Balairungpress
  • REDAKSI
    • APRESIASI
    • BERITA JOGJA
    • KILAS
    • LAPORAN UTAMA
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • EnglishEnglish
  • Bahasa IndonesiaBahasa Indonesia
Pos Teratas
Disorientasi Sistem Pendidikan Langgengkan Klitih dan Kekerasan Kultural
Tak Semanis (Harga) Kakao
Aspirasi Mahasiswa dalam Agenda Revisi Kebijakan SOP Penanganan...
Pasal-Pasal Permenkominfo Bermasalah, Hak Digital Terancam
Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Ancam Demokrasi
Minim Partisipasi Publik, RKUHP Ancam Kebebasan Sipil
Serukan Inklusivitas, ARTJOG MMXXII Gandeng Kawan Difabel
Edward Aspinall: Perjuangan Demokratik Butuh Massa Terorganisisasi
Siasat Gerakan Kampus atas Neoliberalisasi Pendidikan
OTT Haryadi Suyuti Sisakan Pekerjaan Rumah Penanganan Korupsi

Balairungpress

  • REDAKSI
    • APRESIASI
    • BERITA JOGJA
    • KILAS
    • LAPORAN UTAMA
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • EnglishEnglish
  • Bahasa IndonesiaBahasa Indonesia
KABARKILASREDAKSI

Regulasi Ketenagakerjaan Masih Belum Berpihak kepada Perempuan

Maret 15, 2022

©Noor/Bal

Sabtu (12-03), Amnesty International Indonesia Chapter UIN Jakarta menyelenggarakan diskusi daring bertajuk “International Women’s Day: Ketimpangan dan Diskriminasi Gender dalam Dunia Kerja”. Diskusi yang digelar dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia ini menghadirkan empat pembicara, yakni Iin Kandedes, Koordinator Gender Pusat Studi Gender dan Anak; Dian Septi Trisnanti, Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia; Rima M. Bilaut, anggota Solidaritas Perempuan; dan Liya Yuliana, anggota Divisi Perubahan Hukum LBH Apik Jakarta. Adapun, materi yang dibawakan berkaitan dengan ketimpangan dan diskriminasi gender yang dialami oleh pekerja perempuan.

Pada awal diskusi, Iin mengungkapkan bahwa pekerja perempuan memiliki banyak masalah dalam dunia kerja. Iin memaparkan hasil survei Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada tahun 2019 yang menunjukkan bahwa persentase angkatan kerja perempuan berada pada angka 51,89%, sementara laki-laki pada angka 83,13%. “Ini artinya, partisipasi tenaga kerja perempuan masih berada 30% di belakang laki-laki,” ungkap Iin.

Menegaskan pernyataan Iin, Dian memaparkan pekerja perempuan kerap kali mendapatkan pelanggaran cuti, seperti cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, serta cuti keguguran. Padahal, aturan cuti ini sudah diatur pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Dian, pekerja perempuan yang ingin mengajukan cuti kerap kali dipersulit dengan keharusan untuk menyertakan surat keterangan dokter sebagai bukti. “Padahal, itu merupakan siklus reproduksi, yang berhak menyatakan sakit adalah perempuan itu sendiri,” tegasnya.

Menurut Dian, permasalahan pekerja perempuan juga hadir dalam status kerja yang berupa kontrak dan alih daya. Ia menambahkan, kondisi ini diperparah dengan adanya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebelumnya masa kerja minimum untuk mendapat status tetap adalah tiga tahun. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh Dian, kebijakan itu kini berganti menjadi lima tahun. 

Selain itu, Dian menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja juga membuat status kontrak dapat berlaku pada semua pekerja. Padahal sebelumnya, status kontrak hanya diperbolehkan di bagian inti produksi. “Status kontrak membuat posisi pekerja perempuan makin rentan untuk tidak diberikan haknya,” ungkap Dian.

Menyambung pemaparan Dian, Liya mengungkapkan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan pada dasarnya sudah memiliki payung hukum tersendiri. Payung hukum ini mencakup UU Nomor 13 Tahun 2003, UU Nomor 8 Tahun 1981, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 8, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2003. “Komitmen negara untuk keadilan pekerja perempuan sudah ada, tetapi implementasinya masih sangat kurang,” ungkapnya.

Selain dari masalah regulasi, perempuan juga mendapat perilaku diskriminatif di lingkungan kerja. “Kerja domestik yang dilakukan perempuan seperti memasak, mengepel, mencuci baju, tidak pernah diakui sebagai pekerjaan sehingga dianggap tidak bernilai,” ujar Dian. Menurutnya, permasalahan Ini berimbas pada tidak adanya jaminan sosial atau perlindungan sosial bagi pekerja perempuan di ranah domestik.

Menguatkan Dian, Rima mengungkapkan bahwa banyak pekerja perempuan di sektor informal, seperti petani dan nelayan, yang tidak diakui profesinya oleh negara. Pekerjaan mereka sebagai nelayan tidak tertulis di dalam KTP sehingga hal itu berimbas terhadap hak-hak mereka sebagai perempuan nelayan. “Padahal mereka melakukan pengelolaan terhadap hasil-hasil laut dan bekerja seperti nelayan laki-laki untuk mendatangkan keuntungan ekonomi bagi keluarga,” tegasnya. 

Mengakhiri diskusi, Liya menawarkan langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan untuk mengurangi masalah-masalah ketimpangan yang terjadi pada perempuan. Solusi tersebut adalah pembaruan kebijakan di tempat kerja yang mendorong perjanjian kerja dan pemberian training untuk mengadopsi perspektif gender. “Perusahaan juga harus menyampaikan komitmen untuk menghapus kekerasan dan menjamin keamanan pelapor kekerasan,” pungkas Liya.

Penulis: Catharina Maida dan Keisha Devana Rahadini
Penyunting: Albertus Arioseto
Fotografer: Noor Risa Isnanto

8
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Disorientasi Sistem Pendidikan Langgengkan Klitih dan Kekerasan Kultural

Aspirasi Mahasiswa dalam Agenda Revisi Kebijakan SOP Penanganan...

Pasal-Pasal Permenkominfo Bermasalah, Hak Digital Terancam

Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Ancam Demokrasi

Minim Partisipasi Publik, RKUHP Ancam Kebebasan Sipil

Serukan Inklusivitas, ARTJOG MMXXII Gandeng Kawan Difabel

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Disorientasi Sistem Pendidikan Langgengkan Klitih dan Kekerasan Kultural

    Agustus 9, 2022
  • Tak Semanis (Harga) Kakao

    Agustus 2, 2022
  • Aspirasi Mahasiswa dalam Agenda Revisi Kebijakan SOP Penanganan Kekerasan Seksual UGM

    Juli 28, 2022
  • Pasal-Pasal Permenkominfo Bermasalah, Hak Digital Terancam

    Juli 23, 2022
  • Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Ancam Demokrasi

    Juli 18, 2022

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Spesies Invasif

Polisi Virtual

Fasilitas Mahasiswa Penyandang Disabilitas di UGM Belum Maksimal

Mengenal Calon-Calon Rektor UGM Periode 2017-2022

Pembungkaman Pers Mahasiswa

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • MASTHEAD
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM