“Saya memandang permasalahan food estate dan contract farming tidak terletak pada implementasinya, tetapi dari dasar dan prinsipnya,” tegas Henry Saragih selaku Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI). Ia menyampaikannya dalam sesi diskusi dengan tajuk “Tantangan Kedaulatan Pangan: Food Estate dan Contract Farming” yang diselenggarakan oleh Partai Buruh, Selasa (05-03). Diskusi menghadirkan tiga narasumber, yaitu Henry Saragih, Ketua Umum SPI dan Ketua Dewan Penasihat Partai Buruh; Roy Murtadho, Presidium Partai Hijau Indonesia; dan Perdana Putri, akademisi.
Henry memulai dengan pemaparan tentang perbedaan kedaulatan pangan dan ketahanan pangan. Ia memaparkan bahwa pelaku usaha dalam konsep kedaulatan pangan adalah rakyat, koperasi, dan UMKM. Sementara, ketahanan pangan justru memungkinkan korporasi dan petani menengah-besar menguasai lahan, buruh tani, dan hak guna usaha. “Konsep kedaulatan pangan adalah hak tiap negara dan rakyat untuk memutuskan kebijakan pangan secara mandiri, tidak tergantung pada pasar bebas,” ucap Henry.
Henry menjelaskan bahwa food estate tak lain adalah replikasi dari plantation estate yang merupakan sistem peninggalan era kolonial sejak tahun 1870. Saat itu, plantation estate menjadi akhir dari model pertanian tanam paksa yang diilhami semangat liberalisme di Eropa agar perusahaan korporasi swasta bisa berinvestasi di sektor pertanian. Sistem tersebut telah diberhentikan pada masa kekuasaan Soekarno dengan reforma agraria untuk merombak program kolonial. Namun, semenjak berkuasanya Soeharto, perusahaan perkebunan tersebut dikembalikan ke pemilik asing. “Jadi, misalnya kalau ada perusahaan-perusahaan sekarang yang namanya sipef, lonsum dan juga uniroyal itu dulu sempat diambil alih oleh negara,” ucap Henry
Sementara itu, Henry menceritakan bahwa pasca dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967, pemerintah Orde Baru menjalankan program transmigrasi serta perluasan perusahaan perkebunan negara dan swasta. Hal ini dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan negara dari sektor nonmigas dan pemerataan penduduk. Usaha ini mendapatkan dukungan dari lembaga moneter internasional, World Bank, dengan mensyaratkan bahwa yang dikembangkan adalah perkebunan rakyat atau mengikutsertakan rakyat dalam usaha perkebunan tersebut. “Di sinilah dikenal istilah contract farming,” ucap Henry.
Henry kemudian menjelaskan lebih lanjut pengertian dari konsep contract farming. Konsep ini diartikan sebagai suatu cara untuk mengatur produksi pertanian dengan sistem kontrak serta bertujuan agar petani kecil menyediakan produk pertanian kepada usaha sentral. “Konsep ini berangkat dari logika untuk mengurangi keterlibatan langsung dalam produksi primer dan mendorong praktik borongan,” jelas Henry.
Selanjutnya, Henry menuturkan bahwa konsep food estate dan contract farming bukanlah konsep yang sesuai dengan kerangka berpikir kedaulatan pangan, melainkan ketahanan pangan. Agenda ketahanan pangan tersebut menurutnya justru dibayangi keinginan untuk menciptakan liberalisasi bidang pertanian seperti yang didorong oleh World Trade Organization (WTO). Hal tersebut mengakibatkan pertanian dikuasai oleh korporasi dan petani menengah/besar yang mempekerjakan buruh tani. “Dan tentunya dengan konsep ketahanan pangan ini, hilanglah kedaulatan masing-masing negara untuk mengatur kebijakan pangannya,” tutur Henry.
Menanggapi hal tersebut, Roy menjelaskan masalah kedaulatan pangan tidak bisa diselesaikan di ranah akar rumput saja, tetapi di tingkat kebijakan eksekutif dan legislatif. Ia merasa bahwa hal tersebut tidak bisa begitu saja diterapkan dalam skala nasional. Kemudian, Ia menambahkan bahwa sinergi antara kebijakan dan kondisi di lapangan harus ditingkatkan. “Harus ada semacam rumusan atau policy paper yang kita keluarkan untuk tingkat kebijakan baik legislatif maupun eksekutif,” ujar Roy.
Tak luput, Roy mengingatkan kembali bahwa kebijakan food estate yang akan dilaksanakan oleh pemerintahan Joko Widodo disebabkan oleh perkiraan akan adanya kerawanan pangan akibat dari COVID-19. “Anehnya setelah pandemi berakhir, kebijakan tersebut masih terus berlanjut. Bahkan, kawasan yang dulunya ditanami sagu justru dibabat habis,” ucap Roy. Ia menyebutkan hal ini berimbas pada masyarakat yang tidak dapat mengonsumsi makanan sesuai dengan keinginannya.
Selaras dengan pendapat Roy, Putri juga tidak setuju dengan penerapan konsep food estate pada sistem pertanian di Indonesia. Menurutnya, food estate menjadi program ketahanan pangan yang hanya fokus untuk mengentaskan tingginya angka kelaparan. “Dia [pemerintah-red] tidak melihat makanan sebagai produk sosial-budaya dan politik masyarakat,” ucap Putri. Ia memberikan contoh dampak dari food estate, program “4 sehat 5 sempurna Orde Baru” yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia dengan tingkat intoleransi laktosa sebesar 90%.
Putri melihat penerapan contract farming dengan model Intermediary di Indonesia tidak sehat. Baginya, contract farming model Intermediary ini memberikan kesempatan luas bagi perusahaan swasta dan pemerintah untuk mengelola lahan pertanian. “Model ini menyebabkan rural debt atau tingginya utang petani dan masyarakat desa,” ungkap Putri.
Putri menjelaskank contract farming model sentral bisa menjadi solusi untuk menengahi persoalan contract framing saat ini. Ia menjelaskan bahwa model ini mengutamakan pengaturan harga sesuai komoditas yang tani, terutama saat krisis. “Contract framing harusnya menjadi mekanisme teknis yang membantu petani,” tegas Putri.
Putri juga membubuhkan analisis terhadap hubungan antara eksploitasi petani dan pekerja di perkotaan. Ia melihat kerja sama petani dan pekerja kota sangat penting dalam menciptakan kedaulatan pangan. Selain itu, pertimbangkan terhadap perubahan iklim juga perlu diperhatikan. “Jika kita menggunakan gramoxone, paraquat, dan pestisida, maka semakin lama produksi petani semakin turun,” ungkap Putri.
Henry kembali menegaskan perlunya usaha pengorganisasian rakyat kelas pekerja. “Kita harus membangun sebuah alternatif untuk merombak pilar-pilar dari kekuatan mereka [korporasi besar-red] mulai tingkat produsen sampai tingkat konsumen,” tegasnya. Henry berharap gerakan yang lebih luas bisa terbentuk bukan hanya Partai buruh dan Partai Hijau Indonesia, tetapi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis: Aghli Maula Hasby dan Adhika Nasihun Farkhan
Penyunting: Sukma Kanthi Nurani
Ilustrator: M. Fajru Rakha