
©Hadrian/Bal
Pada dekade ketiganya, BALAIRUNG menghadapi tantangan baru yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Dalam fase ini, gerakan jurnalisme yang sebelumnya dihadang ancaman pembredelan oleh rezim, justru berhadapan dengan persoalan modal dan perkembangan teknologi. Di satu sisi, konglomerasi media di Indonesia membuat ruang jurnalisme kian tersandera oleh kepentingan modal yang dapat mengancam keberpihakan pers mahasiswa. Sementara itu, berkembangnya âekonomi perhatianâ sebagai buntut perubahan medium cetak menuju medium digital mendorong kompetisi digital yang semakin ketat. BALAIRUNG tak terkecuali, ikut melakukan migrasi ke ruang digital sebagai buntutnya.
Di tengah tantangan tersebut BALAIRUNG mewawancarai Wisnu Prasetya Utomo, Pemimpin Redaksi BALAIRUNG periode 2010-2011 pada Jumat (26-09). Wisnu kini merupakan dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UGM dengan spesifikasi kajian jurnalisme dan ekonomi politik media. Menurutnya, adaptasi dan fleksibilitas adalah syarat utama bagi pers mahasiswa untuk tetap relevan di era digital. Berikut hasil wawancaranya.
Bagaimana Anda memandang mengenai loyalitas atau keberpihakan jurnalisme?
Pertama, saya percaya bahwa keberpihakan itu bagian yang melekat dalam jurnalisme. Jadi, memang sejak awal keberadaannya, jurnalisme itu memang berpihak. Karena kalau kita lihat baik secara struktural, misalnya, sistem politik, media, kemudian kondisi perusahaan atau organisasi media, sampai bicara di level personal seperti individu jurnalis, semuanya membentuk rutinitas atau karakter keberpihakan media. Itu pandangan saya yang pertama.
Kedua, pertanyaannya adalah ke mana keberpihakan atau loyalitas dalam jurnalisme ini diarahkan? Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap ke mana keberpihakan atau loyalitas ini diarahkan. Misalnya, faktor kepemilikan, afiliasi politik, termasuk juga aspek finansial-ekonomiâsiapa yang mendanai media dan sebagainya. Itulah yang menentukan arah keberpihakan atau loyalitas media. Ketika jurnalisme, media, atau jurnalis memposisikan diri mereka bersikap netral, artinya mereka sedang menjaga status quo, baik dalam konteks politik, sosial, maupun kultur dominan. Hal itu bisa membuat jurnalisme abai terhadap kelompok rentan atau suara-suara terpinggirkan yang selama ini tidak mendapatkan ruang dalam pemberitaan di media.Â
Bagaimana pandangan Anda mengenai kondisi jurnalisme di era digital?
Kalau bicara tentang jurnalisme di era digital, banyak problem yang muncul. Setiap perkembangan teknologi itu âkan membuat jurnalisme berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, teknologi dan platform digital membuka ruang baru, khususnya bagi distribusi informasi dan partisipasi publik. Ia membuat media jadi lebih bisa mengetahui siapa audiensnya, serta konten atau berita apa yang harus diproduksi. Teknologi membuat berita bisa lebih cepat menjangkau pembacanya.Â
Selain itu, algoritma juga membantu media dalam mempersonalisasi pengalaman audiens. Tapi, disaat yang bersamaanâyang saya sebut âdi persimpangan jalanâ tadiâteknologi era digital juga membawa ancaman. Misalnya, dalam konteks platform digital, kita bicara âkue iklanâ. Aspek ekonomi itu dimakan semuanya oleh perusahaan platform digital: Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, dan seterusnya. Artinya, ini membuat semua orang bisa membuat medianya sendiri. Era digital ini membuat hambatan masuk ke industri media menjadi semakin mudah.Â
Hal ini menjadi salah satu faktor yang disebut sebagai âsenjakala media cetakâ âdiskursus di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Itulah periode ketika media-media cetak kesulitan atau gagap dalam beradaptasi dengan perubahan digital yang membuat banyak koran kemudian kemudian tutup atau bangkrut. Nah, ini saya kira sedikit problem dari sekian banyak problem yang muncul dalam konteks jurnalisme di era digital.
