” jelasnya.
Sebagai penutup, Herlambang melihat isu ini dari perspektif hukum. Menurutnya, isu Wadas merupakan bentuk dari kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal itu disebabkan karena aktivitas pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur dan melibatkan banyak pihak dengan ada tanda-tanda represifitas seperti, pemadaman listrik dan internet, kekerasan, dan penangkapan tanpa dasar. “Pembangunan tersebut bertujuan untuk kepentingan umum, tetapi nyatanya warga sekitar yang mati.” tegasnya.
Penulis: Putri Kusuma
Penyunting: Albertus Arioseto
Fotografer: Alika Bettyno