Badan Otoritas Borobudur (BOB) bersama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berencana melakukan pelebaran jalan yang dimulai dari Pasar Plono hingga Kebun Teh Nglinggo, Kulon Progo. Proyek pelebaran jalan yang direncanakan sejak tahun 2022 itu akan digunakan untuk meningkatkan akses pariwisata menuju kawasan Borobudur Highland. Senin (15-01), pengerjaan proyek sudah memasuki tahap pengukuran lahan. Akan tetapi, pengukuran ini mendapatkan penolakan dari warga Plono karena terdapat ketidaksesuaian prosedur pengadaan tanah dengan aturan yang berlaku.
Buntut dari penolakan warga Plono telah mendorong diadakannya audiensi pada Jumat (26-01). Audiensi yang digelar di Kantor Bupati Kulon Progo itu seharusnya dihadiri oleh pihak pemerintah yang terdiri dari, perwakilan pihak Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, BOB, tim satuan kerja dari PUPR, dan pihak warga Plono yang dibersamai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Namun, audiensi yang dijadwalkan pada pukul 13.00 WIB itu menemui kegagalan setelah selama satu setengah jam tertunda. Mangkirnya pihak BOB dan PUPR menjadi alasan utama pembatalan audiensi.
Triyono, Sekretaris Daerah Kulon Progo, menyampaikan alasan ketidakhadiran BOB adalah akibat adanya agenda rapat koordinasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Di sisi lain, PUPR sedang melaksanakan kegiatan di Gunung Kidul. Menanggapi hal tersebut, pihak Pemerintah Kabupaten Kulon Progo berjanji akan menyampaikan permintaan warga untuk bertemu kepada BOB dan PUPR. “Kami pasti, nanti dari Pemda, setelah ini pun akan terus mengundang atau koordinasi. Entah kita yang akan datang ke sana [BOB dan PUPR -red] untuk memberitahukan,” ucap Triyono.
Setelah keluar dari ruang audiensi, BALAIRUNG mewawancarai Mustohal, salah satu warga Plono yang terdampak. Ia menyampaikan kekecewaan terhadap gagalnya agenda audiensi kali ini. Belum lagi warga Plono yang harus melakukan perjalanan jauh sekitar satu jam untuk sampai ke lokasi audiensi. “Kami merasa kecewa terhadap BOB dan PUPR karena mengabaikan kami,” ungkap Mustohal.
Wandi, anggota LBH Yogyakarta yang menemani warga Plono di ruang audiensi menjelaskan bahwa sejak awal warga sudah menebak audiensi kali ini akan gagal. Menurut Wandi, warga hanya menagih kesiapan BOB selaku dalang dari proyek pelebaran jalan di Pasar Plono dan Bupati Kulon Progo selaku fasilitator. “Harapan kita setidaknya dari BOB mau mendengarkan aspirasi warga dan bupati harus memfasilitasi itu, kalo ga bisa memfasilitasi ya jangan keluarkan IPL [Izin Penetapan Lokasi-red],” ucapnya.
Lebih jauh, Wandi menjabarkan ketidaksesuaian yang terjadi sepanjang proyek pelebaran jalan ini dilaksanakan. Ia merasa bahwa banyak sekali kejanggalan dari berbagai pertemuan yang dilakukan dengan warga selama ini, salah satunya adalah konsultasi publik yang dilaksanakan pada tanggal 30 November lalu. Saat itu, pihak BOB dan PUPR terlambat hadir. “Mereka datang telat, lalu pertemuan ditutup. Setelah itu, mereka adakan rapat forum sendiri tanpa melibatkan warga,” jelas Wandi.
“Warga tidak tahu, selain pelebaran jalan itu akan dibangun apalagi,” ucap Wandi. Ia menegaskan bahwa warga membutuhkan keterangan lebih jauh soal lebar jalan serta bangunan-bangunan lain yang akan dibangun nantinya. Wandi mengatakan bahwa sampai sekarang warga belum mandapatkan akses untuk melihat dokumen-dokumen resmi soal proyek pelebaran jalan ini.
Mendukung pernyataan Wandi, Mustohal menerangkan jika warga Plono sudah menerima surat IPL yang diterbitkan Bupati Kulon Progo. Namun, sampai sekarang warga belum diberikan dokumen mengenai berita acara yang menjadi syarat terlampir di surat IPL itu. Mustohal mengatakan, saat konsultasi publik pada 30 November lalu, warga mengajukan syarat-syarat sebagai catatan yang mengiringi penerbitan IPL itu. “Padahal, dulu saat konsultasi publik [warga Plono-red] dijanjikan berita acara atas syarat-syarat di IPL itu,” keluhnya.
Mustohal menyebutkan, isi dari syarat-syarat di dalam dokumen berita acara itu adalah tuntutan warga Plono dalam pengadaan tanah pada proyek ini. Pertama, adanya transparansi anggaran. Kedua, transparansi penggunaan anggaran. Ketiga, pelaksanaan tahapan prosedur sesuai aturan yang ada. Keempat, menuntut pihak penanggung jawab proyek untuk menghargai hak dan martabat warga masyarakat dalam setiap tahapan prosedurnya.
Bagi Wandi, dari awal proses pengadaan tanah sudah tidak sesuai dengan hukum. Ia merasa bahwa seluruh tahapan ini perlu diulang dari awal. Oleh karena itu, warga akan terus meminta hak-haknya dan menolak pengadaan tanah sampai BOB menunjukkan keseriusannya dalam menggarap rencana pembangunan ini. “Sosialisasi tidak ada dan justru lebih banyak intimidasi sepanjang tahapan ini,” jelas Wandi.
Tak luput, Mustohal menceritakan bentuk ancaman dan intimidasi yang dialami warga Plono. Ia mengatakan bahwa intimidasi justru datang dari seorang pejabat dukuh yang kerap memaksa banyak warga untuk menandatangani surat pembebasan lahan. Mustohal melanjutkan, bentuk pemaksaan itu juga dibarengi ancaman, jika tidak mau menandatanganinya maka uang pembebasan lahan warga akan dikonsinyasi di pengadilan. “Pemangku jabatan di tingkat dukuh itu harusnya membantu kami dan melindungi kami, malah kami ditakut-takuti,” ucap Mustohal dengan nada kecewa.
Cerita intimidasi juga datang dari Andreas, warga Plono lainnya. Ia melihat bahwa bentuk pemaksaan untuk menandatangani surat pembebasan lahan bisa datang di waktu kapan saja. Andreas menjabarkan bahwa dirinya dihubungi oleh seorang pejabat dukuh pada pukul sepuluh malam untuk bertemu di rumah pejabat dukuh tersebut. Di sana, ia dipaksa untuk menandatangani surat pembebasan lahan saat itu juga. “Waktu saya datang kesana, saya tanya ‘Mana surat tugas dan SK-nya?’, dia bilang, ‘Tidak ada’. Yah saya tidak mau tanda tangan,” tutur Andreas.
Setelah gagalnya audiensi di kantor Bupati Kulon Progo, Mustohal mengatakan jika sampai beberapa waktu pihak BOB dan PUPR tak kunjung menanggapi warga Plono, maka perjuangan warga Plono selanjutnya adalah dengan menghadap Ngarso Dalem atau Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ia memberitahukan bahwa pihaknya kini sudah berkomunikasi dengan pihak Keraton guna rencana pertemuan ke depan. “Namun, jika BOB dan PUPR sudah memberikan jawaban, ya kami tidak perlu sampai harus kesana,” lugas Mustohal.
Penulis : Fanni Calista dan Gayuh Waskito
Penyunting : Ester Veny
Fotografer : Fanni Calista
1 komentar
Lebarkan jalan tidak akan mengurangi kemacetan. Seharusnya jalur menuju kawasan wisata berorientasi pada transit dan pejalan kaki! Aparat carbrain tingkat akut!