
©Bintang/Bal
Yogyakarta, dengan segala citra dan predikat terbaiknya, dikenal sebagai Kota Pelajar. Menjadi Kota Pelajar dengan segudang kampus dan institusi pendidikan membuat sorot mata semakin lekat memperhatikan isu yang terjadi di dalamnya. Belakangan, peristiwa klitih yang pelakunya mayoritas pelajar sempat menggegerkan media lokal Yogyakarta maupun pemberitaan nasional. Pasalnya, peristiwa klitih ini tidak hanya terjadi dalam satu tahun terakhir, tetapi sekitar satu dekade terakhir. Hal inilah yang membuat banyak orang semakin ragu dengan segala citra yang ditorehkan maupun metode pembelajaran yang digunakan di Yogyakarta. Apakah citra baik yang selama ini digaungkan merupakan suatu realita atau sebenarnya hanya upaya untuk memoles realita kebobrokan struktural di dalamnya?Â
Atas dasar keresahan tersebut, Balairung menggelar diskusi bertajuk “Kala Pendidikan Melanggengkan Kekerasan” pada Sabtu (06-08). Diskusi diselenggarakan secara daring yang merupakan bentuk penyambutan Majalah Balairung Edisi 58. Diskusi ini menghadirkan Ben Laksana, mahasiswa Doktoral Sosiologi Pendidikan Victoria University of Wellington dan Ian Wilson, dosen senior Ilmu Politik dan Keamanan Murdoch University,Â
Ben mengawali diskusinya dengan berkaca pada realita kehidupan anak muda saat ini, yang menurutnya, sangat erat dengan kekerasan. Menurut Ben, kekerasan yang dimaksud juga termasuk dengan segala tekanan yang mereka hadapi saat ini. “Anak muda sekarang dihadapkan pada layanan umum dasar yang tidak memadai, akses pendidikan berkualitas terjangkau yang terbatas, hingga akses kesehatan mental terjangkau yang sulit”, paparnya.Â
Terkait klitih, Ben merasa muak atas pemberitaan klitih yang dianggap hanya sebatas permasalahan moral individu saja, seperti kurangnya pembelajaran agama dan peran orang tua. Beberapa hal tersebut, menurutnya, memang turut berkontribusi sebagai faktor pendukung. Namun, menurut Ben, sepatutnya kita dapat menilik juga lebih jauh terkait permasalah struktural yang terjadi di baliknya. Ben mencontohkan beberapa permasalahan, seperti degradasi lingkungan, climate anxiety, dan kemerosotan demokrasi yang sering kali dipersalahkan kepada generasi anak muda saat ini. “Ada banyak sekali kekerasan dan tekanan yang anak muda hari ini hadapi dan bukan tidak mungkin, jika kekerasan pula yang akhirnya menjadi jalan keluarnya,” tambahnya.Â
Sebanding dengan Ben, Ian berpendapat bahwa fenomena klitih ini menjadi bentuk komunikasi sosial yang disampaikan melalui jalan kekerasan terfragmentasi. Lebih lanjut, Ian memaparkan, faktor kemunculan klitih beragam, seperti sempitnya relasi untuk berbagi, permasalahan modal, hingga neoliberalisasi pendidikan. Menurutnya, klitih tidak ada hubungannya sama sekali dengan permasalahan teritorial suatu daerah, apalagi terkait penyelewengan moral dan agama. “Malah tindakan klitih ini sendiri yang menyelewengkan agama dan norma lainnya,” papar Ian.
Terkait klitih dan kekerasan, Ian menggambarkan klitih sebagai fenomena yang menarik, sebab di dalamnya tidak menurut pada unsur-unsur kekerasan yang jamak dipahami. Menurutnya, klitih sangat berbeda dengan isu premanisme, seperti merampok, merampas, dan memeras uang yang dapat dipahami sebagai tindakan kejahatan di Indonesia. Ian memaparkan bahwa aparat kepolisian juga tidak mampu memahami kekerasan ini. Ia menjelaskan bahwa klitih tidak terbentuk atas nama organisasi, ide, atau identitas. “Malah kalau mau melihat ke belakang, fenomena klitih ini menghubungkan antara pelaku dan korban yang tidak saling mengenal, dan ini lepas dari norma kekerasan teritorial yang jamak dipahami sebelumnya,” imbuhnya.
Sependapat dengan Ben dan Ian, Rama salah satu peserta diskusi juga turut berpendapat mengenai permasalahan klitih. Menurut Rama, klitih merupakan perkembangan dari pertarungan geng sekolah yang ingin membuktikan kekuatan dirinya kepada orang secara acak. Ia memaparkan bahwa klitih berakar dari keberadaan geng suporter antarsekolah karena eksistensi dan nama sekolah kerap kali dipertaruhkan.Â
Ia juga menceritakan masa-masa bersekolahnya di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yogyakarta. Menurutnya, beberapa anak diberi pedang oleh kakak kelasnya dan mengharuskan pedang tersebut memiliki bercak darah agar anak tersebut diakui. “Jadi, menurut saya harus ada wadah yang tepat di mana mereka dapat menunjukkan ekspresi sekaligus solidaritas sekolah,” ujarnya.
Terkait wadah berekspresi, menurut Ben ruang ekspresi di ranah pendidikan tidak sepenuhnya tertutup, tetapi terdapat pengerucutan yang terbatas. Lebih lanjut, menurutnya, pengerucutan itu disebabkan oleh institusi pendidikan yang terlalu berorientasi untuk mencetak pelajar sesuai dengan kebutuhan negara, agama, dan masyarakat. Menurut Ben, hal itulah yang memicu banyaknya anak yang tidak menemukan titik temu dalam mencari ruang ekspresi di sekolah. Hal ini membuat anak itu mencari ruang ekspresi lain di luar sekolah, salah satunya adalah melalui klitih. “Ruang pendidikan bukannya membuka peluang atau kemungkinan, tetapi malah mengkonstruksi anak agar sesuai dengan norma, politik, dan sebagainya,” pungkasnya.
Penulis: Cindra Karunia, Elvira Sundari, dan Selma Karamy
Penyunting: Akbar Bagus Nugroho
Fotografer: Aditya M. Bintang