Pada Kamis (18-01), massa berpakaian serba hitam berkumpul di tepi jalan kawasan Tugu Yogyakarta. Di bawah gerimis, mereka berdiri seraya membentangkan spanduk bertuliskan “Aksi Kamisan” dan membawa foto para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Aksi Kamisan Yogyakarta sore itu dilangsungkan sebagai peringatan 17 tahun, terhitung sejak tahun 2007. Peringatan 17 tahun Aksi Kamisan ini dilaksanakan serentak di berbagai kota.
Rahman, koordinator Aksi Kamisan Yogyakarta, menjelaskan bahwa Aksi Kamisan di Yogyakarta sendiri pertama kali dilangsungkan pada tahun 2013 atas inisiasi dari Social Movement Institute (SMI). Pada peringatan 17 tahun ini, Aksi Kamisan tetap dilakukan dengan aksi diam yang disertai serangkaian acara, meliputi pembacaan puisi, orasi politik, pementasan teater, dan pernyataan sikap. Menurut Rahman, antusiasme massa 17 tahun Aksi Kamisan di Yogyakarta terhitung sangat tinggi dibandingkan dengan biasanya. “Dari teman-teman mahasiswa dan dari teman-teman SMI juga ikut terlibat memperingati [Aksi Kamisan-red],” ucap Rahman.
Tuntutan yang dibawa pada aksi sore itu masih selaras dengan tuntutan pada aksi-aksi Kamisan sebelumnya, yakni untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM demi para korban. Hal tersebut disampaikan oleh Rahman yang juga menyatakan bahwa pemerintah sempat menanggapi tuntutan. Ia menyebutkan tanggapan tersebut berupa pengakuan terjadinya 12 pelanggaran HAM pada 11 Januari 2023 lalu. “Terakhir itu dapat tanggapan, cuma dengan mengeluarkan penetapan pelanggaran HAM itu,” jelas Rahman.
Meskipun pemerintah sudah mengakui beberapa kasus pelanggaran HAM, Rahman menyayangkan bahwa dalang-dalang yang berperan dalam kasus pelanggaran HAM masih berkeliaran. “Penetapan pelanggaran HAM itu hal yang seharusnya tidak dikatakan saat ini, tapi dari dulu sebenarnya, cuma pemerintah juga mengulur waktu,” ucap Rahman. Selain itu, Rahman juga menganggap bahwa penetapan pelanggaran HAM tersebut hanya sekedar alat untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin negara saja.
Menurut Komar, salah satu peserta aksi, pengakuan pemerintah tersebut hanya sebagai tindak lanjut yang dilakukan karena sudah terlanjur mengundang sorotan masyarakat. Komar menyebutkan bahwa tanggapan pemerintah masih meleset dari substansi yang mereka suarakan. “Jadi pemerintah harus meloloskan beberapa isu yang memang melanggar HAM, seperti yang dilakukan Jokowi kemarin [pengakuan 12 pelanggaran HAM -red]. Tapi kan, substansi atau esensinya belum tercapai,” ungkapnya.
Selain menyuarakan tuntutan penyelesaian kasus pelanggaran HAM, Musab, salah satu peserta aksi, menuturkan bahwa Aksi Kamisan Yogyakarta juga kerap mengangkat isu lokal. Misalnya, isu Wadas dan penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro. Namun, Musab menyatakan bahwa tuntutan mereka juga tidak mendapatkan respon dari pemerintah Yogyakarta. “Kalo di Jogja ada isu lokal yang kita angkat di Kamisan, juga tidak mendapatkan respon dari pemerintah Jogja sendiri,” jelasnya.
Musab menjelaskan bahwa Aksi Kamisan di ibu kota juga mengirimkan surat kepada Presiden setiap hari Kamis. Akan tetapi, hal tersebut juga tak banyak membuahkan hasil. Dengan berbagai ketidakpastian tersebut, Musab menyatakan bahwa ia masih ingin mengikuti Aksi Kamisan secara rutin dan secara aktif bergerak untuk perubahan keadilan pelanggaran HAM. Hal tersebut turut disampaikan oleh Rahman. “Belum ada kejelasan lagi terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM, makanya tiap kamis kita terus mengawal itu,” tutur Rahman.
Komar juga merasakan hal yang sama, ia memandang bahwa Aksi Kamisan merupakan pengingat akan keadilan yang masih lemah dan sarana memperkuat solidaritas bagi sesama pegiat HAM. Hal ini pula yang melatarbelakangi inisiatif Komar untuk turut menggaungkan tuntutan dalam Aksi Kamisan Yogyakarta. “Aku pribadi berharap Aksi Kamisan gak ada lagi dong, karena itu menandakan kasus HAM telah tuntas di negeri ini,” tutur Komar. Meski begitu, ia juga menuturkan ketidakpercayaannya terhadap janji-janji manis calon pemimpin negara untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut.
Setelah aksi diam, acara 17 Tahun Aksi Kamisan dilanjutkan dengan panggung terbuka. Para peserta menggaungkan keresahannya melalui puisi, teater, hingga orasi yang telah mereka siapkan. Bait-bait puisi dari salah seorang peserta aksi seketika menggetarkan panggung terbuka. Ekspresi, iringan musik, dan tegasnya suara seakan mewakili pedihnya korban-korban kasus pelanggaran HAM. “Tujuh belas tahun Aksi Kamisan, hidup korban! Jangan diam! Lawan!” tutup peserta aksi tersebut sembari mengajak massa aksi menggaungkan tekad.
Penulis: Aghits Azka Aghnia, Winema Aleshanee Rasti (Magang), dan Andreas Hanchel Parlindungan Sihombing
Penyunting: Fanni Calista
Fotografer: Bayu Tirta Hanggara