“Pantang pulang sebelum terpenuhi!” seru ratusan mahasiswa UGM yang tergabung dalam rangka aksi “Geger Gedhen” pada Jumat (10-12). Senada dengan makna dari tajuk aksi yang berarti kerusuhan besar, mereka dengan lantang menagih janji Rektor UGM Panut Mulyono yang telah lama terbengkalai. Adapun, aksi tersebut telah diawali oleh konsolidasi yang melibatkan BEM KM UGM, Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa UGM, Forum Advokasi (Formad) UGM, Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa UGM, dan Aliansi Mahasiswa UGM.
Wildan Ade, salah satu Koordinator Acara aksi “Geger Gedhen”, menjelaskan hasil konsolidasi yang menghimpun tiga isu. Pertama, pembangunan fasilitas kemahasiswaan. Selama lima tahun menjabat, Rektor UGM tak kunjung merampungkan pembangunan sejumlah fasilitas kemahasiswaan seperti renovasi Gelanggang Mahasiswa, GOR Pancasila, dan Kawasan Kerohanian. Kedua, isu akademik dan pelayanan mahasiswa, seperti sukarnya pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat yang berlangsung daring. Selanjutnya, ada pula tuntutan tentang penyesuaian kebijakan kampus terhadap Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Ketiga, terdapat isu pelayanan finansial mahasiswa yang menyorot keterlibatan mahasiswa dalam proses verifikasi Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga layanan konseling finansial.
Sebelum aksi “Geger Gedhen”, Pandu Wisesa, Koordinator Formad UGM, mengakui adanya pernyataan dari rektor yang berjanji hendak mengadakan audiensi. Namun, janji tersebut rupanya dibatalkan sebanyak tiga kali. Mulai dari agenda audiensi pada Senin (29-11), diundur menjadi Kamis (2-12), lantas berujung dengan pembatalan kembali. Hingga Senin (6-12), rektor lagi-lagi ingkar janji. “Pak Panut terlanjur ada acara di Bali jadinya tidak dapat hadir,” jelas Pandu.
Kronologi Aksi
Mulai pukul 14.00 WIB, massa aksi berhimpun di lahan bekas Gelanggang Mahasiswa UGM yang sudah rata dengan tanah. Dalam aksi sebelumnya yang bertajuk “Festival Kebun Raya Gelanggang”, mahasiswa telah mengalihkan lahan bekas Gelanggang menjadi tempat menanam berbagai tumbuhan. Hasil bumi tersebut dipanen untuk diserahkan kepada pihak rektorat. Wildan memaparkan, pemberian tanaman tersebut merupakan simbol kekecewaan mahasiswa terhadap rektorat yang tidak segera menyelesaikan pembangunan Gelanggang. “Daripada tidak dimanfaatkan pihak rektorat, kami mengambil langkah konkret biar tidak jadi lahan kosong,” terangnya.
Pukul 14.30 WIB, massa aksi yang sudah berkumpul di Gelanggang mulai longmars melewati Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Filsafat, Fakultas Kehutanan, dan berakhir di depan Gedung Rektorat. Massa turut membawa atribut aksi, seperti keranda hingga spanduk yang bertuliskan “Aksi Kawal Rektor”. Selama longmars, massa aksi menyanyikan yel-yel dan lagu yang menunjukkan kekecewaan mereka terhadap sikap rektorat, salah satunya lagu Buruh Tani.
Tiba di Gedung Rektorat pada pukul 14.30 WIB, massa disambut oleh anggota Pusat Keamanan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) yang berjaga di sekitar gedung. Kemudian, massa aksi berdiri di depan Gedung Rektorat sembari mendengarkan orasi. Ignas, perwakilan dari HopeHelps UGM, menyampaikan orasi yang menuntut pembenahan penanganan kekerasan seksual di kampus. Sebab, menurutnya, rektorat yang tidak transparan dalam menangani kasus kekerasan seksual di kampus menimbulkan keraguan mengenai keberpihakan rektorat kepada korban. “Hidup mahasiswa Indonesia! Hidup para korban kekerasan seksual!” ujar Ignas di penghujung orasi.
Pada pukul 16.00 WIB, Suharyadi selaku Direktur Kemahasiswaan menemui massa aksi. Suharyadi menyampaikan, jajaran rektorat tidak dapat hadir karena sedang berada di Bali. Pernyataan Suharyadi lantas membuat massa aksi tidak puas dan menuntut untuk tetap dihubungkan dengan jajaran rektorat secara daring. Namun, Suharyadi yang tidak dapat memberikan kepastian.
Sebagai bentuk kekecewaan terhadap pihak rektorat yang tidak hadir, massa berusaha menurunkan bendera merah putih yang ada di depan Gedung Rektorat menjadi setengah tiang. Termaktub dalam rilis pers Aliansi Mahasiswa UGM, penurunan bendera melambangkan massa yang berduka atas ketidakhadiran rektorat sekaligus menaikkan daya tawar dari massa aksi. Walaupun massa terus memaksa, penurunan bendera gagal dilakukan karena ketatnya penjagaan dari SKKK. Gesekan yang terjadi mencederai salah satu massa aksi hingga dilarikan ke rumah sakit.
Kecewa dengan gagalnya penurunan bendera, massa aksi berusaha menerobos masuk ke dalam Gedung Rektorat. Penjagaan oleh SKKK di tangga membuat massa aksi gagal naik ke lantai dua. Akhirnya, massa hanya dapat meluapkan kemarahannya dengan berkata, “UKT mahal, tapi fasilitas tidak ada!”
Tekanan dari massa aksi membuat Suharyadi kembali berjanji untuk menghubungi rektor. Pukul 16.30 WIB, ia meminta massa aksi untuk menunggu 30 menit. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB, Suharyadi belum juga memberikan kepastian yang membuat massa aksi kembali kecewa.
Menjelang maghrib, tepatnya pukul 17.20 WIB, api mulai melejit. Kobaran api terlihat melahap instalasi nisan raksasa yang berukirkan sejumlah pesan dari mahasiswa untuk Rektor UGM. Tak hanya nisan, selembar jaket almamater UGM turut dihanguskan. Selagi api masih meletik di pelataran Gedung Rektorat, massa aksi kembali menyerbu masuk. Mereka duduk di dalam gedung, sekali lagi gagal naik ke lantai dua.
Di dalam gedung, sejumlah perwakilan dari massa aksi terlibat konsolidasi dengan Suharyadi. Mereka berhasil menekan Suharyadi untuk menandatangani nota kesepahaman. Nota kesepahaman menyebutkan, Suharyadi bersedia mengusulkan audiensi luring di hari Selasa (14-12) saat rapat pimpinan hari Senin (13-12).
“Kita tidak menunggu janji lagi tapi menuntut audiensi segera dilakukan karena dapat menunjukkan apakah rektorat berpihak pada mahasiswa atau tidak,” ujar Wildan. Menurutnya, mahasiswa membutuhkan bukti nyata bukan sekedar janji belaka. Ia juga mengingatkan kembali soal mahasiswa sebagai pemangku kepentingan yang wajib dipenuhi tuntutan dan dilayani kebutuhannya oleh pihak rektorat.
Kontra Tanggapan Antara Pihak Kampus dan Massa Aksi
Berbanding terbalik dengan tuduhan yang dilayangkan, Suharyadi mengklaim seluruh proses baik akademik, finansial, dan pembangunan telah berjalan dengan baik. “Kawasan ibadah sudah dalam proses pembangunan, sementara Gelanggang Mahasiswa memasuki tahap Detail Engineering Design (DED),” tuturnya. Suharyadi juga menggarisbawahi bahwa peraturan mengenai penanganan kekerasan seksual di UGM sudah dirancang jauh sebelum Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 diterbitkan.
Feri Agung, salah satu massa aksi, menampik pernyataan Suharyadi. Menurut Feri, jika memang semua isu-isu sudah ditangani dengan baik, tidak akan terjadi aksi seperti ini. “Faktanya pembangunan Gelanggang Mahasiswa, GOR Pancasila, dan Kawasan Kerohanian sebenarnya mundur jauh dari linimasa,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Feri juga membeberkan bahwa mahasiswa tidak akan tinggal diam bila rektor dan jajarannya terus menerus bungkam. Ia mewanti-wanti rektor bahwa akan ada aksi yang lebih besar. “Kita akan mengadakan aksi saat dies natalis yang dihadiri pejabat dan banyak media andaikan tidak ada respon dari rektorat,” tegas Feri.
Penulis: Dhestia Arrizqi Haryanto dan Sidney Alvionita Saputra (Magang)
Penyunting: Alfredo Putrawidjoyo
Fotografer: Fairuz Azzura Salma