Persaingan pasar dalam dunia media hari ini justru mendisrupsi informasi berkualitas yang seharusnya menjadi tugas jurnalisme. Bagaimana pandangan Anda terkait jurnalisme agar dapat konsisten dengan tujuannya?
Persaingan pasar dalam konteks digital ini disebut sebagai attention economy [ekonomi perhatian-red]. Semua orang berlomba-lomba mendapatkan perhatian dari audiens. Namun, prinsipnya, teknologi boleh dan pasti berubah, tetapi nilai-nilai jurnalisme harus tetap. Misalnya, misi jurnalisme itu âkan untuk memberikan informasi yang akurat, relevan, dan independen. Itu tidak bergantung pada medium. Nah, pertanyaannya, sejauh mana jurnalisme sungguh-sungguh mau mengemban amanah itu? Tetap independen dan setia pada misinya, atau runtuh ditekan oleh pasar?
Artinya, agar jurnalisme bisa konsisten dengan tujuannya, Ia mesti meredefinisi atau memaknai ulang kehadirannya di era digital. Jika redefinisi atau pemaknaan ulang jurnalisme itu bisa dilakukan, saya kira itu akan membantu media dan jurnalis dalam menerjemahkan [tujuan-red] itu ke dalam kerja-kerja jurnalistik sehari-hari, misalnya, dengan membangun kedekatan dengan publik atau komunitas. Dalam konteks buku Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yang dilayani adalah loyalitas kepada publik atau warga, termasuk membangun kolaborasi dengan sesama media. Saya kira, itu hal-hal yang sifatnya lebih teknis, tetapi harus berangkat dari redefinisi atau pemaknaan ulang kehadiran media di era digital.
Dalam dunia digital yang serba cepat dalam menyajikan berita, tantangan seperti apa yang sedang atau akan dihadapi oleh pegiat pers mahasiswa hari ini?
Jadi, tantangannya tidak jauh berbeda dengan media arus utama, yaitu bagaimana pers mahasiswa bisa mendefinisikan kehadiran dirinya, termasuk relevansi informasi apa yang bisa disajikan oleh pers mahasiswa kepada audiens. Itu yang pertama.Â
Yang kedua adalah mendefinisikan juga siapa audiens pers mahasiswa hari ini? Apakah terbatas pada warga kampus tempat pers mahasiswa berasal? Misalnya, BALAIRUNG di UGM atau pers mahasiswa di kampus lainâatau publik yang lebih luas? Itu pertanyaan yang penting. Ketika teman-teman pers mahasiswa sudah menentukan siapa audiens yang akan dilayani dengan informasinya, langkah selanjutnya adalah menyajikan informasi yang relevan bagi mereka. Itu menurut saya tantangan yang utama.Â
Kemudian, yang ketiga adalah tantangan khas pers mahasiswa, yaitu beban akademik dan keterbatasan ruang mahasiswa untuk berorganisasi di perguruan tinggi. Saya kira, dari tahun ke tahun beban mahasiswa untuk berorganisasi jadi lebih berat. Ruangnya itu menyempit karena tekanan untuk cepat lulus, mendapatkan nilai yang baik, hingga tekanan untuk magang demi mendapatkan pengalaman kerja. Saya kira, ini tantangan khas pers mahasiswa yang juga dihadapi hari ini.
Menurut Anda, potensi apa yang dimiliki pers mahasiswa dibanding media digital yang punya modal lebih besar? Apakah âsemangat menyuarakanâ itu masih relevan hingga kini?
Menurut saya, jelas masih relevan ya. Semangat untuk menyuarakan dan potensi pers mahasiswa hari ini sangat besar. Pertama, pers mahasiswa itu hidup di dalam kampus yang idealnya merupakan rumah pengetahuan. Setiap hari, banyak penelitian di berbagai bidang dan lini keilmuan. Dalam situasi banjir informasi yang begitu luar biasa di luar sana, kehadiran kampus dalam proses produksi pengetahuan itu sangat penting untuk menghadirkan wacana kritis dan alternatif.Â
Pers mahasiswa hidup di dalam ekosistem itu. Ia juga bisa menghadirkan berbagai informasi yang relevan kepada publik, termasuk menyajikan riset-riset penting yang sulit atau jarang dimunculkan oleh media-media arus utama karena mereka punya logika kepentingannya sendiri. Saya kira, semangat menyuarakan dalam konteks pers mahasiswa bukan hanya relevan, tetapi justru semakin penting di era digital.
Apakah Anda membayangkan BALAIRUNG atau pers mahasiswa lainnya bisa menjadi model pers alternatif yang ideal?
Saya kira sangat bisa. Pers mahasiswa, tetap ada dalam posisi menjadi ruang alternatif, sekaligus bisa mendorong perubahan, khususnya kalau kita bicara dalam konteks media arus utama. Contohnya, yang sering saya sampaikan adalah ketika BALAIRUNG, sekitar tahun 2018, memberitakan kasus kekerasan seksual di UGM. Liputan itu tidak hanya mengungkap kasus kekerasan seksual di UGM, tetapi juga mendorong media-media arus utama berkolaborasi dan lebih serius meliput isu serupa di kampus-kampus Indonesia.
Setelah berita itu muncul, beberapa bulan kemudian, media-media arus utama yang berbasis di Jakarta membuat kolaborasi #NamaBaikKampus. Kolaborasi ini mendokumentasikan berbagai kasus kekerasan seksual di kampus-kampus Indonesia. Menurut saya, ini adalah bukti konkret bahwa pers mahasiswa bisa berperan sebagai teladan, tidak hanya bagi sesama pers mahasiswa, tetapi juga bagi media-media arus utama.Â
Pemberitaan kasus kekerasan seksual oleh BALAIRUNG tersebut bisa menjadi salah satu studi kasus ideal untuk teman-teman pers mahasiswa. Selain itu, ketika banyak media arus utama tersandera kepentingan modal, logika pers mahasiswa ini bukan logika profit. Banyak anggotanya yang masih belajar, tidak hanya sebagai jurnalis, tetapi juga membangun kepekaan dan memberikan ruang bagi suara-suara yang terpinggirkan oleh media arus utama. Saya masih optimis dan yakin bahwa pers mahasiswa tetap bisa menjadi ruang alternatif dan menjadi model media alternatif yang ideal hari ini.
Apa âwarisanâ paling penting yang menurut Anda telah generasi Anda tinggalkan bagi BALAIRUNG, sesuatu yang membedakan dengan generasi sebelumnya?
Kalau bicara warisan generasi, saya selalu melihatnya dalam konteks yang lebih luas dengan tonggak-tonggak sosial politik, termasuk dalam konteks perkembangan teknologi. Ketika merujuk pada generasi, saya tidak bicara soal satu-dua tahun kepengurusan. Misalnya, pada periode awal pendirian BALAIRUNG itu persis di era Orde Baru, dekade 1980-an. Lalu ada periode transisi Reformasi 1998. Jadi, ketika menyebut generasi, saya merujuk pada periode ketika demokrasi sedang berada dalam masa keemasannya di Indonesia.Â
Pada periode satu dekade setelah reformasi itu, dalam konteks politik dan industri, pelan-pelan media cetak mulai meredup dan teknologi digital itu perlahan mengambil alih. Lalu, ada periode saat ini, ketika sudah sepenuhnya digital gitu. Nah, dalam konteks tersebut, warisan penting di generasi saya adalah pembangunan sistem yang kini dikenal sebagai balairungpress.com.
Kami aktif di BALAIRUNG ketika media cetak pelan-pelan mulai meredup. Dulu, BALAIRUNG basisnya adalah memproduksi media cetak, baik dalam bentuk jurnal, majalah, maupun tabloid. Sementara itu, media digital mulai pelan-pelan muncul. Artinya, dalam konteks generasi saya, sistem yang kini dikenal sebagai balairungpress itu âkan hasil kerja lintas generasi yang berkesinambungan.Â
Nah, kalau saya refleksikan sedikit, warisannya ada pada kemampuan suatu generasi di BALAIRUNG untuk terus beradaptasi terhadap zaman. Dalam konteks kerja-kerja jurnalistik bentuk warisannya adalah perubahan medium, tetapi tidak kehilangan orientasi kritisnya. Nilai-nilai kebalairungan tetap, tetapi mediumnya pelan-pelan bergeser. Pesannya adalah bahwa teknologi berubah, tetapi nilai-nilai jurnalisme dan kritis yang diusung oleh BALAIRUNG tetap hadir.Â
Penulis: Hafidh Zidan Nur Ridho
Penyunting: Laura Anisa
Ilustrator: Hadrian Galang