Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...
Kapan KKN Harus Dihapus?
Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah
Gerakan Hijau Tersandera Meja Hijau
Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KABARKILASREDAKSI

Evaluasi 23 Tahun Reformasi, Penanganan Pelanggaran HAM Berat Mengalami Regresi

Mei 24, 2021

Dwika/©BAL

Lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998  setelah lebih dari tiga dekade menjabat, menjadi titik tolak reformasi. Melalui momentum peringatan 23 tahun reformasi, berbagai lapisan dan unsur masyarakat melaksanakan bermacam kegiatan refleksi dan evaluasi. Tak terkecuali Sumarsih, aktivis sekaligus keluarga korban tragedi Semanggi I, melalui diskusi daring Warung Politik #2. Diskusi yang diselenggarakan pada Jumat (21/05) tersebut, turut dihadiri oleh Keanu, Peneliti Amnesty International Indonesia, dan Eko Prasetyo, Aktivis 1998. Jalannya diskusi dimoderatori oleh Ubaidillah Hanif, Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM. 

Sumarsih kembali mengingat perjuangan reformasi anaknya, Bernardinus Realino Norma Irmawan, alias Wawan, Mahasiswa Atma Jaya sekaligus Aktivis Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK). Ia menceritakan bagaimana anaknya berbicara mengenai reformasi yang dibajak reformis gadungan. Dalam proses menuju reformasi itu, Wawan meninggal dunia karena ditembak dengan peluru tajam di dada sebelah kiri mengenai jantung dan paru-parunya. Cerita Wawan dan reformasi tersebut menjadi bagian dari rentetan kisah pelanggaran HAM berat selama tahun 1998-1999.

Sumarsih kemudian turut mengulang memorinya tentang reformasi. Saat itu demonstrasi mahasiswa menuntut turunnya Soeharto, pembubaran Golkar, juga pelaksanaan enam agenda reformasi. Agenda tersebut antara lain mengadili Soeharto dan kroni-kroninya; memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN); menegakkan supremasi hukum; mencabut dwifungsi ABRI; melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya; serta melakukan amandemen UUD 1945.

Buntut dari rentetan tersebut, menurut Sumarsih, menghadirkan tiga kebijakan. Pertama, pemberian gelar ‘Bintang Pratama’ kepada empat mahasiswa Trisakti yang tertembak pada Tragedi Trisakti 1998. Kedua, pemberian bantuan kepada korban pelanggaran HAM berat oleh LPSK secara psikososial dan psikomedis dengan syarat membawa surat dari Komnas HAM. Ketiga, adanya rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden Untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Melalui Mekanisme Non Yudisial (UKP-PPHB) tahun 2021. Menurutnya, rancangan ini sudah semestinya ditolak lantaran menghantarkan pada pelanggengan impunitas. “Indikasinya adalah tanggung jawab atas pelaku pelanggaran HAM berat dipaksa dialihkan sebagai tanggung jawab presiden bukan pelaku,” ujarnya. Hal tersebut menurutnya tidak sejalan dengan komitmen penghapusan impunitas oleh Presiden Jokowi.

Dalam perkembangan penanganan pelanggaran HAM berat, Sumarsih menilai tidak adanya kemauan dari Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini. Hal ini berangkat dari terkatung-katungnya permasalahan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Sumarsih kemudian menyebut pengajuan judicial review atas UU No. 26 tahun 2007 oleh orang tua korban penghilangan paksa 13-15 Mei 1998 bersama KontraS. “Inti dari putusannya adalah tidak terselesaikannya pelanggaran HAM berat masa lalu bukan terkendala konstitusi, melainkan karena tergantung kemauan politik Pemerintah,” ucapnya.

Di sisi lain, diulik pula adanya regresi dari upaya demokratisasi yang sumbernya dari bawah atau masyarakat itu sendiri. Hal tersebut disampaikan Bangkit Adhi Wiguna, salah satu Mahasiswa Fisipol UGM, dalam pendapatnya mengutip Louis Althusser. Menurutnya, dalam rangka mempertahankan legitimasi politiknya, Rezim Orde Baru tak hanya mengerahkan repressive state apparatuses, tetapi juga ideological state apparatuses. Contohnya adalah dengan mengonstruksi pendidikan yang meski menghasilkan orang pandai, tetapi lemah dalam mengkritik.

Eko turut mengamini pernyataan Bangkit. Eko menyebut bahwa sejatinya memang sulit menumbuhkan kesadaran politik di masyarakat. “Sulit sekali untuk membangkitkan kesadaran politik di masyarakat dengan rambu-rambu regulasi saat ini,” paparnya. 

Sebagai contoh, Eko melemparkan isu komunisme sebagai salah satu “produk” paling berhasil dari orde baru. “Ketika komunisme menjadi mantra maka mereka yang menanyakan hal-hal secara kritis, akan dicap sebagai komunis, sehingga orang tersebut mudah dijadikan musuh,” jelasnya.

Dalam hal pendidikan, Eko menilai kurikulum yang ada sangat sulit untuk dibersihkan dari warisan orde baru. Ia menyebut nama-nama yang seharusnya dikenal sebagai tokoh perjuangan, justru masih kental dengan cap buruk dari orde baru. Tokoh tersebut di antaranya Tan Malaka, Semaoen, hingga HOS Cokroaminoto. Lebih lanjut, ia menilai bahwa tokoh pejuang didominasi oleh militer. “Akibatnya anak-anak sekolah sekarang mengenal perjuangan politik itu dalam gaya orba, yaitu perjuangan politik bersenjata dengan meletakkan militerisme sebagai aktor terpenting dalam perubahan sosial,” pungkasnya.

Penulis: Athena Huberta
Penyunting: Deatry Kharisma Karim
Desain: Dwika Wahyudinata

1
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...

Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Aksi Hari Buruh Soroti Ketimpangan atas Ketidakpedulian Pemerintah

Naskah Nusantara seperti Cerita Panji Ungkap Keberagaman Gender...

SEJAGAD, Serikat Pekerja Kampus Pertama di Indonesia, Resmi Didirikan

Jejak Trauma Kolektif Korban Kekerasan Orde Baru dalam...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air

    Juni 30, 2025
  • Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau

    Juni 12, 2025
  • Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang

    Juni 4, 2025
  • Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran HAM

    Juni 3, 2025
  • Mitos Terorisme Lingkungan

    Mei 25, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM