Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Muat Candaan Seksis, Buku Gadjah Mada Bercanda Karya...
Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...
Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...
Kota Batik yang Tenggelam
Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal
Membumikan Ilmu Bumi
Kuasa Kolonial Atas Pangan Lokal
Anis Farikhatin: Guru Kesehatan Reproduksi Butuh Dukungan, Bukan...
Tangan Tak Terlihat di Balik Gerakan Rakyat
Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Ekspansi PLTP Ulumbu Renggut Ruang Hidup Masyarakat Adat Poco Leok

Oktober 5, 2024

©Riendy/Bal

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menggelar sebuah diskusi dengan tema “Penambangan Panas Bumi; Petaka berkedok Potensi” pada Rabu (02-10). Diskusi yang bertempat di kedai kopi Bento, Klebengan itu diawali dengan sesi pemutaran film dokumenter yang berjudul “Geothermal Sacrifice”. Dokumenter tersebut merekam perlawanan masyarakat adat Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur atas proyek ekspansi area Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang dapat merenggut ruang hidup mereka. Forum diskusi dibuka setelah sesi pemutaran film dengan narasumber yang terdiri dari empat warga asli di area terdampak PLTP geothermal di Pulau Flores dan Atinna Rizqiana, seorang peneliti dari CELIOS.

Salah seorang warga Poco Leok bernama Yudi mulai menceritakan perjuangan dan perlawanan rekan sejawatnya demi melindungi tanah kelahirannya. Ia menyebutkan bahwa terhitung sudah 27 kali upaya penolakan dilakukan sejak tahun 2022. Baginya, pihak pengembang dan pemerintah tidak menghormati adat istiadat Poco Leok sehingga menyebabkan perlawanan masyarakat. “Pelecehan terhadap adat dan budaya itu sudah dilakukan dari awal kedatangan mereka,” ujar Yudi.

Lebih lanjut, Yudi menyampaikan bahwa terdapat lima unsur falsafah hidup masyarakat Poco Leok yang terancam rusak dengan datangnya PLTP Ulumbu. Lima unsur itu disebut lampek lima yang terdiri dari Gendang (rumah adat), Lingko (lahan perkebunan), Natas (halaman atau ruang publik), Wae (mata air), dan Compang (altar sesaji kepada leluhur). Yudi menjelaskan bahwa satu unsur dengan unsur lainnya memiliki kaitan yang erat sehingga jika terdapat unsur yang rusak, maka yang lain juga akan rusak. “Kelima unsur tersebut merupakan refleksi pemenuhan hidup masyarakat sehingga apabila satu rusak, yang lain rusak,” tegas Yudi.

Yosef Erwin warga asal Wae Sano, Manggarai Barat mendukung pernyataan dari Yudi perihal lampek lima. Ia mengungkap alasan warga Wae Sano juga turut andil dalam menolak proyek PLTP karena melanggar falsafah hidup orang manggarai yang sangat sakral. “Kalau negara ini memiliki pancasila, kami memiliki lampek lima sebagai falsafah hidup,” tegasnya. 

Kembali dengan masalah yang dihadapi di Poco Leok, Yudi mengutarakan terdapat mata air di setiap empat belas kampung adat yang saling terhubung melalui sungai besar Wae Wara. Terdapat satu mata air yang disakralkan dan berpotensi hilang apabila PLTP masuk. “Ada ketakutan mata air hilang,” serunya. 

Melihat potensi kerusakan alam yang ditimbulkan PLTP, Atinna Rizqiana menjelaskan terdapat potensi kerugian lain yang berdampak pada masyarakat di NTT. Di dalam terbitan mandiri yang dikeluarkan CELIOS, ia menjelaskan bahwa potensi kerugian berdampak pada ekonomi, serapan tenaga kerja, dan menurunnya produktivitas pertanian. “Merugikan ekonomi daerah sebesar 1 triliun, serapan tenaga kerja menurun hingga 50.608 orang di tahun kedua beroperasinya pembangkit [PLTP-red], dan kerugian di sektor pertanian sebesar 958 miliar,” paparnya.

Penulis: Dhony Alfian dan Riendy Tri Putra
Penyunting: Gayuh Hana Waskito
Fotografer: Riendy Tri Putra

0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Muat Candaan Seksis, Buku Gadjah Mada Bercanda Karya...

Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua...

Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam...

Tantangan Konservasi dan Pelestarian Lingkungan dalam Diskusi Ekspedisi...

LBH Yogyakarta Ungkap Intimidasi Aparat Pasca-Aksi Agustus di...

Diskusi dan Perilisan Zine Maba Sangaji Basuara, Tilik...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Muat Candaan Seksis, Buku Gadjah Mada Bercanda Karya Heri Santoso Tuai Kritik Mahasiswa

    Desember 5, 2025
  • Tilik Relasi Kolonial di Papua dalam Diskusi Papua Bukan Tanah Kosong

    November 24, 2025
  • Diskusi Pendidikan dan Demokrasi, Ungkap Gagalnya Pendidikan dalam Sikapi Diskriminasi

    November 24, 2025
  • Kota Batik yang Tenggelam

    November 21, 2025
  • Titah AW: Jurnalisme Bisa Jadi Kanal Pengetahuan Lokal

    November 21, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM