Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Pos Teratas
Susah Berserikat, Perjanjian Kerja Bersama Jadi Opsi bagi...
Bahaya Kapitalisme sebagai Dalang Krisis Iklim
Katrin Bandel: Wacana Gender Harus Keluar dari Kacamata...
“Gerakan Rakyat untuk Kemerdekaan Palestina” Tuntut Israel Hentikan...
Hadapi Berbagai Masalah, Dosen dan Tendik UGM Berkeluh-kesah
PKL Malioboro Keberatan atas Validasi Data yang Serampangan
Buntut Kriminalisasi Fatia-Haris, Massa Aksi Suarakan Penolakan
Sepah Pemerintah Ditadah Bank Sampah
Mereka yang Redup oleh PLTU
Rembang Bersuara, Kondisi Politik Indonesia Semakin Memprihatinkan

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILASREDAKSI

Menyoal Definisi Perempuan dalam KBBI

Maret 16, 2021

©Winda/Bal

Jumat (12-03), dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Yayasan Angan Indonesia dan LBH Lentera Keadilan Rakyat melangsungkan diskusi secara daring via Zoom Meeting dengan tajuk “Perempuan dalam  KBBI: Ada yang Salah? (Seni dan Linguistik)” dengan Eryka Happy Hutahuruk sebagai moderator. Diskusi ini menghadirkan Rainy Maryke Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan; Ika Vantiani, Pekerja Seni; dan Nazarudin, Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Indonesia. Diskusi yang diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan ini secara khusus membahas mengenai protes terhadap definisi kata perempuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dari perspektif seni dan linguistik.

Rainy memantik diskusi dengan memberikan pidato utama mengenai perjuangan pergerakan feminis. Dalam pidatonya, Ia menyatakan bahwa bahasa bukan sebatas alat komunikasi dan interaksi sosial saja, melainkan juga bagian dari budaya masyarakat. Rainy beranggapan bahwa dalam kultur patriarki, bahasa dikonstruksikan berdasarkan nilai-nilai dan pengalaman para laki-laki. Oleh karena itu, tanpa tafsir feminis, bahasa akan mengesampingkan eksistensi perempuan dan pengalaman-pengalamannya. “Semua hal ini menunjukkan jalan panjang dan komprehensif perjuangan feminis untuk hak berekspresi atas pengalaman perempuan,” lontarnya.

Nazarudin turut menyampaikan pendapatnya mengenai konstruksi pendefinisian kata dalam perspektif sejarah linguistik. Ia mengatakan bahwa histori konstruksi bahasa tak terlepas dari bungkus kultur patriarki. Nazarudin menjelaskan bahwa sebelum tahun 1988, kamus yang beredar dibuat oleh perseorangan dan didominasi oleh kaum laki-laki. “Kebanyakan pembuat kamus atau bahkan dapat dikatakan 99,9 persen pembuatnya adalah laki-laki,” imbuhnya.

Bukan tanpa alasan, tuntutan yang dilontarkan untuk melakukan perubahan definisi kata perempuan dalam KBBI telah ditinjau selama bertahun-tahun. Tuntutan ini berawal pada permasalahan dalam KBBI edisi V tahun 2016 mengenai definisi perempuan: geladak pelacur,  jahat, perempuan nakal, jalan pelacur, jalang, pelacur, jangak, lacur, lecah, serta istri simpanan. Nazarudin menyampaikan bahwa pendefinisian kata memang terdapat dalam metodologi pembuatan kamus, tetapi tidak semua makna harus dituliskan. “Namun, untuk kata geladak pelacur hingga kata selanjutnya bukan lagi data yang harus ditampilkan karena kemunculannya tidak harus sebanyak kata yang ditampilkan di KBBI dan cukup diwakilkan saja,” ucapnya.

Ika menuturkan bahwa bentuk protes tidak hanya untuk menuntut redefinisi kata perempuan, tetapi juga dilakukan dalam rangka perjuangan feminis untuk menghapus segala bentuk kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Ika bersama rekan-rekannya turut ingin supaya publik mengetahui bahwa perempuan didefinisikan secara tidak layak dalam KBBI. “Kita memang menginginkan adanya perubahan pendeskripsian arti kata perempuan,” tuturnya. Sebagaimana yang dilakukan Ika dalam membangun kesadaran publik, ia membuat kaos sebagai atribut untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat mengenai sejarah pendefinisian kata perempuan dalam KBBI.

Walaupun segala protes sudah berjalan, Nazarudin mengaku bahwa hingga kini belum ada respons yang didapat dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Padahal menurutnya, meredefinisi atau merevisi sebuah kata dalam kamus merupakan hal yang wajar dan biasa dilakukan dalam penyusunan kamus. Ia mengungkapkan bahwa ini bukan hal yang sulit ataupun tabu, mengingat bahwa bahasa itu selalu berubah dan terus berjalan. “Jadi, revisi itu akan selalu ada, tapi mengapa tanggapan mereka justru sangat defensif,” ungkapnya.

Ika menegaskan bahwa muara segala bentuk protes tidak pada kata perempuan dalam KBBI yang harus didefinisikan secara positif. Namun, tuntutan utama redefinisi kata adalah untuk membuang dan mengubah konstruksi yang ada di masyarakat dengan harus memberikan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Ia turut menambahkan bahwa berbicara mengenai seni dan linguistik, tata bahasa dalam kamus seharusnya bersifat objektif dan pendefinisiannya ditelusuri melalui data. “KBBI memiliki kuasa untuk menjadi bagian dalam mengupayakan adanya representasi objektif pada pendefinisian kata perempuan yang menjadi stigma masyarakat,” tandas Ika.

Penulis : Amanda Diva Nareswari, Yeni Yuliati, dan Kristian Anugrah
Penyunting : Aufa Fathya
Fotografer : Winda Hapsari Indrawati

kbbiperempuan
3
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Susah Berserikat, Perjanjian Kerja Bersama Jadi Opsi bagi...

Bahaya Kapitalisme sebagai Dalang Krisis Iklim

“Gerakan Rakyat untuk Kemerdekaan Palestina” Tuntut Israel Hentikan...

Hadapi Berbagai Masalah, Dosen dan Tendik UGM Berkeluh-kesah

PKL Malioboro Keberatan atas Validasi Data yang Serampangan

Buntut Kriminalisasi Fatia-Haris, Massa Aksi Suarakan Penolakan

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Susah Berserikat, Perjanjian Kerja Bersama Jadi Opsi bagi Pekerja Lepas

    November 28, 2023
  • Bahaya Kapitalisme sebagai Dalang Krisis Iklim

    November 27, 2023
  • Katrin Bandel: Wacana Gender Harus Keluar dari Kacamata Baratsentris

    November 27, 2023
  • “Gerakan Rakyat untuk Kemerdekaan Palestina” Tuntut Israel Hentikan Penjajahan

    November 22, 2023
  • Hadapi Berbagai Masalah, Dosen dan Tendik UGM Berkeluh-kesah

    November 21, 2023

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Spesies Invasif

Polisi Virtual

Fasilitas Mahasiswa Penyandang Disabilitas di UGM Belum Maksimal

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM