“Hidup rakyat Indonesia! Hidup pendidikan!” seru massa aksi “Stop Kuliah Mahal” yang dihadiri berbagai unsur masyarakat. Pada Senin (03-06), aksi digelar serentak di tujuh titik penjuru Indonesia, tepatnya di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Riau, hingga Nusa Tenggara Barat. Di Yogyakarta, aksi dilaksanakan di depan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Wilayah V. Gerakan tersebut dimotori oleh Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) dan didukung oleh 134 lembaga dan masih akan terus bertambah.
Aksi ini membawa somasi terbuka terkait permasalahan uang kuliah mahal yang ditujukan kepada pemerintah. Panji Mulkillah, Tim Kajian Hukum APATIS, menyampaikan bahwa somasi yang dibawa memuat total sepuluh tuntutan, dengan sembilan diantaranya sebagai penyokong tuntutan utama. “[Tuntutan-red] utamanya cabut Peraturan Menteri, Kebudayaan, Riset, Riset dan Teknologi Nomor 2 Tahun 2024,” tegasnya.
Menurut Panji, salah satu tujuan aksi adalah memberi peringatan kepada pemangku kebijakan selaku calon tergugat. Ia menuturkan bahwa somasi tersebut khususnya ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim. “Makanya, ini aksinya di kantor Kemendikbud,” jelasnya.
Panji menegaskan pemerintah diberi jangka waktu selama 17 hari terhitung sejak aksi terlaksana untuk merespons. Ia menjelaskan, jika pemerintah tidak kunjung menindaklanjuti somasi sampai tenggat waktu yang ditetapkan, APATIS akan menempuh jalur hukum. “[Jika tidak ditindaklanjuti-red] akan diajukan gugatan ke Mahkamah Agung,” tegasnya.
Pada aksi tersebut, berbagai organisasi kemasyarakatan dan lembaga mahasiswa menyuarakan keprihatinan serta keresahan mengenai isu mahalnya pendidikan dalam mimbar terbuka. Salah satu orator dari pihak mahasiswa menyampaikan bahwa biaya pendidikan yang mahal merupakan bentuk penindasan golongan tak mampu. “Sistem UKT adalah bentuk kolonialisme baru,” ucap mahasiswa tersebut.
Lebih lanjut, Yuliani Putri, pimpinan Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi), menyatakan dukungannya terhadap aksi ini. Sebagai orang tua, ia merasakan sulitnya membiayai pendidikan tinggi anak. Yuli mengakui bahwa banyak orang tua di Sarang Lidi yang kesulitan membiayai pendidikan tinggi anaknya. “Gaji orang tua tidak hanya untuk menguliahkan satu anak, tapi untuk makan anggota keluarga yang lain, menyekolahkan adik-adiknya, dana kesehatan, dan lainnya,” tuturnya.
Bagi Yuli, seharusnya pemerintah mengingat isi pembukaan dan pasal 31 UUD 1945 terkait kewajiban negara dan hak tiap warga negara atas pendidikan. “Terus nanti yang mau menjaga Indonesia siapa? Apakah kita mau disuruh bodoh? Supaya dijajah seperti yang dulu-dulu?” ucapnya. Ia tak habis pikir dengan pemerintah yang mempersulit aksesibilitas pendidikan dengan permasalahan biaya.
Selama menunggu tindak lanjut pemerintah atas tuntutan yang telah dilayangkan, Panji menyatakan bahwa akan ada aksi-aksi lanjutan. Selama itu pula APATIS tetap mengimbau solidaritas dari seluruh pihak untuk turut mengawal isu ini. Pengawalan ini dapat dilakukan melalui penandatanganan petisi somasi yang berisi kajian tentang mahalnya UKT.
Reporter: Nafiis Anshari dan Vigo Joshua
Penulis: Fanni Calista
Penyunting: Siti Fatria Pelu
Fotografer: Vigo Joshua