
©Vigo/Bal
Kebun Buku, berkolaborasi dengan Bakucarita, mengadakan diskusi buku bertajuk “Klitih; Menuntut yang Terenggut” pada hari Rabu malam (13-04). Diskusi yang dimoderatori oleh Nahary Latifah ini dihadiri oleh penulis dan peneliti buku In Search of Lost Space; Arham Rahman, Kurator Galeri Lorong; Yohannes Marino, Akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta; dan Yahya Kurniawan, seniman. Pembahasan diskusi ini berpangkal dari upaya ketiga narasumber untuk menanggulangi klitih melalui upaya alternatif, yakni seni.
Dalam diskusi buku In The Search of Lost Space, fenomena klitih di Yogyakarta dinilai jauh lebih kompleks dari sekadar kenakalan remaja. Pembahasan diawali oleh Marino dengan pemaparan faktor pemicu klitih. “Fenomena klitih melibatkan sistem pendidikan sekolah yang kian terkapitalisasi, pemampatan ruang sosial dan kultur premanisme yang menyejarah, kultur daerah, dan gentrifikasi,” ujarnya. Faktor-faktor inilah yang menimbulkan klitih berkembang dari kenakalan remaja menjadi isu kriminalitas.
Ruang alternatif dibutuhkan untuk bisa menanggulangi klitih melalui pendekatan yang lebih humanis. “Ruang-ruang alternatif menjadi unsur penting bagi pencegahan terjadinya kenakalan remaja,” ujar Yahya. Ketiga narasumber sepakat bahwa para pelaku klitih ini tidak memiliki ruang ekspresi yang memadai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Salah satu kesamaan yang ditemukan dalam buku In Search of Lost Space adalah para pelaku klitih cenderung memiliki kesamaan motivasi internal, seperti disharmoni keluarga dan tidak ada ruang interpersonal bagi mereka untuk menyalurkan masalah.
Lebih lanjut Yahya menyebut masalah personal para pelaku klitih dapat ditangani dengan pendekatan interpersonal. Yahya memberikan alternatif lain kepada pelaku klitih dengan memberikan akses kesenian seperti membuat band musik dan podcast untuk mereka. “Dengan cara seperti itu, mereka bisa mengekspresikan uneg-unegnya yang terpendam dan juga bisa mengalihkan aktivitas mereka sebagai pelaku klitih,” jelas Yahya.
Saat melakukan penelitian, Marino menceritakan para mantan pelaku klitih diminta untuk menuliskan suatu catatan tentang perasaan mereka. “Dalam penelitian kami, unsur psikologis menjadi suatu faktor serius dalam fenomena klitih,” sambung Arham. Oleh karena itu, ketiga narasumber menyepakati bahwa pelaku klitih ini tidak bisa diobjektifikasi hanya sebagai objek kriminal, melainkan manusia yang membutuhkan pertolongan sekaligus korban dari sistem pendidikan, gentrifikasi, dan masalah struktural.
Yahya menyatakan bahwa dalam riset yang ia lakukan, pemicu fenomena klitih memiliki banyak aspek, mulai dari ketimpangan ekonomi, pendidikan hingga kecemburuan sosial terhadap tempat tongkrongan yang didominasi pendatang. Klitih menjadi bentuk teror atas kekecewaan mereka. “Para pelaku klitih hanya manusia biasa yang tidak mempunyai akses untuk berkarya positif, bukan manusia yang senang dengan kesadisannya di jalanan,” tegasnya.
Masalah struktural tidak bisa dinegasikan dalam fenomena klitih. Meski dinilai menjadi faktor penting pemicu maraknya klitih, risiko tinggi kerap menjadi halangan untuk mengkritik masalah struktural. Marino menjelaskan risiko tersebut muncul karena pembungkaman yang berisiko menghambat dan merusak karier seorang pengkritik. “Solusi yang mungkin adalah seluruh pihak perlu terlibat dalam penanganan fenomena ini, baik itu media, institusi pendidikan, atau keluarga,” pungkasnya.
Penulis : Vigo Joshua dan Nur Adzim Aminuddin
Penyunting: Han Revanda Putra
Fotografer: Vigo Joshua