Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KABARKILASREDAKSI

Belenggu Ilmuwan Indonesia di Bawah Kekuasaan

Februari 13, 2021

©Rika/Bal

Rabu (10-02), Suluh Pergerakan dan Komunitas Bambu mengadakan diskusi daring bertajuk “Ilmuwan, Perangai Ilmiah, dan Kekuasaan”. Diskusi didasarkan dari buku Andrew Goss berjudul Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan. Diskusi tersebut dihadiri oleh empat pembicara, dua anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Sudirman Nasir dan Evi Eliyanah; Dosen Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman; dan Pendiri Lapor COVID-19, Ahmad Arif. 

Sudirman Nasir menceritakan secara singkat buku Goss. Menurutnya, buku Goss berhasil menjelaskan sejarah biologi dan juga kondisi ilmuwan naturalis di Nusantara dari zaman kolonial hingga pasca-Kemerdekaan. Sudirman berpendapat karya Goss memberikan perspektif baru mengenai literatur sejarah Indonesia yang selama ini terlalu didominasi aspek militer dan politik. 

Sudirman menjelaskan bahwa, dalam bukunya, Goss menceritakan adanya ketergantungan dari para ilmuwan terhadap negara pada zaman kolonial. Ketergantungan yang ada menurut Goss membuat para ilmuwan gagal untuk melebur kepada masyarakat. Di  dalam konteks COVID-19, ilmuwan seringkali terabaikan oleh tokoh-tokoh lain yang tidak memiliki latar belakang ilmiah seperti selebriti. “Perangai ilmiah penting untuk dimiliki tidak hanya oleh ilmuwan, tetapi juga oleh media massa dan pemerintah yang seharusnya menjadi sekutu ilmuwan,” jelas Sudirman.

Evi Eliyanah menambahkan bahwa ilmuwan Indonesia, sepanjang sejarahnya, ditempatkan sebagai alat penyelenggara kekuasaan alih-alih menjadi agen pencerahan masyarakat. Evi menyoroti fenomena yang disebut Goss sebagai ilmuwan meja tulis. Istilah tersebut memiliki maksud bahwa budaya keilmuan di Indonesia sangat berpusat kepada budaya perkantoran yang bekerja secara administratif di bawah pemerintah. 

Meskipun begitu, Evi melihat bagaimana Goss gagal mengamati kondisi ilmuwan pribumi yang terbelenggu. Evi mengungkapkan adanya dominasi ilmuwan kulit putih terhadap ilmuwan pribumi dan ilmuwan wanita. Goss juga tidak menyebutkan peristiwa ilmuwan yang hilang karena proses politik di tahun 1965. “Buku ini menyadarkan kita bahwa masih banyak hal yang harus disampaikan mengenai sejarah ilmu pengetahuan di Indonesia,” tuturnya.

Herlambang Wiratraman di dalam pemaparannya membandingkan perjuangan ilmuwan Indonesia dengan usaha perkembangan ilmu hukum pada masa kolonial. Herlambang menceritakan bagaimana resistensi dari Cornelis van Vollenhoven dari Universitas Leiden ketika ditugaskan untuk mengembangkan sistem hukum di tanah jajahan. Sebab, pemberlakuan sistem hukum negara barat di tanah jajahan akan merusak tatanan masyarakat yang ada. “Karena situasi (tanah jajahan) tidak mudah dikontrol oleh pemerintah kolonial, dana yang mengalir ke Universitas Leiden dipindah ke Universitas Utrecht,” jelasnya.   

Sementara itu, Ahmad menyinggung mengenai pembelahan ilmuwan di Indonesia. Menurutnya, hal ini yang gagal untuk disampaikan Goss di dalam bukunya. Tidak semua ilmuwan di Indonesia tunduk kepada kekuasaan, melainkan ada segelintir yang mendedikasikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan dan masyarakat. Ahmad menggunakan rencana pembangunan pabrik semen di Kendeng sebagai bukti dari pembelahan tersebut. “Ada kelompok ilmuwan yang sangat kritis dan membela masyarakat atas dasar-dasar sains,” tuturnya.

Penulis: Renova Zidane Aurelio
Editor: Tariq Fitria Aziz
Fotografer: Dzikrika Rahmatu H

3
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM