Demi mencari penghasilan, Isabela Pelu merantau jauh-jauh ke Jakarta Barat dari tanah kelahirannya di Nusa Tenggara Timur. Namun, alih-alih memperoleh rezeki, Isabela malah disekap oleh pemberi kerjanya ketika ia bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Selama penyekapan yang berlangsung sejak September 2023 itu, tubuh Isabela dihajar dengan benda tumpul. “Ia juga tidak dibayar gajinya dan tidak diberi makan. Isabela akhirnya menyelamatkan diri dengan memanjat pagar untuk meminta pertolongan pada warga sekitar,” tutur Lita Anggraini dari Jaringan Nasional Advokasi PRT (JALA PRT). Cerita Isabela Pelu itu ia sampaikan dalam konferensi pers bertajuk “Kisah Isabela Pelu: RUU PRT Disandera Pimpinan DPR RI, Kekerasan Terhadap PRT Terus Mengintai di Balik Pintu” pada Minggu (25-02).Â
Dalam penjabarannya, Lita menyebut situasi kerja PRT seperti yang dialami oleh Isabela merupakan perbudakan modern. Beragam wujud kekerasan seperti pelecehan seksual, tidak dibayarkannya gaji, dan penganiayaan terus merundung para PRT. Berkaca dari kasus-kasus yang ditangani oleh JALA PRT, Lita menyebutkan bahwa kekerasan terhadap PRT bisa berlangsung sampai bertahun-tahun dengan intensitas yang terus meningkat. “PRT ini kan bekerja di rumah-rumah yang berlatar tembok dan pagar tinggi. Kekerasan terus mengintai mereka di balik tembok dan pagar itu,” tegas Lita.Â
Menyambung Lita, Khotimun dari LBH APIK Indonesia menyayangkan tiadanya peraturan perundang-undangan yang memayungi hak-hak dan kesejahteraan PRT. Bahkan, menurut Khotimun, masyarakat sendiri tidak peka atas isu terkait PRT. “Mereka belum mengakui PRT sebagai pekerja,” ujar Khotimun.
Lebih lanjut, Khotimun kecewa pada DPR RI yang tak kunjung mengetukkan palu untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT). Padahal, perjuangan para aktivis dan PRT demi undang-undang tersebut sudah berlangsung selama 20 tahun. Polemik ini makin runyam karena DPR RI sama sekali tidak menunjukkan upaya pengesahan RUU PPRT pada akhir masa jabatan mereka di tahun 2024. “Kalau misalnya nanti harus menunggu periode berikutnya, itu berarti harus pengajuan ulang. Ini akan memakan waktu sangat panjang dan melelahkan karena pembahasan draft semuanya dari nol,” keluh Khotimun.
Sementara itu, Dian Novita dari LBH APIK Jakarta tak habis pikir dengan DPR RI yang enggan segera mengesahkan RUU PPRT. Ia menyinggung soal adanya data yang diterbitkan oleh Kompas Perempuan. Dalam data tersebut, ada 2.344 kasus kekerasan terhadap PRT yang terjadi sedari tahun 2005 sampai 2022. “Bayangkan, bagaimana di negara yang katanya menganut nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam Pancasila ini, ternyata masih belum aware terhadap nasib teman-teman PRT,” ujar Dian dengan kesal.Â
Sehaluan dengan Dian, Mutiara Ika selaku perwakilan Perempuan Mahardika menegaskan pentingnya keberadaan UU PPRT. Ia menjelaskan bahwa UU PPRT akan menjadi landasan untuk mengakui PRT sebagai pekerja. Menurut Mutiara, pengakuan itu merupakan gerbang menuju kesejahteraan bagi para PRT. Dengan adanya UU PPRT, mereka akan memiliki perlindungan hukum untuk membicarakan status, upah, keselamatan, dan pengaturan waktu kerja. “UU PPRT akan memberikan kehadiran negara untuk menjamin kawan-kawan PRT terlindung dari kekerasan dan eksploitasi,” jelas Mutiara.Â
Menyambung Mutiara, Anis Hidayah dari Komnas HAM mengupas sejumlah persoalan dasar yang menjadi duri dalam dunia kerja para PRT. Anis mengatakan bahwa ketiadaan pengakuan PRT sebagai pekerja dari negara merupakan persoalan fundamental yang mendasari maraknya kasus-kasus kekerasan yang dialami PRT. Selain itu, ada pula stigmatisasi yang merendahkan terhadap PRT. Anis juga mengeluhkan lemahnya dukungan politik dalam pengesahan UU PPRT. “Belum ada political will [kehendak politik -red] dari pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO 189 tentang design work for domestic workers,” paparnya.Â
Anis menceritakan Komnas HAM telah menyampaikan permasalahan PRT di Indonesia ini kepada komite Economic and Social Council (ECOSOC) saat berlangsungnya sidang ECOSOC di Jenewa pada 1-2 Februari 2023 lalu. Berdasarkan pengakuan Anis, komite ECOSOC sudah menghujani pemerintah Indonesia dengan berbagai pertanyaan mengenai situasi PRT di Indonesia. Mereka juga mempertanyakan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia jika DPR RI terus-terusan menunda pengesahan RUU PPRT. “Setelah ditanya berkali-kali, pemerintah tidak bisa memberikan jawaban,” ungkap Anis.Â
Tidak cuma Anis, Ika Agustina dari Kalyanamitra menceritakan komite The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang turut mengangkat isu PRT di Indonesia. Ika menyebutkan komite CEDAW meminta Indonesia segera mengesahkan RUU PPRT pada Oktober 2021. Namun, pemerintah dan DPR RI belum juga mematuhi rekomendasi komite CEDAW hingga hari ini. “Jika negara terus membiarkan situasi PRT tanpa perlindungan hukum, sebetulnya negara telah melakukan pelanggaran HAM,” tandas Ika.Â
Jelang akhir konferensi pers, Ajeng Astuti dari JALA PRT membacakan rilis pers. Dalam dokumen yang ia bacakan, ada tiga tuntutan dari Barisan Perempuan untuk UU PPRT. Pertama, mereka mendesak pimpinan DPR RI, ketua fraksi, dan segenap anggota DPR RI untuk segera mengesahkan RUU PPRT. Kedua, mereka menuntut pemerintah untuk menindak tegas praktik perdagangan manusia terhadap PRT yang dilakukan oleh para agen penyalur. Ketiga, mereka mengajak masyarakat untuk turut serta mendukung perlindungan PRT.
Penulis: Sidney Alvionita Saputra
Penyunting:Â M. Fahrul Muharman
Ilustrator:Â Nabillah Faisal Azzahra