Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kota Batik yang Tenggelam
Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal
Membumikan Ilmu Bumi
Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal
Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan...
Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat
Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...
LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...
Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...
Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
WAWASAN

Membumikan Ilmu Bumi

November 21, 2025

©Zain/Bal

Selama bumi terus berputar, ia hadir bersama manusia dan alam semesta. Didorong keingintahuannya, manusia menemukan pengetahuan yang berbeda untuk memahami bumi. Berlabuh di wilayah kepulauan, pengetahuan itu diterjemahkan ulang. 

Pada abad ke-17, Bangsa Eropa melakukan misi eksplorasi dan kolonisasi ke berbagai wilayah dunia. Dalam misi tersebut, pengetahuan saintifik turut menyebar luas sebagai epistemologi yang dominan dalam sosio-kultur bangsa dan negara. Akibatnya, pengetahuan yang diproduksi berdasarkan epistemologi dan geopolitik pengetahuan selain  dari mereka dianggap “inferior”, sementara pengetahuan saintifik yang mereka hasilkan–dari para ilmuwan Eropa Barat–dianggap “superior” (Mas’oed 2024).

Pengetahuan saintifik yang bersandar pada positivisme, memandang bahwa pernyataan saintifik hanya bisa diperoleh melalui bukti empiris dan metode saintifik (Mas’oed 2024). Kesahihan epistemologi tersebutlah yang menjadi alat legitimasi bagi bangsa kolonial berada di posisi superior. Maka tidak heran jika dominasi kolonial masih terpampang di belahan dunia non-barat sampai saat ini.

Bentuk superior ini bisa dilihat dalam geologi, salah satu bidang pengetahuan yang didominasi oleh pengetahuan saintifik kolonial. Lewat Charles Lyell dalam ketiga volume Principles of Geology-nya, terbentuklah dasar bagi geologi menjadi saintifik. Setelahnya, geologi diakui sebagai sains yang meliputi pengetahuan tentang bumi dengan penggabungan beberapa disiplin sains–fisika, kimia, geografi, dan lainnya–dan bisa jadi pula, melibatkan seni dan humaniora (Zalasiewicz 2018). 

Padahal kenyataannya, bidang yang mempelajari bumi di luar geologi dan bersifat non-saintifik turut andil memproduksi cara pandang dan kebergunaan untuk menyikapi alam bumi. Pengetahuan tentang bumi yang mencakup berbagai bidang, baik itu saintifik seperti geologi maupun non-saintifik pada pengetahuan lokal membimbing manusia untuk mencerna fakta dan nilai keberadaan bumi. Inilah yang selanjutnya disebut ilmu bumi. Dengan dominasi pengetahuan saintifik terhadap ilmu bumi melalui geologi, hal ini justru menihilkan dan mendiskreditkan pengetahuan lokal yang sudah ada sebelum kolonial datang. Maka dari itu, dominasi ini perlu dipertimbangkan kembali melalui penelaahan epistemologi.

Selubung Kolonialisme 

Konsep kolonialisme merujuk pada proses dominasi satu kelompok (atau negara) terhadap kelompok lain (Mas’oed, 2024). Namun, dominasi tersebut bukanlah sesuatu proses yang mulus tanpa pertentangan. Masyarakat lokal seiring berjalannya waktu menjadi sadar akan buruknya kolonialisme. Maka tak heran muncul berbagai perlawanan dan penolakan kolonialisme, khususnya persoalan epistemik. Gerakan perlawanan ini disebut dekolonisasi yang menjadi anti-tesis kolonialisme dan kolonisasi. Walter D. Mignolo dan Catherine E. Walsh (2018) mendefinisikannya sebagai sebuah respons berupa perlawanan oleh subjek yang terjajah terhadap dimensi kehidupan yang sudah dan potensial dipengaruhi kekuasaan kolonial. Subjek yang sejak awal dikondisikan tunduk pada pengaruh kolonial atas nama peradaban, melalui dekolonisasi, dipantik kesadarannya sebagai subjek yang eksis.  

Dekolonisasi berupaya untuk membentuk perspektif dan posisi yang berbeda dari pengetahuan saintifik kolonial secara lebih terbuka. Artinya, ia berusaha untuk mengaktualisasikan pengetahuan yang–berbeda dari dominasi kolonial–terbukti membawa kemapanan bagi subjek terjajah. Hal ini ditujukan untuk menggantikan pengetahuan saintifik kolonial sebagai satu-satunya kerangka dan kemungkinan terhadap pengetahuan (Mas’oed 2024). 

Selama ini, bangsa-bangsa di wilayah bekas jajahan Eropa–seperti Indonesia–masih berpusat pada dekolonisasi politik legal-formal semata, tanpa diikuti dengan kebebasan dalam dimensi lain. Pengakuan kedaulatan sebagai negara yang terbebas dari penjajahan masih meninggalkan sisa-sisa dominasi kolonial. Buktinya, kegiatan produktif dalam bidang ekonomi dan kebudayaan, termasuk produksi pengetahuan, masih sangat jelas sifat Erosentrisnya (Mas’oed 2024).

Namun, baru-baru ini semangat dekolonisasi telah muncul dalam beberapa bidang keilmuan di Indonesia, salah satunya pada ilmu bumi. Hal ini karena  Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan sekitar 17.000 pulau yang membentang dari Sumatera sampai Papua Barat—surga bagi biodiversitas hayati dan keanekaragaman geologis—dan memiliki beragam pengetahuan lokal yang termarginalisasi oleh pengetahuan saintifik. Pengetahuan lokal dianggap kurang penting karena bersifat pengalaman kontekstual dan diwujudkan dalam praktik sehari-hari (Kurnio dkk. 2021). Padahal, pengetahuan lokal tersebut menggambarkan cara pandang masyarakat terhadap dunia dan bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. 

Peran Pengetahuan Lokal

Pengetahuan lokal memiliki peran yang cukup signifikan dalam perkembangan geologi modern. Hal ini dijelaskan oleh Bobbette (2023) tentang pengetahuan lokal yang menjadi basis tercetusnya Geopoetics. Geopoetics menarasikan metode spekulatif geologi yang berupaya menjelaskan keterhubungan antara alam semesta yang luas (cosmic) dengan yang terdekat dan terdalam di muka bumi (volcanoes). Istilah ini dicetuskan oleh Johannes Umbgrove, geolog Barat yang menamainya sebagai produk tradisi spiritual Jawa yang memadukan observasi gunung berapi, Islam, dan Hinduisme. Pengetahuan lokal melalui Kejawen memahami segalanya terkomunikasi, dalam konteks ini adalah tubuh manusia dan bumi: keduanya menjadi medium yang saling terhubung. Dalam Hindu, Upanishads memberikan pemahaman bahwa alam semesta terhubung dengan kesadaran. Dari sini, Umbgrove menyimpulkan adanya bencana alam dari letusan gunung berapi secara natural menyebabkan kehancuran sekaligus kelahiran kembali ekosistem bumi dan alam semesta. Umbgrove tidak membuat separasi ketat antara yang saintifik dan spiritual. Konsep kebumian ini pula yang berpengaruh dalam pembingkaian revolusi lempeng tektonik pada geologi kontemporer (Bobbette 2023).

Bagi Bobbette, geopoetics mentransformasikan pemahaman modern kebumian. Esensinya melampaui corak antroposentris menuju geos, menyelami bumi lebih dalam dan kaitannya ke luar angkasa. Geologi tidak lagi diartikan sebagai produk sains Barat yang terkekang akan paradigmanya sendiri. Dalam ilmu bumi, geologi dan geopoetics menjadi wujud titik temu pengetahuan saintifik dan pengetahuan lokal tentang relasi manusia dan bumi (Bobbette 2023). 

Selain itu, masyarakat lokal juga memiliki pengetahuan mengenai mitigasi bencana. Masyarakat Indonesia yang mengetahui dan menerapkan pengetahuan lokal melalui pewarisan nenek moyang lebih siap secara mental dan fisik ketika mengatasi bahaya. Mekanisme ketahanan yang terkait dengan pengetahuan lokal telah menjadi faktor penting dalam penyelamatan nyawa di Indonesia dari dahulu hingga sekarang. Pengetahuan semacam ini tentunya berguna bagi negara-negara yang rentan bencana gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan tanah longsor (Kurnio dkk.2021).

Perlu dipahami bahwa pengetahuan lokal tersebut berangkat dari kebutuhan masyarakat Indonesia dalam beradaptasi dengan kondisi alamnya.  Hal ini terlihat dari pengetahuan lokal ihwal praktik pembangunan konstruksi rumah dalam rangka memitigasi bencana seperti: membuat daerah penyangga yang lebih luas dari lahan yang digunakan dengan perbandingan 3:1; serambi untuk mencegah erosi dan longsor serta penggunaan batu untuk memperkuatnya; berdekatan dengan hutan yang berfungsi berkenaan dengan klimatologi, hidrologi, dan ekologi; pengaturan ruang yang secara alami mengalirkan air masuk ke sungai dan persawahan; rumah adat dibangun menggunakan kayu dengan gaya konstruksi yang mencegah kerusakan saat terjadi gempa bumi (Kurnio dkk. 2021).

Praktik pembangunan seperti itu bisa dilihat dari beberapa rumah adat yang dipertahankan oleh masyarakat lokal seperti Rumah Gadang di Sumatra, Rumah Joglo di Jawa, rumah tradisional Bali, rumah Wale Minahasa di Sulawesi, dan Rumah Kaki Seribu di Papua. Selama berabad-abad, masyarakat Indonesia telah berhasil menanggapi bahaya tsunami dan gempa bumi melalui adaptasi konstruksi rumah mereka. Maka dari itu,  pengakuan bersama dan integrasi pengetahuan lokal dengan pengetahuan saintifik akan meningkatkan efektivitas keadaptasian (Kurnio dkk. 2021).  

Membangun Paradigma Geografi Kritis

Dari pemaparan di atas, pengetahuan lokal menunjukkan kemapanan yang tidak kalah berguna dengan pengetahuan saintifik. Oleh sebab itu, dekolonisasi dan pengejawantahan pengetahuan lokal sangat diperlukan. Selain upaya legal-formal, diperlukan suatu metode yang mewadahi dekolonisasi ilmu bumi yang memadukan orientasi kehidupan alam dan manusia, mikro dan makro, serta saintifik dan kultural. Metode itu datang dari paradigma ’Geografi Kritis’ dalam disiplin geografi. Geografi kritis adalah kumpulan ide dan praktik melalui pendekatan interdisipliner yang bertujuan membangun narasi emansipatoris dalam dimensi penelitian ilmiah dan politik (Mahaswa dkk. 2025).

Tujuan utama geografi kritis adalah menantang berbagai bentuk kekuasaan politis dan ekonomis yang berada di dalam ruang. Paradigma ini menganjurkan suatu pengetahuan yang mendobrak batas antara dua poros besar dalam disiplin geografi: geografi fisik dan geografi sosial. Sementara itu, kritis bermakna melampaui wacana yang mapan, upaya dekonstruksi untuk membangun konsep baru, serta membuka potensi inklusivitas geografi untuk menjembatani lintas disiplin keilmuan (Mahaswa dkk. 2025).

Geografi kritis beriringan dengan dekolonisasi pengetahuan yang menempatkan resistensi sebagai titik tolak epistemologi. Kehadiran geografi kritis membantu upaya emansipatoris pada bidang geografi–dalam cakupan lebih luas termasuk geologi dan ilmu bumi–yang selama ini terkekang oleh orientasi teknokratisasi ilmu, politisasi kekuasaan, sampai kapitalisme. Sains yang membebaskan menjadi titik pijak emansipatoris. Praktisnya, seorang subjek (geograf) perlu memiliki integritas ilmiah dan menolak tindakan manipulatif (Mahaswa dkk. 2025). Dalam konteks ilmu bumi, subjek tidak hanya seorang geograf, tetapi juga geolog, ilmuwan kebumian, masyarakat adat, insinyur, aktivis lingkungan, sampai seniman alam. 

Akhir kalam, dekolonisasi perlu dilakukan untuk meruntuhkan dominasi sains. Upayanya tidak hanya sebatas politik legal-formal, tetapi bisa dengan membangun dan mangarus utamakan paradigma geografi kritis. Namun, dekolonisasi ilmu bumi bukan berarti memosisikan pengetahuan lokal di atas pengetahuan saintifik. Sebaliknya, dekolonisasi ilmu bumi meletakkan keduanya—pengetahuan lokal dan pengetahuan saintifik—secara setara dalam posisi epistemologi. Contohnya seperti yang dijelaskan Jessica Mercer dkk. (2007), bahwa pendekatan interdisipliner diperlukan dalam konteks pengurangan risiko bencana dengan menggunakan pengetahuan sains Barat dan pengetahuan masyarakat adat secara maksimal sesuai dengan budaya wilayah geografis. Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 yang menjadi hasil kesepakatan konferensi ketiga PBB pun menggarisbawahi pentingnya integrasi antara pengetahuan saintifik modern dan pengetahuan lokal dan praktiknya terhadap penilaian risiko bencana (Kurnio dkk. 2021). Dengan demikian, pengetahuan lokal dan pengetahuan saintifik memiliki peran signifikan dalam mengidentifikasi bumi secara natural maupun sosial, serta memberikan pelajaran bagi manusia untuk memahami dan memaknai tempat tinggalnya.

Penulis: Ilham Perdana Lazuardhi
Penyunting: Achmad Zainuddin
Ilustrator: Achmad Zainuddin

Daftar Pustaka

Bobbette, Adam. 2023. The Pulse of the earth: political geology in Java. Duke University Press.

Kurnio, Hananto, Alexander Fekete, Farhat Naz, Celia Norf, dan Robert JĂŒpner. 2021. “Resilience Learning and Indigenous Knowledge of Earthquake Risk in Indonesia.” International Journal of Disaster Risk Reduction 62 (August): 102423. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2021.102423. 

Mahaswa, Rangga Kala, Luthfi Baihaqi Riziq, dan Al Irfani Thariq Azhar. 2025. “Menelisik Makna ‘Kritis’ Dalam Geografi Kritis.” Majalah Geografi Indonesia 39 (1): 29. https://doi.org/10.22146/mgi.99788. 

Mas’oed, Mohtar. 2024. IIS: Research Monograph: Dekolonisasi Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Institute of International Studies UGM.

Mercer, Jessica, Dominey-Howes, Dale, Kelman, Ilan, dan Lloyd, Kate. 2007. “The Potential for Combining Indigenous and Western Knowledge in Reducing Vulnerability to Environmental Hazards in Small Island Developing States.” Environmental Hazards 7 (4): 245 – 256. https://doi.org/10.1016/j.envhaz.2006.11.001. 

Mignolo, Walter. dan Catherine Walsh. 2018. On Decoloniality: concepts, analytics, praxis. Duke University Press.

Zalasiewicz, Jan. 2018. Geology: A Very Short Introduction. Oxford University Press.

 

2
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Kota Batik yang Tenggelam

Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal

Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat

Konservasi yang Tak Manusiawi

Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

Mitos Terorisme Lingkungan

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kota Batik yang Tenggelam

    November 21, 2025
  • Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal

    November 21, 2025
  • Membumikan Ilmu Bumi

    November 21, 2025
  • Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal

    November 20, 2025
  • Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan Hanya Dibebani Tanpa Penghargaan

    November 20, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM