Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober lalu nampaknya masih menyiratkan duka yang mendalam di benak masyarakat Indonesia. Sejak saat itu, serangkaian doa dan ucapan belasungkawa terus mengalir dari berbagai elemen dan kelompok masyarakat di penjuru negeri, tak terkecuali dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Sehubungan dengan tragedi tersebut, Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) UGM mengadakan acara yang bertajuk “Doa dan Refleksi Bersama” pada Selasa (04-10). Bertempat di GOR Pancasila UGM, acara ini dihadiri oleh Arie Sudjito, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni; perwakilan dari masing-masing UKM UGM, dan para anggota kelompok suporter di UGM.
Acara diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Himne Gadjah Mada, kemudian dilanjutkan sesi pembukaan oleh Arie Sudjito. Dalam pidatonya, Arie mengungkapkan perasaan duka cita yang mendalam bagi para korban Tragedi Kanjuruhan. Ia menyampaikan jangan sampai kejadian yang sama terulang kembali ketika Pekan Olahraga dan Seni Gadjah Mada dilaksanakan dalam waktu dekat. “Semoga tragedi di Kanjuruhan menjadi pengingat bahwa tradisi olahraga adalah tradisi menjunjung mentalitas yang sportif,” terang Arie.
Setelah sesi pembukaan, acara dilanjutkan dengan doa bersama lintas agama dan sesi refleksi. Pada sesi refleksi, peserta yang hadir dipersilahkan maju ke depan jika ada suatu hal yang ingin disampaikan berkaitan dengan Tragedi Kanjuruhan. Salah satu peserta, Ardhias Nauvaly, menyampaikan kegelisahannya atas tragedi yang telah menewaskan ratusan korban jiwa tersebut. Ia juga menyinggung soal penembakan gas air mata ke tribun penonton oleh aparat kepolisian meskipun hal tersebut telah dilarang oleh asosiasi sepak bola dunia, FIFA. “Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kejadian yang sama akan kembali terulang setelah ini,” tegas Dhias. Ia juga menuntut untuk otoritas terkait mengusut tuntas pihak-pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa di Kanjuruhan.
Beberapa saat kemudian, nyanyian suporter bertajuk “Salam Satu Jiwa” khas Aremania, sebutan untuk suporter Arema, seketika menggema di GOR Pancasila. Nyanyian tersebut mengiringi perwakilan dari kelompok suporter Arema UGM dan Bonek UGM untuk turut menyampaikan refleksi di hadapan para peserta yang hadir di acara tersebut. Yoyok, salah satu perwakilan Arema UGM, menyatakan bahwa dari pihak Aremania tidak mencari pembenaran untuk penonton yang turun ke lapangan. Akan tetapi, ia menyayangkan aparat mengambil tindakan cepat dengan melontarkan gas air mata yang diarahkan ke tribun. Menurutnya, yang lebih patut diberi tindakan adalah penonton yang turun ke lapangan. “Tindakan tersebut sangat disayangkan mengingat di tribun juga ada anak-anak di bawah umur,” ucap Yoyok.
Yoyok juga menyayangkan keputusan PT. Liga Indonesia Baru untuk memundurkan waktu pertandingan dari sore hari ke malam hari. Selain itu, ia juga menyorot panitia pelaksana yang mencetak 42.000 tiket. Jumlah tersebut ternyata melebihi kapasitas maksimum stadion yang hanya dapat menampung 38.000 orang. “Meskipun selisihnya terkesan sedikit, menambahkan 1000 orang saja akan menyebabkan penonton saling berdesakan, ditambah ketika dilontarkan gas air mata ke arah mereka,” terangnya.
Melanjutkan Yoyok, Ganta, salah satu perwakilan dari Bonek UGM, juga turut menyayangkan terjadinya penembakan gas air mata ke tribun oleh aparat kepolisian. Kejadian tersebut mengingatkannya pada tragedi Arogansi Aparat Tiga Juni di Gelora 10 Nopember Surabaya. Belasan orang luka-luka dan satu orang tewas karena berdesakan dengan penonton lain akibat ditembaki gas air mata oleh aparat kepolisian. “Sudah sepuluh tahun kejadian tersebut berlalu dan masih belum ada perubahan dari pihak kepolisian hingga terulang di Tragedi Kanjuruhan kemarin,” pungkas Ganta.
Penulis: Cahya Saputra
Penyunting: Renova Zidane Aurelio
Fotografer: M. Fahrul Muharman