Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Kota Batik yang Tenggelam
Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal
Membumikan Ilmu Bumi
Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal
Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan...
Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat
Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...
LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...
Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...
Diskusi Buku dan Budaya, Soroti Peran Sastra Melawan...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
WAWASAN

Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal

November 20, 2025

©Niswah/Bal

“Karena banyak pangan lokal kami yang hilang, karena diseragamkan, terus anak-anak yang sekarang sudah terbiasa dengan makan nasi” -Mama Aleta, aktivis lingkungan dari Mollo, Timor Tengah Selatan

Wacana ketahanan pangan nasional telah lama diimpikan Presiden Prabowo sebagai salah satu target nasional yang harus dicapai oleh negara. Dalam visi-misinya untuk pemilu 2024, intensifikasi dan ekstensifikasi lahan persawahan  menjadi salah satu dari delapan program “hasil terbaik cepat” untuk memenuhi ambisinya. “Saya telah mencanangkan Indonesia harus swasembada pangan, yang sesingkat-singkatnya,” ujar Prabowo dengan lantang dalam pidato pelantikannya. 

Janji politik ini diwujudkan melalui pencetakan lahan sawah baru secara masif yang ditargetkan akan mencapai luas 480 ribu hektare pada akhir tahun 2026. Kepala Badan Pangan Nasional sekaligus Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, memproyeksikan produktivitas beras nasional tanpa impor pada tahun 2025 meningkat pesat. Amran menyatakan jumlah produksi beras tahun ini berkisar 34,77 juta ton atau naik sekitar 4,1 juta ton dari tahun sebelumnya. Untuk memenuhi wacana swasembada pangan nasional sesingkatnya, Prabowo menetapkan tiga wilayah prioritas serta sepuluh wilayah pengembangan lebih lanjut dalam kebijakan pangannya, beberapa di antaranya Papua Selatan dan Nusa Tenggara Timur (NTT) (Nugraheni 2025).

Merauke, salah satu kabupaten di Papua Selatan, dinilai memiliki kondisi geografis yang cocok untuk perluasan persawahan demi mendukung visi swasembada pangan negara. Akan tetapi, berbagai upaya pengembangan persawahan di Merauke sebenarnya berulang kali gagal sebab sebagian besar wilayah tersebut memiliki jenis tanah gambut yang tidak terlalu cocok dijadikan area persawahan (Rasman dkk. 2023). Padahal, pohon sagu, yang menjadi sumber pangan utama masyarakat adat Marind di Merauke, lebih cocok untuk ditanam di lahan gambut (Elisabeth, 2020). 

Selain gagal, proyek upaya cetak sawah di Merauke juga telah menyebabkan kerusakan ekologis serta sosiologis terhadap wilayah sekitarnya (Elisabeth dan Lahay 2024). Ekspansi persawahan di Merauke telah banyak merusak wilayah hutan adat sebagai sumber pangan utama masyarakat Marind (Elisabeth dan Wahyuni 2025). Praktik semacam ini merupakan salah satu contoh praktis dari penyeragaman pangan yang diwariskan sejak masa kolonial di Indonesia.

Genealogi Kebijakan Pangan di Indonesia

Kebijakan pangan beras-sentris sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak penjajahan Belanda. Pada tahun 1911, pemerintahan kolonial menerapkan program modernisasi di Kepulauan Mentawai dengan membuka lahan-lahan baru untuk dijadikan persawahan. Pemerintah kolonial menganggap karakteristik sagu dan umbi-umbian lokal, seperti talas, yang membutuhkan tenaga lebih sedikit selama penanaman sebagai bentuk kemalasan masyarakat Mentawai. Pembukaan persawahan juga didukung oleh Friedrich Börger, seorang misionaris Jerman, yang berpikir bahwa penanaman padi yang membutuhkan lebih banyak usaha dapat mengajarkan nilai-nilai kerja keras sebagai upaya menyebarkan peradaban (Arif dkk. 2023). 

Selain di Mentawai, kebijakan serupa diterapkan oleh Belanda di Manggarai, NTT dengan dukungan gereja dan juga Raja Manggarai. Para penjajah hanya memandang persawahan sebagai bentuk agrikultur yang lebih modern dibandingkan perladangan mendorong Raja Manggarai untuk mengirimkan petani-petani lokal ke Jawa agar mendapatkan pengetahuan bersawah lewat dukungan Belanda. Kebijakan ini sangat berdampak dengan pola makan di Manggarai yang awalnya hanya memakan nasi pada acara-acara tertentu menjadi kebutuhan pangan pokok sehari-hari (Arif dkk. 2023).

Praktik berasisasi warisan penjajahan tetap berlanjut hingga masa-masa setelah Indonesia meraih kemerdekaan. Krisis ekonomi yang terjadi pada masa transisi pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru mendorong Soeharto untuk berfokus pada ketahanan pangan sebagai kunci utama stabilitas sosial, ekonomi, dan politik nasional. Pemulihan ketersediaan pangan menjadi prioritas utama pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru (Abisono 2022). Hal ini terlihat dari disahkannya Rencana Pembangunan Lima Tahun 1969–1974 yang berfokus pada pembangunan infrastruktur dan sektor pertanian (Ardanareswari 2020). 

Dalam upaya meningkatkan produktivitas beras nasional, Soeharto melakukan modernisasi sektor pertanian dengan menjalankan Revolusi Hijau, sesuai dengan kebijakan pangan global kala itu. Penerapan Revolusi Hijau di Indonesia diharapkan dapat melepaskan ketergantungan terhadap impor beras. Kebijakan ini telah berhasil mencapai beberapa tujuan, termasuk berhasil meraih status swasembada beras pada 1984. Meskipun demikian, revolusi ini juga memiliki beberapa implikasi berupa transformasi secara masif dalam sektor pertanian dan pola makan masyarakat Indonesia (Eddy 2017).

Mereka yang secara tradisional tidak mengonsumsi beras menjadi bergantung pada budidaya tanaman padi (Wakanno 2025). Pergeseran bahan pangan pokok non-beras menjadi semakin meningkat dengan diterapkannya program transmigrasi penduduk Pulau Jawa ke luar Jawa (Purnamasari 2024). Hal ini terbukti dengan munculnya Keppres No. 82/995 mengenai pengembangan lahan gambut seluas 1,000,000 hektar menjadi persawahan di Kalimantan Tengah (Walhi 2020), menunjukkan bahwa negara cenderung abai terhadap ekologi dan kultur kelompok masyarakat lokal. Keabaian  ini menciptakan penjajahan yang mendikte suatu masyarakat dalam memproduksi dan mengkonsumsi pangan.

Gastrokolonialisme dan Kerentanan Pangan

Persoalan soal penyeragaman pangan oleh Pemerintah Kolonial yang diwariskan hingga kini merupakan wujud dari apa yang disebut Gastrokolonialisme. Secara definisi, gastrokolonialisme merupakan salah satu bentuk penjajahan yang menggeser  konsumsi pangan masyarakat lokal melalui dominasi sistem pangan lokal. Bentuk penjajahan ini mengubah makanan sebagai kekuatan yang secara halus menciptakan dominasi atas kebutuhan dasar masyarakat terjajah.

Namun, gastrokolonialisme sejatinya bersifat multidimensional, tidak hanya terbatas pada isu pangan. Praktik ini sering kali didasari oleh pemikiran superioritas rasial dan kultural yang terpusat pada sudut pandang kolonialis. Oleh sebab itulah, praktik penjajahan ini tidak jarang dijalankan melalui penggusuran masyarakat adat untuk merampas tanah mereka dan penjajahan pemukiman (Chao 2021). Pada akhirnya, gastrokolonialisme juga bersifat destruktif terhadap masyarakat dan ekologi di sekitar.

Konsep gastrokolonialisme pertama kali diperkenalkan oleh seorang aktivis dan peneliti Guam, Craig Santos Perez (2013), dalam ulasan buku antologi esai mengenai perubahan pola pangan masyarakat lokal Hawaiʻi akibat meningkatnya impor pangan yang telah dimodifikasi secara genetik oleh perusahaan multinasional di kepulauan tersebut. Pola penjajahan pangan  yang terjadi di Kepulauan Hawaiʻi pun telah terjadi di berbagai wilayah Indonesia, terkhususnya daerah kepulauan Indonesia Timur.

