
©Arfa/Bal
Imbas dari judul lagu berjudul ”Bayar Bayar Bayar”, grup musik punk Sukatani mengalami penindasan dari aparat kepolisian. Akibatnya, mereka harus mengunggah video klarifikasi permintaan maaf pada kamis (20-02). Menanggapi hal tersebut, Lembaga Indonesia Bersama (LIB) menggelar diskusi dan pameran poster di LIB Studio, Sleman, Yogyakarta pada Kamis (27-02). Diskusi bertajuk “Estetika Keterlibatan” ini menghadirkan Yuris Rezha dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM, Kiki Pea dari grup musik Megatruh Soundsystem, dan Arsita Pinandita sebagai kurator pameran. Diskusi ini menyoroti peran seni sebagai alat kritik sosial yang sering berhadapan dengan sensor politik.
Memulai diskusi, Yuris menerangkan bahwa sikap represif dan pembungkaman yang dilakukan oleh aparat atas sebuah kelompok sudah terjadi dari zaman dahulu. Beberapa contohnya adalah pembubaran partai yang terjadi masa kepemimpinan Soekarno dan pembubaran PKI pada rezim Soeharto. “Ini adalah gejala yang harus diwaspadai karena melihat sejarah masa lalu kita,” ungkap Yuris.
Menyambut pembungkaman di masa Soekarno, Pinandita atau yang akrab dipanggil Dito juga menceritakan bahwa memang terjadi pembungkaman lagu yang dianggap tidak sejalan dengan visi dan misi pemerintah pada waktu itu. Hal itu menyebabkan banyak grup musik yang harus pergi ke luar negeri agar bisa terus bermain musik. “Di tahun orde lama, Soekarno membakar semua musik-musik yang dianggap tidak mempunyai visi misi revolusi,” ujar Dito.
Lebih lanjut, Kiki menyinggung kilas sejarah mengenai musik yang beririsan dengan politik. Sedari lama, sudah banyak lagu-lagu yang mengkritik pemerintah. Kiki melanjutkan bahwa para seniman pada waktu itu tidak merasa takut pada pemerintah. “Skena [musisi-red] pada masa itu bisa langsung main di depan congornya penguasa,” jelas Kiki saat menjelaskan perlawanan yang terjadi.
Melanjutkan kilas sejarah tersebut, Kiki menjelaskan bahwa sampai sekarang pun banyak musisi yang menggunakan musik untuk menyampaikan kritik sosial. Salah satunya adalah grup musik Sukatani. Kiki menuturkan bahwa Sukatani lahir dari kegelisahan anak-anak muda di Purbalingga terhadap realitas sosial. “Di sana [Purbalingga-red], sarat akan isu sosial, politik, dan agraria,” jelas Kiki.
Sukatani mengekspresikan keresahannya melalui perilisan lagu “Bayar Bayar Bayar”. Dito menjelaskan bahwa lagu tersebut ditujukan untuk menyinggung praktik pungutan liar yang sering dilakukan oleh aparat. “Sebetulnya hal-hal yang berkaitan dengan istilah bayar-bayar tilang dan pungli atau apa pun itu, seminimal mungkin bisa ditekan asal sistemnya itu dimudahkan,” tutur Dito.
Yuris juga mengkritisi tentang penegakan hukum atas deskripsi kritik sosial terhadap polisi dalam lagu “Bayar Bayar Bayar”. Contohnya, kasus simulator SIM sampai orang yang ditangkap tiba-tiba tanpa penjelasan yang jelas. Ia juga menyebutkan bahwa saat seseorang ditilang dan membayar agar tidak mendapat surat tilang merupakan tindakan korupsi. “Karena suap itu adalah orang memberikan sesuatu kepada penyelenggara negara, polisi misalnya,” tutur Yuris.
Bagi Kiki, Sukatani menjadi salah satu agen grup musik yang memiliki potensi untuk dapat menjadi bom waktu dalam konteks budaya perlawanan. Ia menganggap Sukatani memiliki visual yang mengancam dan lirik yang lugas. “Puncaknya adalah ledakan di momentum hari ini atau dalam seminggu terakhir untuk semua orang ingin berpartisipasi atau terlibat,” ujar Kiki.
Di akhir diskusi, Dito menyampaikan harapannya agar langkah yang dilakukan oleh Sukatani tidak berhenti pada mereka saja. Dito mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk tidak bersikap netral saat ketidakadilan terjadi. “Ketika kita memilih menjadi netral di ketidakadilan yang terjadi hari ini, kita menyetujui kesewenang-wenangan,” tutur Dito.
Penulis: Ahmad Arzani dan Ulfa Dwi Damayanti
Penyunting: Leoni Nevia
Fotografer: Arfa Zhafif