Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...
Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir
SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan
Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...
Jurnalis Perempuan Selalu Rasakan Ketimpangan dan Kekerasan
Zine Media Perlawanan Alternatif Perempuan di Tengah Perayaan...
Proyek Kapitalisasi Kegilaan
Kelakar UGM, KKN Tak Boleh Kelar

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
APRESIASIKABAR

Romantika Jazz yang Tercampuraduk

Mei 23, 2014
©Ahmad.bal

©Ahmad.bal

Tepuk tangan riuh menyambut lelaki tambun berkacamata berkemeja putih yang muncul dari balik panggung. Sekilas ia tampak biasa saja. Mungkin jika orang yang tak kenal dia akan heran, apa yang spesial dari lelaki botak ini. Namun, saat ia melantunkan tembang yang dipopulerkan oleh Bobby Caldwell “Perfect Island Night”, diiringi dengan ritme yang mengalun lembut, sirna sudah keheranan itu. Ia seakan menunjukkan, betapa romantika dua sedjoli yang sedang menjalin kasih di sebuah pulau kecil saat tengah malam itu begitu indah.

Dialah Phill Perry, penyanyi R ‘n B yang sempat terkenal pada tahun 1990-an dengan lagunya “Call Me”, “Amazing Love”, dan “Forever” dari albumnya “The Heart of Man”. Lelaki asal Springfield, Illinois, Amerika yang telah genap berusia 62 tahun 12 Januari lalu itu masih sanggup menyanyikan nada-nada yang melompat secara radikal dalam jangkauan oktaf yang tinggi. Beberapa improvisasi yang disematkannya dalam lagu ini seakan menyegarkan keusangannya.Gebukan drum Wesley Ritenour mengiringi alunan lembut lagu yang dinyanyikannya. Nada-nada pentatonik yang dimainkan Otmaro Ruiz (keyboards), Benjamin Shepherd (bass) dan Fred Schreuders (gitar) melengkapi kesempurnaan suasana romantis malam itu.

Tak hanya Phil Perry yang menjadi tamu istimewa malam ini. Michael Paulo, Saksofonis asal Wahiawa, Hawaii juga menunjukkan kebolehannya memainkan nada yang meliuk-liuk, seakan tak pernah puas dengan gairah yang menggelora. Musisi yang pernah bergabung dengan grup Pop-Rock “Kalapana” ini memainkan saksofon dengan melodi-melodi yang menggoda, membuat siapa saja hanyut dalam syahdunya lagu ini.

Selesai menenggalamkan ribuan penonton dalam suasana romantis, Phil memanggil sahabatnya, Lee Ritenour untuk naik ke atas panggung. Gitaris yang termahsyur dengan aliran fushion jazz ini disambut tepuk tangan yang tak kalah meriah. Irama menghentak ala musik funk pun dimainkan. Pelan tapi pasti, teknikslat-copper Stepherd mengawali lagu instrumental “Night Rythm” dan disambut dengan cantik oleh hentakan drum Wesley. Entah tersihir oleh kekuatan macam apa, penonton menepukkan tangan, mengikuti irama yang mereka mainkan. Gitar Yamaha Silent yang dimainkan Lee mengalun lembut memainkan reffrain. Dua gitar lainnya, Gibson ES dan Les Paul bagai istri-istri yang harus diperlakukan secara adil, Lee memainkan ‘mereka’ secara bergantian dalam satu lagu.“Stone Flower” dan “Wes Bound”, lagu andalannya, tak lupa mereka mainkan. Masing-masing berunjuk gigi memainkan lompatan-lompatan nada dengan kecepatan tinggi.

Fushion Jazz memang berbeda dari musik jazz pada umumnya. Aliran ini banyak menggabungkan ritme funk maupun rock dalam komposisi musiknya. Aliran ini mulai dipopulerkan oleh Bitches Brew pada tahun 1969. Lee Ritenour termasuk yang mempopulerkan aliran ini dengan Band yang dibentuknya, Fourplay pada tahun 1991. Band ini terkenal dengan eksperimennya yang banyak menggunakan efek delay, overdrive, maupun yang lain di hampir semua alat musiknya.

Phil kembali bergabung ke atas panggung. Setelah sukses menebar angan-angan “Perfect Island Night”, kali ini ia menebar rayuan dengan mendendangkan “Malibu”. Dentingan Yamaha Silent yang dimainkan Phil menambah syahdu lagu ungkapan cinta kasih itu. Jika sebelumnya penonton disuguhi dengan irama-irama menghentak, kini alunan lembut khas jazz klasik lebih kental terasa. Di tengah-tengah lagu, Lee bermain solo dengan memakai teknik fingerstyle. Riuh tepuk tangan pun tak terhindarkan.

Tiba-tiba irama menghentak kembali hadir. Kali ini Lee mengawalinya dengan memainkan reffrain. Stepherd dan Wesley langsung menyambutnya. “Rio Funk” pun kembali menghentak Grha Sabha Pramana. Suara Flute yang dimainkan Michael Paulo melengkapi permainan mereka. Di sela-sela lagu, duet ayah-anak, Lee dan Wesley memukau penonton. Petikan gitar Lee beradu dengan gebukan drum Wesley, menghasilkan komposisi yang unik. Seakan tak mau kalah, Stepherd pun menunjukkan kebolehannya membetot bass 6-strings miliknya. Begitu juga Otmaro yang menonjolkan kecepatannya memainkan nada-nada pentatonik dengan jarak sepersekian detik.

“It Might Be You” pun kembali menghadirkan suasana romantis, seakan menunjukkan, betapa cinta tak pernah cukup diungkapkan dengan kata-kata. Lagu yang dipopulerkan oleh Stephen Bishop ini memang tiada duanya. Bagian nada lagu ini ditulis oleh Dave Grusin, sedangkan liriknya oleh Alan dan Marilyn Bargman. Lagu ini menjadi original soundtrack dari film Tootsie yang diproduksi tahun 1982.

Mengakhiri konser Sabtu (17/5) malam itu, “Is It You”, lagu ciptaan Lee Ritenour yang dikemas dalam album Rit (1981), menjadi lagu pamungkas. Ungkapan seseorang yang sedang kasmaran ini disambut tepuk tangan yang riuh. Pratikno, Rektor UGM dan Roy Suryo, Menteri Pemuda dan Olahraga terlihat menikmati lantunan merdu Phil yang tipis melengking. Economics Jazz, untuk kesembilan kalinya, memuaskan para penikmat Jazz. Selain menghadirkan Lee Ritenour dan kawan-kawannya, acara yang diadakan oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) ini juga menghadirkan Monita dan RAN untuk menjadi band pembuka.

Selesai lagu terakhir, Lee berpamitan di tengah para penonton yang berdiri, bertepuktangan, dan berteriak-teriak memanggil namanya. Lampu dipadamkan. Mereka beranjak dari panggung sambil mengusap peluh. Tiba-tiba terdengar teriakan penonton, “Once more… Once more…” seakan tak rela malam itu berakhir begitu saja.[Ahmad Syarifudin]

 

 

0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Awab Ajar Awam, Gunakan Daya dari Surya

Resistensi atas Trauma Korban Kekerasan ‘65

Belasut Puja-Puji Palsu Tubuh Perempuan dalam Kanvas

Pusparagam Perjuangan dalam Temukan Ruang Aman

Jalin Merapi Tak Pernah Ingkar Janji

Sastra untuk Semua lewat Sastra Suara

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

    Mei 4, 2025
  • Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau

    Mei 4, 2025
  • Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender dalam Sejarah Indonesia

    Mei 3, 2025
  • Masyarakat Pesisir Tuban Kian Terpinggir

    April 30, 2025
  • SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

    April 28, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM