
©Istimewa
Senin (03-05), Gamapi UGM bersama MAP Corner menyelenggarakan diskusi daring bertajuk “Apakah Pendidikan Hanya untuk Mencetak Tenaga Kerja?”. Diskusi yang membahas permasalahan pendidikan dan ketenagakerjaan ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Muhtar Habibi selaku Dosen DMKP Fisipol UGM dan Joko Susilo selaku Pegiat MAP Corner.
Muhtar Habibi mengawali materi dengan memaparkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Ia menerangkan bahwa mayoritas orang Indonesia bekerja di sektor informal. Namun, pekerja informal memiliki risiko dan kerentanan yang besar, sebab minim perlindungan dan jaminan sosial. Menurutnya, kenyataan tersebut mendorong orang berlomba-lomba mendapatkan pekerjaan formal melalui sekolah. “Melalui pendidikan, masyarakat merasa mendapatkan pengakuan bahwa mereka layak untuk bekerja,” terangnya.
Menanggapi hal tersebut, Muhtar mengatakan bahwa pendidikan multidimensional telah beralih pada pendidikan pragmatis. Ia menambahkan, fungsi pendidikan bergeser menjadi berorientasi terhadap pencetakan tenaga kerja. “Alih-alih mendapat pencerahan, tujuan bersekolah hanya sekadar memperoleh pekerjaan,” ujar Muhtar.
Muhtar kemudian menilik respons pemerintah dalam menjawab masalah ketenagakerjaan. Muhtar menilai bahwa kebijakan saat ini cenderung berbasis pasar. Ia menguraikan, narasi neoliberalisme yang dominan dalam kebijakan pemerintah gagal menciptakan lapangan pekerjaan. “Akibatnya, pemerintah bergantung pada investor untuk mengatasi adanya surplus pekerja,” terang Muhtar.
Menurutnya, investor membutuhkan pekerja yang murah dan kompeten. Hal ini berimplikasi pada munculnya kebijakan link and match dalam dunia pendidikan. Artinya, pendidikan yang tersedia disesuaikan dengan dengan pasar tenaga kerja.
Senada dengan Muhtar, Joko Susilo juga mengutarakan permasalahan pendidikan yang berorientasi terhadap pasar. Ia menyajikan beberapa fakta tentang neoliberalisasi pendidikan dalam PTN-BH. Menurutnya, kelembagaan PTN-BH menyebabkan mahalnya pendidikan. Hal tersebut terjadi sebab pasca-PTN-BH, biaya pendidikan tinggi hanya ditanggung 30-35 persen oleh APBN, sisanya bersumber dari Uang Kuliah Tunggal (UKT). “Uang masuk kuliah semakin lama semakin mahal, bahkan terdapat pembagian yang tidak proporsional dalam penggolongan UKT,” tegasnya.
Selain itu, Joko juga menjelaskan bahwa neoliberalisasi pendidikan tergambar dalam manufakturisasi kurikulum pendidikan tinggi. Ia kemudian memaparkan berbagai contoh dari manufakturisasi pendidikan. Pertama, mekanisme magang yang menjadi akal-akalan perusahaan untuk merekrut tenaga kerja murah atau bahkan tidak dibayar. Kedua, adanya mata kuliah khusus yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan dalam dunia kerja, contohnya mata kuliah kewirausahaan. Ketiga, PTN-BH terlalu fokus meningkatkan kemampuan kerja para lulusan. Keempat, adanya pembatasan studi lima tahun untuk memproduksi sarjana yang efisien dan kompetitif di pasar kerja fleksibel. Kelima, adanya sistem kontrol seperti minimal kehadiran dan KRS sistem perbankan.
Menanggapi hal tersebut, Joko menyatakan bahwa PTN-BH lebih cocok disebut sebagai lembaga pelatihan singkat, alih-alih institusi pengetahuan. Ia menambahkan, neoliberalisasi pendidikan yang termanifestasi dalam PTN-BH telah menggeser fungsi pendidikan tinggi. “Pendidikan tinggi seharusnya menjadi pusat kebudayaan, bukan hanya pusat pelatihan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja,” tegasnya.
Penulis: Viola Nada H
Penyunting: Salsabella ATP