
©Nabilah/Bal
Jumat (15-07), Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan diskusi bertajuk “Menuju Pilkada Serentak 2024: Kontroversi Penunjukan Kepala Daerah Pasca Putusan MK”. Diskusi ini dihadiri oleh tiga narasumber; yakni Sulistyowati, Kuasa Hukum Pemohon Judicial Review pada Putusan MK 15/PUU-XX/2022; Sukaca, Analisis Hukum Ahli Madya Kementerian Dalam Negeri; dan Fadli Ramadhani, Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi.
Memulai diskusi, Sulistyowati menjelaskan permasalahan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengeluarkan putusan Nomor 15/PUU-XX/2022. Putusan itu berisi pernyataan Pemohon bahwa Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada, pengangkatan Jabatan Pimpinan Tinggi Madya dan Tinggi Pratama dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur dan bupati/walikota. Hal ini bertentangan dengan pasal yang diajukan sebagai acuan perkara yang berisi pejabat pemerintah dipilih secara demokratis. “Rakyat memegang penuh hak memilih pemimpin. Dengan demikian, ada regulasi yang tidak jelas dari pasal tersebut,” jelas Sulistyowati.
Sulistyowati juga turut menjelaskan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2019 tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam pasal tersebut, masyarakat diberikan laporan terkait capaian kinerja pemerintahan daerah yang akan ditunjukkan calon saat Pilkada. “Orang yang sebelumnya tidak mencalonkan diri harus melanjutkan suatu kinerja. Menurut kami, ini tidak sesuai,” ungkap Sulistyowati.
Dalam pemilihan kepala daerah yang akan diadakan pada 2024, Sulistyowati menuntut untuk tidak menghilangkan hak para Pemohon dalam memilih. Menurutnya, dengan adanya penunjukan kepala daerah akan mencederai demokrasi. “Tidak mungkin jika kami harus menerima seseorang yang tidak kami kenal,” jelas Sulistyowati.
Bertentangan pendapat dengan Sulistyowati, Sukaca menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah yang dilakukan pemerintah telah sesuai aturan konstitusional. Sukaca juga menuturkan peraturan peralihan dimunculkan untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara serentak. “Pilkada serentak bertujuan meminimalkan penyimpangan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah,” ungkap Sukaca.
Sukaca berujar bahwa pemberlakuan Pasal 132 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 diterapkan untuk mengisi kekosongan pada daerah dengan akhir masa jabatan sebelum 2024. Menurutnya, Pasal 132 mengatur berbagai persyaratan kepemilikan kuasa sebagai penjabat kepala daerah di bidang pemerintahan. “Pengangkatan penjabat kepala daerah adalah hal yang biasa,” tegas Sukaca. Sukaca menambahkan kebijakan penjabat kepala daerah tidak dapat dimanfaatkan untuk hal-hal buruk dan bertentangan dengan kepala daerah sebelumnya.
Fadli melanjutkan argumen yang senada dengan Sulistyowati. Mengacu pada Pasal 56 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13 Tahun 2010 yang berisi masa jabatan kepala daerah dua setengah tahun atau lebih, Fadli menyatakan bahwa putusan ini telah membawa masalah baru. “Diprediksi banyak kepala daerah menjabat hingga satu periode yang tidak sesuai Pasal 18 ayat 4,” ujar Fadli. Menurutnya, mekanisme pengisian jabatan tidak dapat disamakan dengan pengangkatan atau pemberhentian kepala daerah dalam situasi normal seperti yang diangkut dalam Peraturan Pemerintah Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Tahun 2006.
Pasal 201 yang tercantum dalam putusan MK dinilai oleh Fadli akan menambah persoalan terutama dengan adanya penunjukan TNI dan POLRI sebagai penjabat kepala daerah. Hal ini menurutnya merupakan bentuk ketidakkonsistenan pemerintah terutama Kementerian Dalam Negeri dalam memastikan kriteria penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat. “Beberapa hal harus diperhatikan, seperti proses penyelenggaraan pemerintah di daerah berjalan dengan baik, proses pemilihannya demokratis, dan memastikan aturan teknis pelaksanaan dari Pasal 201 tersebut,” tegasnya.
Penulis: Hadistia Leovita, Maria Adelina Puspaningrum, dan Tiara Nabila
Penyunting: Renova Zidane Aurelio
Ilustrator: Nabilah Faisal Azzahra