
©Alika/Bal
Kamis (7-7), Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia menyelenggarakan diskusi bertajuk “Dampak Rencana Pengesahan RKUHP terhadap Kebebasan Sipil”. Diskusi ini diselenggarakan secara luring di Auditorium CSIS, Jakarta Pusat dan daring melalui kanal YouTube dan Zoom CSIS Indonesia. Narasumber yang dihadirkan juga berasal dari CSIS Indonesia, yaitu Dominique Nicky Fahrizal dan Edbert Gani Suryahudaya. Diskusi yang dimoderatori oleh Arya Fernandes ini membahas tentang rencana pengesahan RKUHP dan dampaknya bagi kebebasan sipil.
Sebagai pembuka, Nicky mengatakan bahwa sejatinya RKUHP membawa empat misi yang penting. Ia menilai empat misi tersebut sangat penting untuk menyempurnakan hukum pidana Indonesia. Empat misi tersebut adalah dekolonisasi, demokratisasi, rekodifiksi, dan harmonisasi hukum pidana. Ia juga menyampaikan selain empat misi tersebut, RKUHP juga memiliki misi konstitusionalisasi hukum pidana. “Hal ini membawa konsekuensi bahwa corak hukum dalam RKUHP harus selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945,” jelasnya.
Akan tetapi, menurut Nicky, Indonesia masih berhadapan dengan masalah kebebasan sipil. Ia menegaskan bahwa RKUHP seharusnya berkomitmen pada reformasi politik dan demokrasi konstitusional. Lebih lanjut, menurutnya apabila RKUHP tidak mampu berjalan selaras dengan dua hal tersebut, Indonesia akan mengalami masa “anti-demokrasi” atau “pembusukan demokrasi”. Hal ini karena, menurutnya, hukum pidana memiliki potensi untuk membungkam dan menumbangkan pilar-pilar demokrasi. “Permasalahannya ada pada tafsir dalam RKUHP yang seringkali disalahgunakan, seperti perbedaan tafsir antara apakah ini kritik atau cacian?” ujarnya.
Sejalan dengan Nicky, menurut Gani, media dan jurnalis akan menjadi kelompok yang rentan di hadapan RKUHP terkait kebebasan sipil. Ia mengatakan bahwa mereka adalah target kriminalisasi yang paling mudah dari pasal-pasal karet tersebut. Padahal menurutnya, demokrasi di Indonesia memerlukan ruang partisipasi politik yang luas dan terbuka bagi adanya kritik kepada pemerintah. “Celah kriminalisasi yang tersedia dalam RKUHP berpotensi kuat menghasilkan konsekuensi tak terduga bagi daya kritik masyarakat yang semakin lemah,” imbuhnya.
Menurut Gani ada kekhawatiran bahwa demokrasi Indonesia tengah mengalami stagnasi bahkan kemunduran, terlebih bila RKUHP resmi disahkan. Ia melanjutkan, berdasarkan data dari Freedom House dalam kurun waktu lima tahun terakhir, indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Ia menyampaikan salah satu variabel yang mengalami penurunan paling signifikan adalah kebebasan sipil. “Sejak tahun 2017 hingga 2021 Indonesia mengalami penurunan 5 poin, jumlah yang besar menurut saya”, cetus Gani.
Ia menegaskan RKUHP seharusnya ditempatkan tidak semata-mata sebagai legasi hukum, baik dari para pakar hukum maupun para penyusunnya. Menurut Gani, masyarakat juga bisa ditempatkan sebagai bagian dari legasi politik saat ini. Ia mengatakan untuk mencapai hal tersebut perlu adanya kesadaran akan budaya politik dalam masyarakat.
Gani menambahkan bahwa salah satu cara meningkatkan kesadaran budaya politik adalah dengan membuka seluas-luasnya ruang partisipasi publik. Menurutnya, sesuai dengan penelitian yang ia lakukan, partisipasi publik adalah inti dari sebuah masyarakat demokratis. “Jadi bagi saya secara esensial, budaya politik ini dapat dilakukan dengan pemberlakukan ruang partisipasi termasuk dalam pembentukan perundang-undangan.” terang Gani.
Terkait dengan partisipasi publik, Nicky sepakat dengan Gani bahwasannya penyusunan draf RKUHP belum melibatkan partisipasi publik. Menurutnya, karena RKUHP membawa misi yang cukup berat, jangan sampai partisipasi publik yang bermakna lantas diabaikan. Ia mencontohkan bahwa sangat sulit untuk memperoleh draf terbaru RKUHP selama beberapa minggu terakhir. “Seharusnya jika memang mengharapkan partisipasi publik yang bermakna maka akses publik terhadap draf seharusnya dibuka,” tegasnya.
Sebagai penutup, menurut Nicky, perdebatan dan jual beli gagasan mengenai RKUHP idealnya terjadi antara masyarakat dan parlemen agar sesuai dengan kebutuhan publik. Ia juga mengkritik kecenderungan beberapa pihak yang seringkali menyederhanakan permasalahan ini dengan cara judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, isu-isu yg menjadi keresahan publik seharusnya diselesaikan tanpa harus ada pemeriksaan oleh MK. “Saya lihat kecenderungannya akan ada judicial review di MK, karena perlawanan di parlemen sudah mulai surut,” pungkasnya.
Penulis: Putri Kusuma Dewi, Nur Adzim Aminuddin, dan Rizka Nur Hamidah
Penyunting: Akbar Bagus Nugroho
Fotografe: Alika Bettyno Sastro