Sabtu (5-11), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengadakan diskusi bertajuk “Derita Minoritas Agama, Penghayat Kepercayaan, dan Transgender” sebagai prarilis dari buku berjudul Antologi Liputan di Sumba Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Aceh. Dilaksanakan secara daring melalui Zoom, diskusi ini menghadirkan Bambang Muryanto sebagai penyunting buku dan Tri Noviana sebagai manajer program Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS). Diskusi ini membahas masalah intoleransi dan diskriminasi pada penghayat kepercayaan.
Bambang Muryanto memantik diskusi dengan pemaparan terkait ketidakmerataan hak pendidikan bagi penganut penghayat kepercayaan. Menurut Bambang, pendidik penghayat kepercayaan masih sangat kurang jumlahnya. Bahkan, beberapa di antaranya masih banyak yang tidak tahu tentang mekanisme pengajarannya di sekolah. “Meskipun pemerintah sudah menjamin hak pendidikan sejak 2017, tetapi pelaksanaannya itu yang kemudian masih tersendat-sendat,” ungkap Bambang. Ia kemudian memisalkan bahwa di Yogyakarta, bukan persoalan yang mudah bagi anak-anak pemeluk penghayat kepercayaan untuk mendapatkan pelajaran agama yang sesuai dengan keyakinannya.
Selain itu, menurut Bambang, beberapa siswa penghayat kepercayaan sampai-sampai harus mendapatkan tekanan dari guru mereka karena memiliki kepercayaan di luar enam agama yang diakui di Indonesia. Salah satunya adalah beberapa siswa penganut Marapu di Sumba yang diungkapkan Bambang tidak mendapatkan hak pendidikan, bahkan mendapatkan diskriminasi dari guru mereka. Padahal, menurut Bambang, hak pendidikan sudah terjamin dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 tahun 2017.
Di sisi lain, Tri Noviana berpendapat bahwa persoalan pelanggaran HAM penghayat kepercayaan telah menjadi permasalahan yang tidak terselesaikan di Indonesia hingga saat ini. “Beberapa siswa di Magelang yang menganut kepercayaan penghayat dipaksa untuk mengikuti agama di daerah mereka,” ungkap Tri. Ia juga bercerita bahwa di Gunung Kidul terdapat empat siswa yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan penghayat kepercayaan karena kesulitan mengurus pelayanannya. Dikatakan oleh Tri, mereka harus menyerahkan surat keterangan sebagai syarat, lalu melewati berbagai diskusi dan advokasi sebelum para siswa mendapatkan pelayanan pendidikan tersebut.
Merespons fenomena ini, Didik Wardaya sebagai salah satu audiens turut berkomentar. “Dalam menyelenggarakan pendidikan, pasti tidak lepas dari UU No. 20 tahun 2003,” ungkap Didik. UU tersebut mengatur sistem penyelenggaraan pendidikan yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. Menurut Didik, sistem tersebut dicapai dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, serta kemajemukan bangsa.
Didik juga menyebutkan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang menjelaskan bahwa setiap siswa diberikan pelayanan pendidikan agama sesuai agama yang dianut guru yang beragama sama. Ia juga mengungkapkan bahwa program studi penghayat kepercayaan baru ditemukan di Universitas 17 Agustus 1945 Semarang. Para lulusannya nanti bisa memenuhi pelayanan pendidikan bagi peserta didik penghayat kepercayaan.
Sebagai penutup, Noviana menambahkan bahwa di Indonesia sendiri belum terdapat undang-undang khusus yang mengatur mengenai sistem layanan pendidikan penghayat kepercayaan. Koordinasi dan konsolidasi dengan Kemendikbud mengenai dimasukkannya layanan pendidikan penghayat kepercayaan dalam RUU tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi hal yang mendesak. Saat ini pendidikan penghayat kepercayaan merujuk kepada 1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan YME pada Satuan Pendidikan, 2) Putusan Mahkamah Konstitusi No 97/PUU-XIV/2016 yang menyatakan penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah, dan 3) Surat Edaran Kemendikbud bagi siswa penganut kepercayaan di sekolah. “LKiS sudah mendapat data dari Kemendikbud Ristek yang dapat kami jadikan acuan untuk menyusun rekomendasi-rekomendasi kebijakan layanan pendidikan penghayat kepercayaan,” jelas Noviana.
Penulis: Ammar Amirul Mukminin, Aulia Rahmawati, dan Marcelina Eka Destia (Magang)
Penyunting: Catharina Maida M.
Fotografer: Allief Sony Ramdhan Aktriadi (Magang)