
©Vasa/Bal
Satu per satu orang bergabung ke dalam forum diskusi daring melalui Zoom pada Selasa (05-05) siang hingga sore hari. Diskusi bertajuk “Respons Kultural Atas Pandemi” adalah diskusi keempat dari serial diskusi daring yang diselenggarakan Perkumpulan Eutenika. Diskusi tersebut membahas tentang sistem sosial dan budaya dalam menyintas ketidakpastian atas pandemi COVID-19 melalui penjelasan tiga pembicara. Mereka adalah Ngurah Suryawan, Sita Hidayah, dan Geger Riyanto. Diskusi ini juga diarahkan oleh Hatib Abdul Kadir, co-founder Perkumpulan Eutenika sebagai moderator.
Diskusi dimulai dengan pemaparan hasil penelitian oleh Ngurah Suryawan, perwakilan dari Warmadewa Research Centre tentang wacana kebudayaan Bali merespons pandemi. Ia menjelaskan pergerakan konstruksi ritual di Bali digunakan untuk menetralisasi kecemasan di masa pandemi. Menurutnya, ritual yang bersifat harmonis digunakan oleh pemegang otoritas untuk memberikan jaminan kepada masyarakat Bali. “Padahal ritual adalah hal yang kompleks,” jelas Ngurah. Baginya, ritual adalah cara masyarakat Bali merespons dan berhubungan dengan lingkungan sekitarnya
Hal yang menjadi sorotan Ngurah selanjutnya adalah kebijakan Pemprov Bali yang melibatkan desa adat dalam menanggulangi pandemi COVID-19. Hal ini dilakukan dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Gotong Royong Berbasis Desa Adat yang tersebar di seluruh Provinsi Bali. Menurutnya, dengan Satgas Desa Adat ini, ritual dan kebudayaan telah dimanfaatkan menjadi bagian dari panggung politik pemerintah. Meskipun gerakan komunitas penting, Ngurah menilai penggunaan desa adat sebagai garda terdepan dalam penanggulangan Covid-19 bukan tindakan tepat. Hal tersebut karena ada struktur desa dinas yang lebih berkompeten. “Ini bentuk ‘cuci tangan’ pemerintah dalam penanganan pandemi,” kritik Ngurah.
Menimpali Ngurah, Sita, peneliti dari Universitas Gadjah Mada, menjelaskan respons yang diberikan masyarakat Jawa, khususnya masyarakat DI Yogyakarta selama menghadapi pandemi ini. Masyarakat Jawa yang sudah sejak lama hidup berdampingan dengan bencana dinilai Sita lebih mapan ketika menghadapi pandemi COVID-19. Ini terlihat dari sikap masyarakat yang tidak bergantung pada pemerintah dan memiliki inisiatif sendiri untuk mencegah penyebaran virus. Menurut pengamatannya, pemerintah DIY tidak mengeluarkan kebijakan khusus terkait pencegahan penyebaran COVID-19. “Inisiatif masyarakat itu dapat dilihat sebagai upaya mereka melampaui dan mengatasi negara,” jelas Sita.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan pemaparan Geger, mahasiswa doktoral di Institut Antropologi Universitas Heidelberg, Jerman. Ia menjelaskan terkait perbedaan respons antara pemerintah Jerman dan Indonesia dalam menghadapi pandemi COVID-19. Sejak pandemi ini terjadi, tingkat kepercayaan masyarakat Jerman terhadap pemerintahnya mencapai titik tertinggi dalam 23 tahun terakhir. Menurutnya, kepercayaan itu muncul karena gestur ‘kejujuran brutal’, yakni keterbukaan pemerintah Jerman terkait kondisi persebaran COVID-19 kepada warganya. “Gestur seperti ini, meskipun keras dan pahit, membuat masyarakat Jerman memahami bahaya COVID-19,” kata Geger. Keterbukaan informasi inilah yang membuat Jerman cukup berhasil menangani pandemi di negaranya.
Situasi terbalik terjadi di Indonesia. Geger menyayangkan sikap kontraproduktif pemerintah pusat Indonesia dalam merespons munculnya COVID-19. Menurutnya, saat COVID-19 pertama kali masuk ke Indonesia, pemerintah cenderung menutup-nutupi data resmi persebarannya. Geger mencontohkan ini dengan perkataan Menteri Kesehatan yang terkesan meremehkan virus corona, dengan menyebutnya tidak lebih berbahaya dari flu biasa. Hal ini memperlihatkan pemerintah Indonesia yang lebih mementingkan stabilitas, alih-alih membeberkan data mengenai COVID-19 secara transparan. “Itu yang membuat pemikiran masyarakat tentang ancaman COVID-19 menjadi semakin liar,” tutur Geger.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Eutenika, Anton Novenanto, mengatakan terdapat tiga model pendekatan respons yang bisa dilakukan selama pandemi COVID-19. Model pendekatannya yakni; pertama, menjauhkan bahaya dari manusia; kedua, menjauhkan manusia dari bahaya; ketiga, hidup bersama bahaya. Menurutnya, dalam situasi sekarang, yang paling mungkin dilakukan adalah pendekatan model ketiga. Sebab, pendekatan ini dapat dijadikan perilaku yang terpola dalam kehidupan masyarakat Indonesia.“Dengan ini kita memiliki peluang untuk merawat harapan dan menyintas bersama ketidakpastian selama pandemi ini,” pungkas pria yang akrab disapa Nino itu.
Penulis: Anggriani Mahdianingsih
Penyunting: Harits Naufal Arrazie
Ilustrator: Upavasa