Jumat (28-10), Indonesian Center Environmental Law (ICEL) menyelenggarakan diskusi daring yang bertajuk “Gender Impact Assessment: Pengarusutamaan Gender dalam Penyusunan dan Penilaian AMDAL”. Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber, dimulai dari Apik Karyana, Kepala Biro Perencanaan dan Koordinator Pokja Pengarusutamaan Gender Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK); Farid Mohammad, Kepala Subdirektorat Pengembangan Sistem Kajian Dampak Lingkungan; Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL; hingga Prillia Kartika Apsari, peneliti ICEL. Melalui diskusi ini, ICEL mencoba mengintegrasikan aspek gender secara prosedural dan substantif dalam proses penyusunan dan penilaian dokumen lingkungan, khususnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).
Lewat temuannya bersama ICEL, Grita mengungkap bahwa masih banyak kelompok rentan yang terdampak dari suatu usaha atau kegiatan. Kelompok rentan tersebut, antara lain perempuan, anak-anak, dan lansia. “Ketika kami melakukan review terhadap beberapa dokumen AMDAL yang ada, kami melihat bagaimana kelompok rentan ini minim sekali diakomodasi,” ujar Grita.
Alih-alih berdiam diri saja menyaksikan hal tersebut, Ia mengungkapkan bahwa ICEL juga berupaya untuk mengambil langkah preventif terhadap situasi tersebut melalui penyusunan AMDAL. Grita menerangkan bahwa fungsi dari AMDAL ini adalah sebagai instrumen yang digunakan untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan. “Jika kita lihat lebih jauh, AMDAL bertujuan untuk mencegah dampak-dampak lebih buruk terhadap kelompok rentan ini,” ungkap Grita.
Untuk mengakomodasi kelompok rentan, Apik berpendapat bahwa Pengarusutamaan Gender (PUG) juga harus dilakukan dalam penyusunan dan penilaian AMDAL. Menurutnya, KLHK memiliki regulasi-regulasi yang melandasi program-program PUG ini dilaksanakan. “Ada program kegiatan yang harus dilaksanakan sebagai mandat yang diberikan dari pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujar Apik.
Farid kemudian melanjutkan penjelasan lebih rinci mengenai Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dalam isinya terdapat PUG dalam AMDAL. Proses AMDAL dalam PP No.22 tahun 2021 mulai mengerucut pada pelibatan masyarakat. Masyarakat terkena dampak langsung yang disebutkan dalam Pasal 32 PP No. 22 tahun 2021, antara lain masyarakat rentan, masyarakat adat, serta kelompok laki-laki dan perempuan dengan memperhatikan kesetaraan gender,” kata Farid.
Dalam presentasinya, Farid menyampaikan penyertaan Gender dalam rangka PUG seperti tertuang pada Pasal 32 PP No. 22 tahun 2021. Peraturan tersebut mengatur rangkaian strategi untuk mengintegrasikan gender dalam pengembangan institusi, kebijakan dan program kerja. Selain itu, dalam pelaksanaanya, peraturan ini juga mengatur kerjasama dengan pihak eksternal supaya menyertakan gender dalam AMDAL. “Pada awalnya, proses dilakukan secara disisipkan, tapi dalam pelaksanaanya malah terbentuk secara alami dan proporsionalnya sudah nampak” ujar Farid.
Berdasarkan dokumen AMDAL, Prila menjelaskan alasan PUG dirasa penting. “Sistem budaya patriarki yang mengakar menyebabkan perempuan berada dalam posisi yang rentan mendapatkan kesenjangan dalam pemenuhan hak-haknya,” ujar Prila. Hal ini Prila kaitkan dengan pembangunan yang berdampak buruk pada lingkungan yang kemudian menyebabkan konflik agraria, produksi pertanian yang berkurang, dan mata air rusak. Di samping berbagai dampak tersebut, menurut Prila, pembangunan juga berdampak kepada perempuan.
Di akhir pemaparan materi, Grita menerangkan mengenai konsep yang diprakarsai oleh ICEL yang bernama Gender Impact Assessment (GIA). Konsep ini pada dasarnya memiliki empat tahapan penyusunan AMDAL berbasis gender, yaitu pengumuman, konsultasi publik, pemeriksaan formulir, dan Penilaian AMDAL. Dalam penyusunannya, ICEL menjadikan Peraturan Menteri LHK No.1 31 Tahun 2017 sebagai dasar acuannya .
Penulis: Dias Nashrul Fatha, Muhammad Fariz Ardan, dan Reyhan Maulana Adityawan (Magang)
Penyunting: M. Fahrul Muharman
Fotografer: Natasya Mutia Dewi (Magang)