Puluhan orang duduk membentuk lingkaran di Plaza lantai 1 Gedung C Fakultas Ilmu Budaya pada Rabu sore, (23/11). Diiringi rintik hujan, diskusi Selasar Aksara Sore (Selaras) digelar oleh Kementerian Kajian Strategi (Kastrat) LEM FIB UGM. Selaras mengambil tema “Gender in Tourism” dengan tujuan membuka pandangan baru peserta diskusi. “Setelah diskusi ini diharapkan kita mengetahui apakah ada perbedaan perlakuan terhadap wisatawan laki-laki dan perempuan atau motivasi perempuan untuk berwisata,” ujar Farid Mahya, Menteri Kastrat LEM FIB. Dua pembicara yang dihadirkan sebagai pemantik diskusi adalah Dr. Wiwik Sushartami M.A., dosen prodi Pariwisata FIB UGM dan Nadroh Nur Amalia, mahasiswa Pariwisata ’12.
Diskusi diawali oleh Wiwik yang menjelaskan pengertian gender. Menurutnya, gender merupakan peran sosial dan peran budaya yang diberikan kepada manusia berdasarkan ciri biologis antara laki-laki dengan perempuan. Gender dalam pariwisata sering dimaknai sama dengan jenis kelamin. Di tengah masyarakat, sering terdapat konstruksi bahwa laki-laki dan perempuan sudah memiliki peran masing-masing yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam industri pariwisata, kaum perempuan masih memiliki peran yang terbatas dan belum bisa terlibat dalam hal-hal besar seperti pengambilan keputusan. “Padahal seharusnya perempuan dapat dihargai sederajat dengan kaum laki-laki. Perempuan juga bisa melakukan peran penting seperti pengambilan keputusan yang selama ini didominasi oleh laki-laki,” tutur Wiwik. Keterlibatan perempuan harus bisa memberikan ruang bagi mereka untuk menunjukkan kemampuannya. Wiwik berharap perempuan dapat terlibat lebih aktif dalam pengambilan keputusan guna menguatkan posisi mereka dalam industri pariwisata. Menurutnya, isu ini penting untuk diangkat karena ketimpangan gender dalam industri pariwisata belum mendapat banyak sorotan.
Isu gender dalam pariwisata dapat dikaji dalam beberapa aspek. Aspek yang paling sering berkaitan adalah mobilitas dan sex tourism karena kedua aspek ini sering dijumpai. Aspek mobilitas yang diangkat dalam isu ini adalah kesulitan perempuan dalam mengakses dan berekspresi di industri pariwisata. Menurut Wiwik, terbatasnya akses kendaraan yang dapat menjamin keamanan perempuan akan mengakibatkan mereka kesulitan mendapatkan kesempatan untuk berwisata. “Kalau untuk keluar saja perempuan tidak bisa, bagaimana dia bisa menambah keberdayaannya?” ucap Wiwik.
Sedangkan permasalahan sex tourism banyak disebabkan oleh adanya ketimpangan ekonomi antara negara asal wisatawan dan negara tujuan wisata dilihat dari segi pendapatan. Adanya jurang perbedaan tersebut mengakibatkan wisatawan dari negara maju menganggap rendah para orang lokal. Orang lokal ini diibaratkan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Hal inilah yang kemudian memicu tindakan pelecehan, eksploitasi, human trafficking terhadap orang lokal. “Buruknya lagi, tindakan-tindakan ini cenderung didiamkan akibat ketakutan korban akan hilangnya pekerjaan mereka apabila berusaha melawan,” ujar Wiwik.
Penjelasan Wiwik didukung oleh pemaparan Amalia tentang hambatan yang dialami wisatawan perempuan dalam berwisata. Umumnya, keterlibatan perempuan dalam industri pariwisata hanya sebatas pada aktivitas membersihkan penginapan atau memasak. Akibatnya, keinginan perempuan untuk berwisata menjadi sulit terlaksana. Perempuan kerap dijadikan  sebagai subjek penjaga atau pengelola fasilitas pariwisata dan bukannya sebagai pelaku aktif. “Kaum perempuan kurang mendapatkan kesempatan untuk melakukan aktivitas yang sesuai keinginannya untuk berwisata,” jelas Amalia.
Menurut Dwi Kurnia Sandy, mahasiswa Departemen Arkeologi ’15 yang mengikuti diskusi, isu gender dalam pariwisata menarik karena isu ini belum banyak dikaji. Ia berharap isu ini tidak hanya dikaji secara akademis saja, melainkan juga membawa manfaat bagi dunia pariwisata Indonesia. “Mungkin adanya kajian ini dapat membuka akses bagi perempuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan diluar ruangan. Harapannya, minat perempuan untuk mengikuti wisata-wisata ekstrem seperti diving, climbing, atau mendaki gunung juga meningkat,” pungkasnya. [Monica Bening, Sandy Maulana]