
©Bintang/Bal
Sabtu (29-1), Komunitas Bambu mengadakan forum Malam Buku (Mabuk) IV yang membedah buku Belenggu Ilmuwan & Pengetahuan: Dari Hindia Belanda hingga Orde Baru. Forum diskusi ini diadakan secara luring di Noted Coffee Yogyakarta dan secara daring melalui Zoom. Mabuk IV menghadirkan tiga pembicara, yakni Eko Prasetyo, Pendiri Rumah Pengetahuan Amartya; David Effendi, Dosen Ilmu Pemerintahan UMY; dan Inaya Rakhmani, Dosen Komunikasi UI. Forum ini membahas sejarah perkembangan ilmu pengetahuan era kolonial hingga kaitannya dengan masa kini.
Sesi pembukaan dimulai oleh Inaya yang menggambarkan buku karangan Andrew Goss memiliki relevansi tidak terbatas pada situasi sejarah. Ia menilai, banyak argumen Goss tetap relevan dengan situasi saat ini. Inaya menjelaskan bahwa pragmatisme ekonomi mendorong gagasan enlightenment, yakni pemahaman fenomena alam berdasarkan rasionalisme dan positivisme.
Inaya menambahkan, pragmatisme ekonomi dimulai dengan penjelajahan Eropa terhadap dunia baru yang dapat diolah kembali sehingga memberikan surplus. Pada pemerintahan Hindia Belanda, hasil-hasil penelitian lebih bermanfaat untuk pemilik modal atau negara daripada masyarakat umum. Pragmatisme ekonomi di bawah nasionalisme Soekarno ditandai dengan proses penyaluran pengetahuan yang tidak berjalan baik karena adanya politik nasionalisme, ras, maupun agama. Pada Era Orde Baru, ilmu pengetahuan pun lebih diperuntukkan untuk lingkar kecil keluarga cendana yang memperkaya oligarki. “Perhatian Goss dalam bukunya tertuju pada logika kontinuitas sejarah bahwa ilmu pengetahuan selalu bekerja di dalam konstruksi kekuasaan,” ujar Innaya.
Ia berharap ilmu pengetahuan dapat memperluas distribusi kekuasaan masyarakat umum daripada sekadar akomodasi kekuasaan saja. Menurut Innaya, peluang pragmatisme ekonomi selalu ada. Namun, adanya pragmatisme bukan berarti kita hanya diam. Dengan adanya akses pengetahuan, banyak orang sepemikiran dengan Goss,” tuturnya.
Sesi selanjutnya, David Effendi membahas perdebatan ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. David menyinggung gelagat mirip antara model sentralisasi sains dengan politik pada masa kolonial dan pascakolonial. Ia mencontohkan seperti penanganan wabah penyakit yang kurang berbasis pada temuan sains dan mementingkan aspek ekonomi. “Ada karakter yang sama walaupun aktornya berubah,” jelasnya.
David menekankan pada masa sebelum kemerdekaan, mayoritas elite pribumi yang tercerahkan tidak terlibat dalam upaya membangun kesadaran liberalisasi. Contohnya, politik etis merupakan kelanjutan kolonialisme dan birokrasinya. Ia menambahkan, barangkali terjadi gelagat jebakan administrasi serupa pada rezim pengetahuan pasca Orba. Ia berpendapat bahwa fase industri 4.0 lebih mengerikan karena kelompok intelektual hadir sebagai bagian mesin kapitalis. Di akhir sesinya, David juga menambahkan kesannya terhadap buku Goss, “Bukunya unik karena dapat dibaca dari bab mana saja, pintar menarasikan dan membagikan patahan-patahan sejarah, mudah diserap dengan cerita menarik.”
Sesi berikutnya diisi oleh Eko Prasetyo yang mengatakan bahwa buku ini menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Contohnya seperti mengapa kekuasaan dapat memengaruhi para ilmuwan, mengapa kekuasaan dapat mengendalikan kecerdasan, mengapa orang pintar di Indonesia bisa menjadi bodoh dan mengapa orang bodoh di Indonesia dapat menjadi pintar.
Menurut Eko, buku ini menjawab semua pertanyaan tersebut dengan cara-cara yang indah. “Buku ini menjelaskan tentang sejarah pengetahuan Hindia-Belanda, menjelaskan awal mula abad pencerahan, menjelaskan tentang bagaimana sisi lain para pejabat kolonial, dan memberi penjelasan tentang Kebun Raya Bogor yang disebut sebagai panggung penelitian raksasa,” tuturnya.
Ia juga memberi penjelasan lebih lanjut tentang sejarah pengetahuan. Pengetahuan Hindia-Belanda yang dimaksud Eko Prasetyo dalam buku ini, yakni dulu salah satu saingan agama adalah ilmu pengetahuan. Menurutnya, ini karena ilmu pengetahuan bisa menjelaskan secara rasional tentang asal usul manusia, seperti teori evolusi yang diungkapkan Charles Darwin.
Selanjutnya, Eko Prasetyo menambahkan bahwa pada awal abad pencerahan, kaum-kaum intelektual mencoba melihat kekayaan alam dengan ilmu botani serta ilmu biologi. Menurutnya, ilmu biologi adalah ilmu dasar untuk mengetahui siapa diri kita. Eko menjelaskan bahwa para pejabat kolonial tidak hanya sekadar menjabat, tetapi mereka juga melakukan penelitian. Gubernur Hindia-Belanda misalnya, selain menjabat ia juga meneliti tentang Gunung Merapi. Para pejabat ini sebenarnya adalah orang-orang yang mencoba untuk memiliki kecenderungan scientist. Menurut Eko, buku Goss memberi penjelasan kekuatan Hindia-Belanda tidak hanya menjajah suatu wilayah, tetapi juga menjadikannya sebagai wilayah pengetahuan. Selain itu, Goss juga mampu menjelaskan hubungan antara pengetahuan, negara, ilmuwan, dan masyarakat sipil.
Penulis: Herlina Rifa dan Aisyah Masruro
Penyunting: Sofiana Martha
Fotografer: Aditya Muhammad Bintang