
©Damar/Bal
Selasa (30-08), Yogyakarta Youth Contemporary Arts (YYCA) menyelenggarakan diskusi dengan tajuk “Aksesibilitas Seni”. Menggandeng Asosiasi Jurnalis Independen Yogyakarta, diskusi kali ini merupakan penutup dari rangkaian acara diskusi dan pameran seni oleh YYCA dalam rangka memperingati 26 tahun kasus pembunuhan jurnalis Bernas, Muhammad Syaifuddin atau akrab disapa Udin. Diskusi yang diselenggarakan di Kafe Susu Tuli tersebut dipantik oleh Sanne Oorthuizen dan Alec Steadman, kurator seni dari Belanda dan Inggris. Anang Saptoto, seniman dan desainer grafis, turut hadir sebagai moderator.
Arte Útil, salah satu situs web mengenai seni, menjadi topik pembuka diskusi. Menurut Sanne, Arte Útil bukan hanya sebatas situs yang menyuguhkan objek seni pada umumnya, seperti patung, pahatan, dan lukisan. Situs tersebut menarik perhatian Sanne karena praktik-praktik seni yang diunggah dapat memberikan dampak terhadap komunitas. “Praktik seni tidak hanya tentang pahatan atau lukisan, tetapi juga dapat bekerja sama dan mendukung komunitas,” terangnya. Sanne juga menambahkan bahwa seni semacam itu memiliki nilai sosial dan aktivisme.
Alec melanjutkan diskusi dengan menampilkan contoh dari praktik seni yang memberikan dampak terhadap komunitas, yaitu The Silent University. The Silent University adalah proyek garapan salah satu seniman asal Turki, Ahmet Öğüt. Alec menjelaskan proyek seni tersebut berupa pembentukan tempat belajar bagi para pengungsi di Turki. Ia menambahkan, sebelum melarikan diri dari negaranya, beberapa dari pengungsi tersebut memiliki latar belakang profesi sebagai guru, penulis, ataupun jurnalis. Namun, mereka tidak dapat bekerja di universitas atau perusahaan pada umumnya sehingga The Silent University dapat menjadi tempat belajar dan bekerja bagi para pengungsi. “Dari komunitas pengungsi dan untuk komunitas pengungsi, The Silent University dapat menjadi platform berbagi pengetahuan untuk mereka,” jelas Alec.
Setelah penjelasan Alec mengenai The Silent University, pertanyaan muncul dari salah satu peserta diskusi yang tidak melihat aspek seni pada proyek tersebut. Alec menjelaskan bahwa konsep dari proyek tersebut merupakan sesuatu yang dapat dikategorikan dengan seni. “Konsep ‘universitas’ untuk pengungsi dan oleh pengungsi merupakan sebuah praktik seni,” ungkapnya. Anang menambahkan bahwa dalam masa kontemporer, definisi seni memang menjadi tidak terbatas dan lebih fleksibel. “Karya seni bukan hanya tentang objek yang dapat dipajang saja seperti yang berada di pameran,” sahut Anang.
Menjelang akhir waktu diskusi, Sanne mengangkat topik mengenai konflik warga lokal Kampung Wates dengan TNI Angkatan Udara. Ia memaparkan bahwa konflik sengketa tanah tersebut telah membuat warga Wates bergerak dalam seni budaya untuk mempertahankan tanah mereka. Sanne menyebutkan bentuk gerakan tersebut, antara lain membentuk komunitas, membuat tradisi baru berbasis sejarah lokal, hingga membangun Museum Wakare yang diresmikan oleh Kementerian Kebudayaan. Sanne menjelaskan hal tersebut dilakukan warga dalam rangka melegitimasi tanah mereka sebagai langkah preventif ketika terjadi konflik tanah kembali. “Ini semua tidak cuma soal seni atau budaya, tetapi juga politik atau aktivisme,” pungkas Sanne.
Reporter: Jasmine Hasna, Cahya Saputra, dan Sinta Damayanti
Penulis: Cahya Saputra dan Sinta Damayanti
Penyunting: Renova Zidane Aurelio
Fotografer: Zidane Damar