
©Rika/Bal
Jumat pagi (12-06), Perhimpunan Seni Pertunjukan Indonesia, bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud), menggelar diskusi daring bertajuk tema “Estetik dan Politik: Kontinum di Ruang Krisis”. Diskusi daring yang dimulai pukul 10.00 WIB ini dihelat sebagai respons atas pandemi COVID-19 yang menuai krisis berlanjut pada berbagai sektor kehidupan manusia. Krisis tersebut tidak hanya pada ranah kesehatan, ekonomi, dan politik, tetapi merekah pada sektor budaya. Sektor budaya yang dimaksud berkaitan dengan kultur kolektif masyarakat dalam kesatuan ruang hidup suatu wilayah.
Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 120 menit menghadirkan enam pembicara yang telah lama menyelami seluk-beluk dunia kesenian. Pembicara tersebut di antaranya Rachmi Diyah Larasati, Profesor Kajian Seni dan Gender University of Minnesota; Hafiz Rancajale, pendiri komunitas film; Erlina Rakhmawati, pekerja musik; Brigitta Isabella, peneliti seni; Elyandra Widharta, pekerja teater; dan Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru, Kemendikbud.
Kegiatan diskusi diawali dengan pemaparan Ahmad pada upaya pemerintah menanggulangi krisis dalam kehidupan seni di era pandemi. “Agar api kreativitas dalam seni tidak padam, maka para pegiat seni harus difasilitasi kebutuhan untuk menghidupkan new media art,” ungkap Ahmad. Adapun yang dimaksud new media art, menurutnya, adalah kesenian yang bertumpu pada media baru dalam standar basis teknologi digital. Ahmad juga menekankan perlunya pengesahan kebijakan dalam mengatasi krisis yang berpotensi mendekadensikan nilai-nilai estetika dalam seni ini. “Masyarakat, akademisi, pemerintah harus bersinergi untuk dapat mewujudkan estetika seni melalui medium politik kebijakan,” pungkasnya.
Selanjutnya, Rachmi menyambung mosi penyelesaian krisis melalui penggalakan new media art serta pengesahan kebijakan yang dipaparkan Ahmad. Ia memantik jalannya diskusi dengan menekankan pentingnya pemberlakuan kebijakan yang berlandaskan seni melalui medium ruang dan waktu. “Agar nilai seni dan estetikanya sebagai bahasa simbol bagi para pelaku seni dan masyarakat dapat terwadahi,” jelas Rachmi.
Sesi diskusi dilanjutkan dengan pemaparan Brigitta bahwa negosiasi ruang sosial dapat ditinjau dari bahu-membahunya warga Minnesota dalam mengecam tindakan diskriminasi. Mereka menaburkan bunga sebagai nilai estetika sekaligus sebagai pesan kecaman serius atas diskriminasi aparat. Di samping itu, lebih lanjut dalam paparannya, Brigitta mengharapkan pemerintah tidak hanya menyediakan ruang-ruang daring dalam mengatasi krisis saja. Namun, regulasi juga harus dimatangkan dalam menjamin kebebasan berekspresi. “Bukti nyatanya adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang tidak jelas,” ungkap Brigitta.
Pada akhir pemaparannya, Brigitta menyampaikan bahwa pandemi memaksa pemerintah menyiapkan transformasi spasial dalam ekshibisi pertunjukan seni dari riil ke virtual dengan matang. Brigitta turut menambahkan, salah satu solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi krisis adalah upaya akselerasi komersialisasi ruang internet. “Sebab, seniman-seniman kemudian kekurangan penghasilan karena belum mampu memanfaatkannya dengan baik,” jelas Brigitta.
Berkaitan dengan celah komersialisasi ruang internet bagi para pelaku seni, Elyandra menganggap bahwa hal tersebut telah menjelma menjadi tantangan nyata. Dalam pemaparannya, ia menekankan pada optimalisasi kreativitas para pelaku seni untuk memanfaatkan media virtual sebagai ladang memenuhi kebutuhan ekonomis. Menurutnya, saat ini kreativitas harus dioptimalkan. “Karena implikasinya apresiasi berpotensi terdekandensi, hal inilah yang kemudian menjadi tantangan,” jelas Elyandra.
Hafiz mengafirmasi pendapat Elyandra bahwa komersialisasi ruang internet dapat menjadi celah serta tantangan para pelaku seni dalam menyelesaikan krisis. Ia menuturkan bahwa tantangannya adalah menumbuhkan pengetahuan akan standar minimum terhadap dunia daring secara kolektif bagi para pelaku seni. Hal ini bertujuan agar para pelaku seni dapat mengonversikan celah virtual untuk tetap menyajikan suatu karya seni yang bernilai estetik. “Meski biasanya kesenian dihadirkan secara fisik, dalam kondisi pandemi mau tidak mau harus menjadikan teknologi, yang tidak pernah menjadi wacana besar, sebagai suatu hal estetik,” paparnya.
Menjawab tantangan terhadap krisis multifaktor pada wajah dunia seni di tengah pandemi, Erlina memaparkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi hambatan riil pada upaya memanifestasikan estetika dalam seni. Salah satunya bersumber pada medium ekonomi. “Realitas yang terjadi adalah pendapatan mereka yang semula yang sebelum pandemi Rp250.000,00 per hari, kini hanya Rp30.000,00,” tutur Erlina. Ia juga menambahkan bahwa apresiasi yang diterima mereka pun berkurang drastis baik dari segi material maupun formal. Menurutnya, ruang daring yang lebih anonim tentu menjadi sebuah tugas karena apresiasi atas karya seni mereka menjadi sangat berkurang.
Erlina menjelaskan bahwa problematika yang menyangkut apresiasi tersebut harus dipikirkan bersama. Ia menekankan bahwa diperlukan upaya solidaritas untuk dapat menanggulanginya, di samping dukungan dari pemerintah untuk menyediakan ruang dan kebijakan. “Tidak hanya bagi pemerintah selaku penyedia platform dan kebijakan, masyarakat sekitar juga harus meningkatkan solidaritas dengan bahu-membahu menolong mereka yang kesusahan,” tutup Erlina mengakhiri sesi diskusi.
Penulis: Mochamad Akmal Prantiaji Wikanatha
Penyunting: Widya R. Salsabila