Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
NALARWAWASAN

Netralitas Internet dan Pertentangannya

Januari 24, 2018

©Rusmul/BAL

Netralitas Internet lahir sebagai jaminan bahwa setiap konten di internet bisa diakses oleh semua orang. Tidak adanya Netralitas Internet memberi celah bagi Internet Service Providers untuk melakukan diskriminasi terhadap konten-konten tersebut.

Pada Kamis 14 Desember 2017 lalu, pemerintah Amerika Serikat melalui Federal Communications Commission (FCC) mencabut aturan-aturan yang menjunjung prinsip “net neutrality” atau netralitas internet. Keputusan itu ditetapkan setelah pemungutan suara dari lima anggota dewan FCC yang dimenangkan oleh kubu oposisi dengan perolehan suara tiga banding dua. Keputusan tersebut mengakhiri prinsip netralitas internet yang ditetapkan oleh FCC di bawah pemerintahan Obama dua tahun sebelumnya.

Mengacu pada Undang-Undang Telekomunikasi tahun 1996 di Amerika Serikat, layanan telekomunikasi dibagi menjadi dua kategori yaitu jasa telekomunikasi yang diatur sebagai common carriers dan jasa informasi yang dianggap sebagai private carriers. Layanan common carriers wajib melayani semua konsumen dengan setara dan tanpa diskriminasi. Sementara itu, private carriers dapat memilih konsumen mana yang ingin mereka layani dan berapa harga yang mereka tawarkan.

Dalam aturan yang ditetapkan di tahun 2015, FCC mengklasifikasi ulang jaringan internet layaknya jaringan telepon sebagai common carrier. Dengan begitu penyedia jasa internet (Internet Service Providers/ ISP) tidak diperbolehkan untuk:

  1. Memblokir suatu konten
  2. Memperlambat pengiriman data berdasarkan konten
  3. Menerapkan sistem prioritisasi berbayar (paid prioritisation) dengan membuat “fast lane” atau jalur cepat bagi mereka yang ingin membayar lebih.

Peraturan ini menjunjung prinsip netralitas internet yang berarti setiap konten, laman, atau aplikasi di internet memiliki akses yang sama dalam jaringan. Dengan mengacu pada prinsip ini, ISP tidak dapat melakukan diskriminasi terhadap konten-konten tertentu seperti laman atau aplikasi yang diakses oleh pengguna.

Tanpa netralitas internet, ISP mendapat celah untuk membatasi akses para pengguna internet seperti dengan sengaja memblokir atau memperlambat akses mereka terhadap suatu konten. Menurut Hart dalam artikelnya “The Net Neutrality Debate in the United States” (2011), prinsip netralitas internet ada untuk memastikan bahwa setiap orang dapat memiliki akses ke infrastruktur komunikasi yang vital. Selain itu, prinsip ini mencegah penyalahgunaan monopoli yang dilakukan oleh ISP.

 

Perdebatan Netralitas Internet

Dalam penelitiannya yang berjudul “Comparative case studies in implementing net neutrality: a critical analysis of zero rating” (2016), Christopher Marsden mengidentifikasi dua bentuk diskriminasi yang dapat melanggar prinsip netralitas internet yaitu diskriminasi negatif dan diskriminasi positif. Diskriminasi negatif terjadi ketika aliran suatu konten di internet dihambat melalui pemblokiran akses atau pengurangan bandwidth. Sementara itu, diskriminasi positif berbentuk pada konten atau aplikasi yang diberikan perlakuan istimewa lebih dari yang lain. Misalnya dengan memberikan akses “fast lane” atau jalur cepat seperti jalan tol agar konten tersebut mengalir lebih cepat dibandingkan dengan konten atau aplikasi yang melewati jalur biasa atau “slow lane”. Pengguna internet dapat membayar lebih untuk menggunakan jalur cepat tersebut jika mereka tidak ingin jaringan mereka tersendat di jalur normal dan mengurangi kualitas internet mereka.

Tidak hanya itu, diskriminasi positif bisa dilakukan dengan memberlakukan sistem zero rating. Sistem zero rating biasanya terdapat dalam sistem pelayanan internet yang menggunakan batasan kuota atau data caps. Dalam sistem zero rating, sebuah konten atau aplikasi tidak akan terhitung pada kuota penggunaan internet atau tagihan bayaran, sehingga pengguna internet diberikan akses gratis terhadap konten atau aplikasi tersebut tanpa memakan kuota. Sistem ini dinamakan zero rating sebab penggunaan aplikasi atau pengunduhan konten tersebut dihitung nol.

Bagi beberapa pendukung netralitas internet, diskriminasi positif seperti ini melanggar prinsip tersebut. Dalam sistem “fast lane”, pengguna internet hanya akan dapat mengakses aplikasi atau konten berat seperti video atau game online dengan kualitas yang sama jika mereka membayar lebih. Seperti ditulis oleh Vox, hal ini terjadi di tahun 2013 kepada aplikasi streaming Netflix ketika akses streaming-nya mulai melambat. Perusahaan Comcast, selaku ISP, mengatakan bahwa lambatnya koneksi disebabkan oleh kemacetan yang terdapat pada jaringannya. Namun kemacetan ini dapat dihindari setelah Netflix melakukan negosiasi kepada Comcast dengan membayar lebih sehingga koneksi streaming Netflix kembali normal.

Sementara itu, praktik zero rating melanggar netralitas internet karena pemilik aplikasi atau konten tertentu bisa bekerja sama dengan ISP untuk memberikan akses terhadap aplikasi atau konten mereka secara cuma-cuma. Hal ini akan menguntungkan pemilik aplikasi yang cukup tersohor dan memiliki cukup modal untuk melakukan kerjasama ketimbang aplikasi baru. Sebab, pengguna internet akan lebih memilih menggunakan aplikasi atau konten yang gratis ketimbang harus menghabiskan kuota mereka untuk aplikasi yang baru.

Bisa dibayangkan jika aplikasi yang memiliki modal besar seperti Facebook, Twitter, atau Instagram bekerja sama dengan ISP untuk memberikan akses gratis kepada aplikasi mereka. Aplikasi-aplikasi startup yang mungkin memberikan inovasi baru akan kesulitan mencari pengguna. Jika sistem ini diterapkan sebelumnya, maka aplikasi seperti Facebook, Twitter, atau Instagram tidak akan bisa terkenal karena akses sudah didominasi oleh aplikasi-aplikasi besar dan terkenal sebelumnya seperti Myspace atau Friendster.

Istilah “netralitas internet” sendiri pertama kali dicetuskan oleh Tim Wu pada tahun 2003. Dalam artikelnya “Network Neutrality, Broadband Discrimination”, ia menjelaskan konsep netralitas internet yang berarti pelarangan terhadap ISP “untuk membatasi apa yang pengguna lakukan dengan akses internet” sehingga pengguna internet bebas untuk mempergunakan akses mereka untuk segala aplikasi atau konten. Namun, ia beranggapan bahwa ISP juga diberikan “kebebasan umum untuk mengatur konsumsi bandwidth”. Bagi Wu, jaringan internet bisa disebut netral jika kualitas layanan (quality of service) satu pengguna internet tidak terganggu oleh pengguna internet lainnya. Gangguan ini terjadi ketika seseorang menggunakan jaringan internet untuk aplikasi atau konten yang memakan banyak bandwidth seperti game online atau video sehingga menyebabkan kemacetan dalam jaringan.

Oleh karena itu, wajar bagi dia jika perusahaan diberikan peluang untuk mengelola bandwidth mereka untuk mencegah terjadinya kemacetan jaringan dan memberikan kualitas layanan yang setara kepada para pengguna. Misalnya, ISP dapat membagi jaringan mereka menjadi jalur khusus untuk aplikasi atau konten yang memakan bandwidth lebih besar dan jalur normal untuk aplikasi atau konten biasa seperti surel atau aplikasi chat seperti Facebook atau WhatsApp. Lalu, pengguna dapat membayar lebih untuk menggunakan akses jalur khusus jika ingin menggunakan aplikasi mereka secara optimal.

Pendapat Wu mungkin berseberangan dengan sebagian besar pendukung netralitas internet, sebab jika dia lebih memprioritaskan kesetaraan dalam kualitas layanan, pendukung netralitas internet memprioritaskan kesetaraan akses. Mereka mengajukan apa yang disebut sebagai End-to-End argument sebagai alternatif dari sistem yang memperbolehkan campur tangan pengelolaan bandwidth oleh ISP seperti yang dikemukakan oleh Wu.

Seperti dikutip oleh Hart (2011: 423), End-to-End argument berarti memilih untuk “memperbaiki seluruh sistem jaringan internet untuk mengatasi masalah kualitas layanan dibanding dengan memprioritaskan suatu paket data melebihi lainnya.” Bagi pendukung argumen ini, masalah tersendatnya bandwidth yang berdampak pada jeleknya kualitas layanan merupakan masalah jeleknya kualitas jaringan itu sendiri, bukan karena jenis aplikasi atau konten yang diakses oleh pengguna.

Di sisi lain, beberapa kelompok menentang netralitas internet karena alasan ekonomis. Contohnya adalah posisi yang diambil oleh Ajit Pai, ketua dewan FCC yang memutuskan untuk menghapus netralitas internet di Amerika Serikat tahun lalu. Seperti dilansir oleh The Verge, Ajit Pai berpendapat bahwa aturan netralitas internet berpotensi menghambat investasi ke infrastruktur internet. “Kurangnya investasi artinya berkurangnya jaringan generasi baru yang akan dibuat. Itu artinya akan mengurangi jumlah pekerjaan untuk membuat jaringan tersebut,” ujar Pai dalam pidatonya ketika pemungutan suara FCC pada 14 Desember yang lalu. Namun, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Free Press tentang investasi yang dilakukan oleh perusahaan ISP justru menunjukkan sebaliknya. Penelitian mereka menunjukkan bahwa semenjak netralitas internet ditetapkan di Amerika Serikat tahun 2015, investasi untuk infrastruktur internet malah meningkat.

 

Netralitas Internet di Negara Lain

Berdasarkan penelitian Marsden (2016), beberapa negara seperti Norwegia, Belanda, Brazil, India, dan Chile telah menerapkan aturan netralitas internet. Menariknya, negara berkembang seperti Brazil, India, dan Chile dengan tegas melarang diskriminasi positif berupa sistem zero rating demi prinsip netralitas internet. Ketiga negara tersebut menentang keputusan Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, untuk mendirikan akses internet gratis bernama Internet.org dan FreeBasics di tahun 2015. Alasan mereka menolak adalah karena akses gratis tersebut hanya sebatas beberapa aplikasi tertentu seperti Facebook. Di saat ketimpangan ekonomi yang tinggi, Internet.org dan FreeBasics hanya akan melanjutkan ketimpangan ini ke ranah akses internet. Menurut Ramos dalam Marsden (2016: 17), “jarak antara mereka yang bisa membayar data caps dan mereka yang tidak bisa membayarnya dapat menciptakan internet yang terdiri dari dua tingkat: ‘internet untuk orang kaya’, atau internet untuk mereka yang cukup mumpuni untuk membeli akses tak terbatas; dan ‘internet untuk orang miskin’, yang hanya diberikan akses ke sedikit aplikasi yang bisa didapatkan oleh mereka yang kurang mampu.”

Dalam prinsipnya, netralitas internet melarang segala bentuk diskriminasi terhadap suatu konten di internet, baik secara negatif (melalui penghambatan) ataupun positif (dengan memberikan akses khusus). Dengan begitu, semua pengguna internet diberikan akses yang bebas dan setara terhadap seluruh konten yang terdapat di Internet. Perdebatan mengenai netralitas internet sangat relevan bagi negara berkembang apalagi bagi Indonesia yang masih belum memiliki aturan mengenainya. Di saat beberapa ISP sudah menunjukkan oposisinya terhadap netralitas internet, ketiadaan aturan tersebut memberi peluang bagi para ISP untuk melakukan diskriminasi.

Penulis: Alnick Nathan
Editor: Unies Ananda Raja

 

Referensi

Wu, Tim (2003) “Network Neutrality, Broadband Discrimination.” Journal of Telecommunications and High Technology Law. 2: 141-176

Marsden, Christopher T (2016) “Comparative case studies in implementing net neutrality: a critical analysis of zero rating.” SCRIPTed.13(1): 1-39.

Jeffrey A. Hart (2011) “The Net Neutrality Debate in the United States.” Journal of Information Technology & Politics. 8(4): 418-443.

internetISPnetralitas
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

Mitos Terorisme Lingkungan

Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau

Proyek Kapitalisasi Kegilaan

Sematan Kontrasepsi yang Terpatri

Musik Tuli dalam Ragam Indrawi

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025
  • Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan Mahasiswa

    Mei 24, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM