
©Zaidan/Bal
Rintik hujan menyelimuti jalanan Malioboro saat massa aksi mendatangi kantor DPRD Yogyakarta pada Jumat (24-01). Massa berkumpul di Parkiran Abu bakar Ali, kemudian berjalan menyusuri jalanan Malioboro dan berakhir merangsek masuk ke depan teras gedung DPRD Yogyakarta. Massa aksi yang hadir merupakan aliansi dari Paguyuban Tridharma, Pedagang Kaki Lima (PKL) Teras Malioboro (TM) 2, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), dan sejumlah mahasiswa. Aksi pertama yang digelar setelah relokasi TM 2 ke Ketandan dan Beskalan ini membawa tiga tuntutan. Mulai dari pengundian ulang lapak, jaminan hidup pascarelokasi, hingga penciptaan tata kota yang demokratis dan partisipatif dihadirkan sebagai tuntutan dalam aksi tersebut.
Terkait tuntutan pengundian ulang lapak, PKL TM 2 sudah menyampaikan tuntutannya kepada DPRD Yogyakarta dalam audiensi yang dilaksanakan pada Senin (06-01). “Belum ada pengundian ulang, kita menuntutnya pengundian ulang,” ungkap Upik, salah satu pengurus Paguyuban Tridharma. Ia menilai bahwa hingga kini Pemerintah Daerah (Pemda) Yogyakarta masih mengabaikan tuntutan massa aksi.
Upik menyebutkan bahwa sampai aksi selesai digelar, titik terang akan adanya pengundian ulang lapak yang adil tidak kunjung muncul. Hal ini membuat Upik kecewa dengan sikap Pemda Yogyakarta yang tidak memperdulikan PKL Malioboro. Padahal, Ia menyebutkan bahwa Malioboro itu terkenal karena ramainya PKL di sepanjang jalan Malioboro. “Malioboro adalah PKL. Itu yang membentuk citra Malioboro bisa dikenal sampai luar negeri,” terang Upik.
Pengundian ulang ini juga turut disampaikan Rakha, perwakilan LBH Yogyakarta, dalam mendampingi permasalahan tata kelola ruang Malioboro yang kian pelik. Rakha menyampaikan kekecewaannya atas pengambilan keputusan sepihak oleh para pemangku kebijakan yang menihilkan penghidupan masyarakat kecil di Yogyakarta, terutama PKL Malioboro. “Pascarelokasi, kawan-kawan PKL Malioboro membutuhkan yang namanya jaminan hidup,” ujar Rakha.
Hilangnya jaminan hidup yang layak bagi para PKL kembali diungkapkan oleh Upik dalam aksi kali ini. Ia menjabarkan alasan bahwa turunnya pendapatan para PKL terjadi karena sedikitnya pengunjung yang datang. Ia juga menyampaikan keluh kesah para PKL yang sedari tanggal 14 Januari sudah mencoba berjualan di Ketandan dan Beskalan. Namun, Upik mengaku bahwa hasil penjualan mereka jauh dari kata cukup. “Ini [kondisi lapak-red] yang menjadi kerisauan kami, bahwa yang jelas TM 2 saja pendapatan turun, apalagi di sana [Ketandan dan Beskalan-red],” keluh Upik.
Rakha juga gentar dalam melihat adanya keterbengkalaian atas tata kota yang demokratis dan partisipatif untuk seluruh rakyat. Menurut Rakha, tuntutan mereka ini disebabkan penggusuran PKL Malioboro yang tidak terlepas dari wacana pengembangan dan pembangunan Sumbu Filosofis Yogyakarta. Ia menyebutkan bahwa PKL malioboro adalah satu di antara banyaknya lapisan rakyat yang terdampak dari pembangunan Sumbu Filosofi. “Sumbu Filosofis itu harus diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat,” tegas Rakha.
Salah satu massa aksi yang hadir, Dinta Yulian, perwakilan dari MPBI, juga mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, penobatan sumbu filosofi yang mencakup Malioboro sebagai warisan dunia ini bertentangan dengan makna hakikatnya. Pasalnya, Dinta merasa Pemda Yogyakarta hanya memperhatikan pembangunan budaya yang bersifat monumental, alih-alih memperhatikan kemakmuran rakyat. “Yang dibangun hanya yang sifatnya fisik. Namun, tidak memperhatikan aspek kehidupan,” ratap Dinta.Â
Menanggapi tuntutan dari massa aksi, pihak DPRD Yogyakarta akhirnya melakukan audiensi tertutup dengan massa aksi. Namun, saat audiensi selesai, massa aksi belum mendapatkan keputusan apapun dari pihak DPRD Yogyakarta. “Dari DPRD mereka hanya menginventarisasi masalah yang ada, kemudian di tanggal 31 Januari akan melakukan rapat di tingkat internal DPRD Yogyakarta,” tutur Rakha.
Penulis: Tafrihatu Zaidan Al Akhbari
Penyunting: Aghits Azka Aghnia
Fotografer: Tafrihatu Zaidan Al Akhbari