Di beberapa masyarakat lokal Indonesia, beras yang awalnya bukanlah sumber pangan utama, lambat laun menjadi sumber bahan pangan utama mereka. Di Kepulauan Mentawai yang secara tradisional mengonsumsi sagu dan talas, telah terjadi pergeseran dari sagu ke beras sebagai bahan pangan pokok yang lebih digemari oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh luas pertanian pohon sagu yang semakin menurun dibandingkan luas persawahan (Salamanang dkk. 2022). Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Mentawai tahun 2018, terdapat total seluas ​2.487 hektar luas tanam padi di Kepulauan Mentawai (BPS, 2018).

Pergeseran posisi sagu sebagai bahan pangan pokok juga terjadi pada masyarakat Maluku yang disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat pendatang. Pembangunan pertanian di Maluku, alih-alih mengakomodasi kebutuhan pangan penduduk lokal, justru lebih mengakomodasi kebutuhan pangan para pendatang yang terbiasa mengonsumsi beras. Tidak hanya melalui pembukaan lahan-lahan baru, tidak sedikit pula persawahan di Maluku merupakan hasil alih fungsi lahan perkebunan sagu. Pergeseran ini mengakibatkan Maluku menjadi rentan terhadap kekurangan pangan lantaran faktor geografi yang kurang mendukung budidaya tanaman padi (Naldi dan Chastine 2024).

Pemberian bantuan pasokan beras oleh pemerintah untuk provinsi dengan budaya pangan pokok non-beras semakin meningkatkan ketergantungan masyarakat terhadap beras. Salah satu provinsi yang memiliki tingkat kerentanan pangan tertinggi di Indonesia adalah Provinsi NTT. Iklim NTT yang rawan akan dampak kekeringan selama musim El Nino menyebabkan tingkat produktivitas beras terhambat lantaran gagalnya musim panen. Laporan BPS pada 2024 menyebutkan tingkat produktivitas beras NTT mengalami defisit sebesar 414,576 ton, padahal kebutuhannya sebesar ​​653,800 ton per tahun. Kondisi ini jelas membuat NTT sangat bergantung terhadap bantuan pasokan beras dari luar provinsi. Ketergantungan akan bantuan ini telah memudarkan budaya keberagaman pangan di NTT yang sebelumnya menjadikan jagung, sorghum, dan jewawut sebagai pasokan pangan pokok pendukung beras (Arif dan Herin, 2023; Arif, 2021).

Pangan sebagai Identitas Budaya

Persoalan pergeseran pangan di Indonesia bukan hanya mengenai ketahanan pangan lokal, namun juga persoalan identitas budaya yang telah melekat dengan pangan lokal itu sendiri. Di wilayah Indonesia Timur, seperti Papua dan Sulawesi, sagu tidak hanya sebagai pangan utama, melainkan juga berfungsi dalam pembentukan identitas budaya tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun. Sagu telah dibudidayakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Sentani di Provinsi Papua sejak masa prasejarah. Beberapa pecahan gerabah telah ditemukan di situs ekskavasi Yomokho pada tahun 2019. Artefak pecahan gerabah tersebut diperkirakan digunakan sebagai alat mengolah sagu menjadi papeda (Putri dan Suroto 2023).

Tidak hanya sebagai sumber pangan, sagu merupakan tanaman penting dalam kepercayaan lokal masyarakat Sentani. Pohon sagu dipercaya berasal dari hasil pernikahan dewa dan dewi sagu—Dewi Fi meia dan Dewa Fi klakhoy. Mitologi ini melahirkan nilai praktis tradisional yang menekankan kewajiban manusia dalam pelestarian lingkungan di sekitarnya. Kerangka nilai tradisional ini digunakan sebagai acuan utama pelestarian hutan sagu yang tumbuh secara luas di daerah sekitar Danau Sentani yang menjadi sumber manfaat yang besar bagi kehidupan manusia (Ruhulessin 2020; Putri dan Suroto 2023).

Selain masyarakat Danau Sentani, terdapat kepercayaan serupa mengenai kesakralan sagu di budaya masyarakat Tolaki di Tenggara. Masyarakat Tolaki mengenal aturan o’wau yang meregulasi budidaya sagu seperti pelarangan penanaman sagu di rawa-rawa yang telah ditumbuhi oleh pohon sagu (Melamba 2014). Nilai-nilai tradisional masyarakat adat Sentani dan Tolaki ini menunjukkan eksistensi praktik budidaya pangan berkelanjutan yang didasarkan oleh pengetahuan lokal mengenai keseimbangan pemanfaatan alam oleh manusia dengan kelestarian ekologinya. 

Tanaman umbi-umbian juga merupakan salah satu bahan pangan pokok tradisional yang memiliki peran ritual dan simbolik dalam beberapa kebudayaan lokal, seperti masyarakat adat Cireundeu dan Kepulauan Mentawai. Kondisi geografis desa adat Cireundeu yang kurang mendukung penanaman padi menjadikan tanaman singkong sebagai bahan pangan pokok masyarakat di desa tersebut. Menurut kepercayaan setempat, tanaman umbi-umbian seperti singkong tidak memiliki jiwa sebab proses penanaman singkong hanya memerlukan batangnya bukan bijinya seperti padi. Manfaat beras singkong sebagai sumber pangan utama menumbuhkan pemahaman lokal bahwa hutan merupakan tempat yang istimewa sehingga perlu dilestarikan (Nisa dan Surtikanti 2024).

Di Kepulauan Mentawai, umbi keladi yang ditumbuk menjadi unsur utama dalam ritual pemberkatan bayi. Ritual ini terdiri dari lima tahapan yang masing-masing melibatkan makanan yang diramu dari alam sekitar lalu dimantrai oleh seorang sikerei (dukun dalam budaya Mentawai). Keladi tumbuk (subbet) menjadi elemen sentral dalam ritual ini yang harus disajikan pada setiap tahap. Umbi keladi memang telah melekat erat dalam kebudayaan masyarakat Mentawai. Lebih lanjut, ketangguhannya terhadap perubahan cuaca memastikan umbi keladi hampir tidak pernah gagal panen. Hal ini memberikan masyarakat Mentawai pasokan yang cukup untuk kebutuhan pangan dan ritual (Arif dan Sastra 2023). Maka dari itu, kebijakan ketahanan pangan beras-sentris yang diterapkan pada kondisi geografis yang kurang cocok, justru menjadi sebuah paradoks, bukan ketahanan yang diperoleh namun kerentanan yang didapati. 

Beras sebagai sumber pangan sebagian besar masyarakat Indonesia memanglah memiliki keunggulannya tersendiri, namun kondisi geografis Indonesia yang beragam justru menciptakan jurang kerentanan pangan. Budaya-budaya tradisional yang telah lekat identitasnya dengan pangan di beberapa wilayah Indonesia pun mengalami penggerusan sebagai akibat upaya negara menyeragamkan beras. Oleh karena itu, akui dan integrasikan pengetahuan pangan lokal ke dalam kebijakan pangan, jika negara memang berniat mencapai ketahanan pangan.

Penulis: Aditya Arya Rajasa
Penyunting: Ahmad Arinal Haq
Ilustrator: Hawa Muzayyinah Niswah 

Daftar Pustaka

Abisono, Fatih Gama. 2002. “Dinamika Kebijakan Pangan Orde Baru: Otonomi Negara vs Pasar Global.” DOAJ (DOAJ: Directory of Open Access Journals), March. https://doi.org/10.22146/jsp.11098.

Antara. 2025. “Amran Sulaiman Proyeksikan Produksi Beras Hingga 4,1 Juta Ton Tanpa Impor.” Tempo. PT Tempo Inti Media. November 9, 2025. https://www.tempo.co/ekonomi/amran-sulaiman-proyeksikan-produksi-beras-hingga-4-1-juta-ton-tanpa-impor-2087819.

Ardanareswari, Indira . 2020. “Repelita Ala Orba: Pembangunanisme Yang Mengandalkan Modal Asing.” Tirto.id. March 31, 2020. https://tirto.id/repelita-ala-orba-pembangunanisme-yang-mengandalkan-modal-asing-eJY6.

Arif, Ahmad. 2021. Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Kepustakaan Populer Gramedia.

Arif, Ahmad , and Fransiskus Pati Herin. 2023. “Penyeragaman Konsumsi Meningkatkan Kerentanan Pangan Dan Gizi Di NTT.” Kompas.id. August 14, 2023. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/08/14/penyeragaman-konsumsi-meningkatkan-kerentanan-pangan-dan-gizi-di-ntt.

Arif, Ahmad, and Yola Sastra. 2023. “Daulat Pangan Sebagai Jalan Kebudayaan.” Kompas.id. October 18, 2023. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/10/18/daulat-pangan-sebagai-jalan-kebudayaan.

Arif, Ahmad, Yola Sastra, Frans Pati Herin, and Saiful Rijal Yunus. 2023. “Colonial Heritage behind the Marginalization of Local Food Culture.” Kompas.id. October 16, 2023. https://www.kompas.id/artikel/en-warisan-kolonial-di-balik-peminggiran-budaya-pangan-lokal.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2018. “Luas Tanam, Luas Panen, Dan Produksi Tanaman PADI Sawah – Tabel Statistik. .” Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2018. https://mentawaikab.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTY5IzI=/luas-tanam–luas-panen–dan-produksi-tanaman-padi-sawah.html.

Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2019. “Produksi Beras Menurut Kabupaten/Kota (Ton), 2024.” Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2019. https://ntt.bps.go.id/id/statistics-table/2/OTM0IzI=/produksi-beras-menurut-kabupaten-kota.html.

Chao, Sophie. 2021. “Gastrocolonialism: The Intersections of Race, Food, and Development in West Papua.” The International Journal of Human Rights 26 (5): 811–32. https://doi.org/10.1080/13642987.2021.1968378.

CNBC Indonesia. 2024. “Prabowo Minta Swasembada Pangan Dilakukan Dalam Waktu Singkat.” YouTube. October 19, 2024. https://www.youtube.com/watch?v=I8BvLcxN6Jc.

DAAI Plus . 2024. “Pelindung Alam: Rahasia Tanah Mollo.” 2024. https://daaiplus.com/movie/wrvX6LXdoM.

Derung, Teresia Noiman, Karolina Kalli Ghoba, Mike Ardila, and Ivan Inzaghi. 2023. “Totemisme Mentawai: Menggali Makna Arat Sabulungan Dalam Pembangunan Uma Bagi Orang Mentawai.” In Theos Jurnal Pendidikan Dan Theologi 2 (8): 264–73. https://doi.org/10.56393/intheos.v2i8.1276.

Eddy, I Wayan Tagel. 2017. “The Impact of Green Revolution Movement towards Socio-Economic Life in the Countryside.” International Journal of Linguistics, Literature and Culture 3 (5): 84. https://doi.org/10.21744/ijllc.v3i5.552.

Elisabeth, Asrida . 2020. “Sagu, Sumber Pangan Ramah Gambut Yang Minim Perhatian.” Mongabay.co.id. July 31, 2020. https://mongabay.co.id/2020/07/31/sagu-sumber-pangan-ramah-gambut-yang-minim-perhatian/.

Elisabets, Asrida, and Sri Wahyuni. 2025. “Food Estate Merauke Bayangi Kehancuran Pangan Lokal Papua.” Mongabay.co.id. August 14, 2025. https://mongabay.co.id/2025/08/14/food-estate-merauke-bayangi-kehancuran-pangan-lokal-papua/.

Elizabeth, Asrida, and Sarjan Lahay. 2024. “Cetak Sawah Merauke, Klaim Hadapi Krisis Pangan Malah Ancam Sistem Pangan Lokal.” Mongabay.co.id. October 16, 2024. https://mongabay.co.id/2024/10/16/cetak-sawah-merauke-klaim-hadapi-krisis-pangan-malah-ancam-sistem-pangan-lokal/.

Indonesia.go.id. 2024. “Indonesia.go.id – Mimpi Besar Dari Tanah Papua.” Indonesia.go.id. 2024. https://indonesia.go.id/kategori/editorial/8763/mimpi-besar-dari-tanah-papua?lang=1.

Melamba, Basrin. 2014. “SAGU (TAWARO) DAN KEHIDUPAN ETNIK TOLAKI DI SULAWESI TENGGARA.” Paramita: Historical Studies Journal 24 (2). https://doi.org/10.15294/paramita.v24i2.3125.

Naldi, Ari , and Belathea Chastine. 2024. “Pengaruh Beras Terhadap Budaya Pemanfaatan Sagu Di Maluku.” Journal of Socio-Cultural Sustainability and Resilience 1 (2). https://doi.org/10.61511/jscsr.v1i2.2024.565.

Nisa, Hana Khoirun, and Hertien Koosbandiah Surtikanti. 2024. “Peranan Budaya Dan Kepercayaan Makan Singkong Masyarakat Adat Cireundeu Dalam Menjaga Kelestarian Alam: Studi Literatur.” Journal of Socio-Cultural Sustainability and Resilience 1 (2). https://doi.org/10.61511/jscsr.v1i2.2024.425.

Nugraheni, Arita. 2025. “Merunut Komitmen Pembangunan Lumbung Pangan Era Prabowo.” Kompas.id. April 11, 2025. https://www.kompas.id/artikel/merunut-komitmen-pembangunan-lumbung-pangan-era-prabowo.

PDSI KOMDIGI. 2019. “Kementerian Komunikasi Dan Digital.” Komdigi.go.id. 2019. https://www.komdigi.go.id/berita/artikel-gpr/detail/setahun-pemerintahan-prabowo-cetak-sawah-baru-225-ribu-hektare-target-480-ribu-hektare-tahun-depan.

Perez, Craig Santos. 2013. “Facing Hawaiʻiʻs Future (Book Review) «Kenyon Review Blog.” The Kenyon Review. July 10, 2013. https://kenyonreview.org/2013/07/facing-hawai%CA%BBi%CA%BBs-future-book-review/.

Purnamasari, Riska Ayu. 2024. “Hikayat Beras Nusantara Dan Mengapa Indonesia Amat Tergantung Dengan Nasi.” The Conversation. April 17, 2024. https://theconversation.com/hikayat-beras-nusantara-dan-mengapa-indonesia-amat-tergantung-dengan-nasi-226035.

Putri, Amurwani, and Hari Suroto. 2023. “JEJAK BUDAYA SAGU DAN TRADISI PENGELOLAAN HUTAN SAGU DI KAWASAN DANAU SENTANI, PAPUA.” Naditira Widya 17 (1): 1–16. https://doi.org/10.24832/nw.v17i1.522.

Rasman, Alsafana, Eliza Sinta Theresia, and M. Fadel Aginda. 2023. “Analisis Implementasi Program Food Estate Sebagai Solusi Ketahanan Pangan Indonesia.” Holistic: Journal of Tropical Agriculture Sciences 1 (1). https://doi.org/10.61511/hjtas.v1i1.2023.183.

Ruhulessin, Cleopatriza Thonia . 2020. “Fi Ra Wali: Revitalisasi Folklor ‘Saguku Hidupku’ Sebagai Identitas Kultural Dalam Kosmologi Masyarakat Sentani-Papua.” Jurnal Filsafat 30 (02). https://doi.org/10.22146/jf.54207.

Salamanang, Yohana Afridawati , Slamet Rianto, and Loli Setriani. 2022. “Persepsi Masyarakat Tentang Perubahan Makanan Pokok Dari Sagu Ke Beras Di Desa Matobe Kecamatan Sikakap Kabupaten Kepulauan Mentawai.” Jurnal Multidisiplin Indonesia 1 (3): 856–70. https://doi.org/10.58344/jmi.v1i3.78.

Santoso, Umar. 2017. “PANGAN POKOK: BERAS, UMBI-UMBIAN, ATAU TERIGU?” Https://Kanalpengetahuan.tp.ugm.ac.id. January 5, 2017. https://kanalpengetahuan.tp.ugm.ac.id/menara-ilmu/2017/621-pangan-pokok-beras-umbi-umbian-atau-terigu.html.

Wakanno, Topan Farisy. 2025. “Revolusi Hijau Dan Multikulturalisme Pangan.” Penamara.id. March 7, 2025. https://penamara.id/revolusi-hijau-dan-multikulturalisme-pangan/.

Walhi. 2020. “Hentikan Proyek Cetak Sawah/Food Estate Di Lahan Gambut Di Kalimantan Tengah – WALHI.” WALHI. June 14, 2020. https://www.walhi.or.id/hentikan-proyek-cetak-sawah-food-estate-di-lahan-gambut-di-kalimantan-tengah.

 

2
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Kota Batik yang Tenggelam

Membumikan Ilmu Bumi

Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat

Konservasi yang Tak Manusiawi

Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

Mitos Terorisme Lingkungan

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Kota Batik yang Tenggelam

    November 21, 2025
  • Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal

    November 21, 2025
  • Membumikan Ilmu Bumi

    November 21, 2025
  • Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal

    November 20, 2025
  • Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan Hanya Dibebani Tanpa Penghargaan

    November 20, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM