Momentum Lebaran telah berlalu. Namun, berbagai bentuk aktivitas ekonomi kapitalistik yang memanfaatkan slogan-slogan khas Lebaran seakan tiada habisnya. Berangkat dari hal tersebut, Lembaga Penerbitan dan Pers Mahasiswa Sintesa serta Jamaah Muslim Fisipol menyelenggarakan diskusi kolaborasi bertajuk “Kapitalisme dan Lebaran: Menilik Dampak Komodifikasi Budaya dalam Perayaan Hari Raya Lebaran”. Diskusi ini menghadirkan Eko Prasetyo, penulis Buku Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal: Dari Wacana Menuju Gerakan dan Luqman-nul Hakim, Direktur Institute of International Studies UGM. Secara spesifik, diskusi yang diselenggarakan pada Minggu (28-05) ini menyelisik fenomena komodifikasi dan objektifikasi ritual-ritual keagamaan Lebaran menjadi komoditas bernilai ekonomi.
Sebagai pembuka, Eko menjelaskan bahwa komodifikasi ritual keagamaan tidak dapat dilepaskan dari kebangkitan sekularisme dalam sejarah manusia. Menurutnya, salah satu ciri manusia sekuler adalah adanya internalisasi pemahaman bahwa hal yang disukai merupakan hal yang dapat dirasakan. “Pemahaman ini seakan-akan menjadikan hal yang paling nikmat dalam bulan Ramadan adalah berbuka puasa atau makan, bukan pendekatan diri pada Tuhan,” jelasnya. Eko juga menambahkan bahwa, berdasarkan survei yang pernah ia lakukan, angka konsumsi dan belanja justru meningkat selama bulan Ramadan. Menurut Eko, hal itu merupakan bentuk pemanfaatan semangat religiositas Lebaran oleh kapitalisme.Â
Eko memberikan contoh lain pemanfaatan semangat religiositas oleh kapitalisme dalam pembabakan mingguan bulan Ramadan. “Banyak tempat ibadah yang menawarkan paket-paket penyucian selama bulan Ramadan, terlebih lagi pada minggu akhir Ramadan,” ujarnya. Menurut Eko, fenomena ini seakan menciptakan kompetisi semu antarmanusia untuk menjadi saleh melalui paket-paket penyucian yang disediakan oleh pengurus tempat ibadah. Alhasil, pemahaman kesalehan manusia pun mengalami transisi, yakni bahwa kesalehan manusia tidak lagi diukur atas dasar kemurahan hati Tuhan.
Lebih lanjut, Eko juga menyoroti perihal narasi mitologis yang berkembang sewaktu Lebaran. Narasi yang ia maksud adalah pandangan bahwa Lebaran merupakan hari kemenangan yang memberi kebebasan bagi manusia untuk tampil sebagai pengendali diri setelah satu bulan dikekang. Akan tetapi, menurutnya, paradigma kemenangan ini terlalu disederhanakan dalam bentuk-bentuk kebendaan. “Akhirnya, semasa Lebaran, esensi untuk kembali ke fitri tertutupi oleh pesta kemewahan busana yang dikenakan,” jelasnya.Â
Senada dengan Eko, dalam contoh glorifikasi busana mewah sewaktu Lebaran, Hakim juga melihat adanya pelanggengan paradigma kebendaan. “Sebagai orang tua, rasanya tidak mungkin membiarkan anak mengenakan pakaian yang biasa-biasa saja ketika teman-temannya berbusana elegan,” jelasnya. Menurut Hakim, cara berpikir seperti ini pula lah yang turut berkontribusi dalam menyuburkan nilai kebendaan ketika Lebaran.
Setidaknya, ada dua pandangan Hakim terhadap momentum Lebaran di Indonesia dalam konteks politik-ekonomi. Pertama, lebaran menjadi etalase kegagalan dan ketimpangan pembangunan. Ia menjelaskan bahwa kegagalan pembangunan dapat dilihat dari eksistensi jalan tol. Menurutnya, jalan tol yang ditujukan untuk menciptakan keterhubungan daerah sering kali hanya bisa dirasakan oleh kalangan menengah ke atas saja. Hal tersebut akan berujung pada bentuk ketimpangan yang semakin nyata antara penduduk kota dan desa. “Tidak jarang sewaktu Lebaran di desa yang dibicarakan justru kendaraan apa yang dikendarai oleh si pemudik alih-alih mendahulukan perilaku saling memaafkan,” jelasnya.
Kedua, sebagaimana penjelasan Eko, Hakim juga menilai bahwa momentum Lebaran menyediakan pasar spesifik bagi para kapitalis. Ia melihat bahwa tidak sedikit perusahaan besar yang rela mengiklankan produknya secara agresif melalui ragam media selama bulan Ramadan. Namun, ketika Ramadan usai, jarang sekali terlihat iklan-iklan produk tersebut di layar kaca. “Hal ini mengimplikasikan bahwa kapitalis paham betul bahwa Ramadan menjadi momen yang tepat untuk menjajakan produk-produk mereka,” jelasnya.
Oleh karena itu, Hakim menilai bahwa perlu dilakukan evaluasi terhadap momentum lebaran saat ini agar semangat yang digaungkan tidak melulu soal kebendaan, tetapi juga murni semangat religiositas. Menurut Hakim, perlu edukasi yang bertahap untuk memaknai Lebaran sebagai momentum solidaritas, bukan momentum persaingan ekonomi. “Upaya pemaknaan tersebut perlu dilakukan secara berhati-hati, sebab dewasa ini logika kapitalisme bertebaran di berbagai dimensi ruang dan waktu,” pungkas Hakim.
Penulis: Achmad Hanif Imaduddin
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna